PIDATO SBY dan Masalah Perbatasan

INDONESIA berbatasan langsung dengan 10 negara, yakni Timor Leste, Australia, Papua Nugini, Republik Palau (dulu teritori Amerika Serikat), Filipina, Malaysia, Singapura, Vietnam, India dan Thailand. Sampai kini, belum jelas nasib Badan Pengelola Perbatasan, sebagai amanat dari UU No. 43 tahun 2008 tentang Wilayah Negara.
Akibatnya, masing-masing departemen atau instansi pemerintahan bekerja sendiri-sendiri dalam mengatasi masalah-masalah yang ada. Anggaran untuk mengelola perbatasan juga tersebar dalam banyak instansi.
Pengamat Indra J Piliang mencatat, internasionalisme kasus perbatasan layak dilihat dalam situasi geostrategis dan geopolitik regional. Selain itu, 'bambu runcing' pertama yang langsung berhadapan dengan negara-negara tetangga itu adalah pemerintahan daerah.
Masalah perbatasan terkait langsung dengan lokalitas, regionalisme dan internasionalisme, apabila kita mengambil pijakan langsung dari Pidato Presiden SBY. Dari sini, seluruh daerah perbatasan seyogianya memiliki pandangan internasional, termasuk dan terutama kepala daerahnya.
Bagaimanapun, politik luar negeri sangat terkait dengan apa yang berkembang di dalam negeri. Tanpa ada kekuatan di dalam negeri, maka tidak ada apapun yang bisa dicapai dalam diplomasi internasional.
Pekerjaan di dalam negeri jauh lebih banyak, ketimbang membangun ranah pencitraan di dunia internasional, mengingat apapun yang berlangsung di dalam negeri bisa diketahui dunia luar.
Indonesia bukanlah negara tertutupi oleh tirai bambu atau junta militer, sehingga setiap individu di dalam sini bisa berkomunikasi dengan pihak manapun di luar sana.
Dalam konteks Indonesia-Malaysia, maka pidato Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengenai hubungan Indonesia dan Malaysia dinilai cukup lunak dan tidak sesuai harapan banyak orang. Meski demikian, pidato itu dianggap mampu menciptakan iklim kesejukan hubungan kedua negara.
Namun pembukaan pidato SBY yang mengulas masalah perekonomian seolah hendak menunjukkan betapa rentannya Indonesia bila hubungan kedua negara memburuk. Ini justru makin memperburuk citra Indonesia di mata Malaysia.
Adapun pernyataan SBY mengenai pentingnya percepatan perundingan perbatasan kedua negara, cenderung menjadi permohonan, bukan desakan dari pemimpin sebuah negara yang berdaulat.
Percepatan perundingan bisa terjadi apabila Malaysia menyetujuinya. Jadi pernyataan presiden di mata Malaysia dan publik kita hanya pepesan kosong.
Tampaknya Presiden SBY juga terkesan pasrah terkait investigasi kasus penahanan tiga petugas KKP dengan menyerahkan sepenuhnya kepada otoritas hukum Malaysia.
Seharusnya presiden meminta agar Indonesia bisa terlibat dalam investigasi tanpa memiliki kewenangan. Ini sama seperti ketika warga negara AS yang ditembak di Papua di mana FBI (Biro Penyelidik Federal) menurunkan anggotanya untuk diikutsertakan.
Presiden tidak melakukan terobosan apa pun dalam mengatasi persoalan kedaulatan dengan Malaysia. Menurutnya, langkah diplomasi, yang didesak Presiden, bukan merupakan hal baru. Dalam kondisi saat ini yang diperlukan adalah klaim batas laut yang didukung kekuatan militer.
Hemat kita, seharusnya dalam pidato presiden dinyatakan bahwa posisi Indonesia tegas berdasarkan undang-undang kelautan dan Konvensi Hukum Laut PBB (UNCLOS). Oleh karena itu, presiden sebagai panglima tertinggi, seharusnya memerintahkan TNI agar tegas menjaga kedaulatan.
Pidato SBY memang menimbulkan reaksi kecewa dari publik. Pernyataan Presiden SBY terlambat. Penangkapan aparat KKP terjadi pada 13 Agustus lalu namun SBY baru bicara soal solusi dan meminta penjelasan, kemarin. Sementara Malaysia juga baru melakukan investigasi perlakuan aparatnya terhadap aparat KKP.
Sudah dua minggu kasus itu berlalu, namun baru saat ini pemerintah kita meminta penjelasan dari Malaysia. Mestinya Indonesia menuntut negara itu untuk segera meminta maaf. Kita memang menjadi lunak karena Presiden SBY bersikap lunak. Apa hendak dikata.