Hukuman Bagi Penjiplak

Polemik jiplak-menjiplak telah menjangkiti media massa dan dunia perguruan tinggi. Meski masih banyak dibantah, namun fakta membuktikan gaya belajar sekarang ini memungkinkan penjiplakan berkembang dengan pesatnya. Pelajar yang mengunduh tugas dari internet, mahasiswa yang membuat makalah atau skrips dari internet, bahkan penulis yang mengambil bahan-bahan dari internet. Semua itu membuktikan adanya gaya belajar yang bebas tanpa disertai dengan komitmen moral dan etika. Bahkan konyolnya, bila di media massa mereka yang mengecap penulis lain sebagai plagiat atau penjiplak banyak bukti dia juga seorang menjiplak. Pengalamannya sebagai penjiplak membuatnya makin awas melihat kekurangan pada tulisan orang lain. Mereka yang berkoar-koar menuduh orang lain ternyata juga seorang penjiplak ulung.

Kenichi Ohmae dalam Ahmad Baedowi (2010) memberikan ciri dan pembeda gaya belajar abad 20 dan 21. Menurutnya, di abad 20, gaya belajar berorientasi pada studi kasus berbasis kerangka kerja dan memori dengan mengedepankan prinsip tidak mengambil karya orang lain dan ketergantungan pada buku untuk mendapatkan pengetahuan. Proses mendapatkan pengetahuan diperoleh melalui belajar secara berjenjang sehingga mendapatkan orang-orang yang terpelajar serta memiliki basis pengetahuan yang luas. Sementara gaya belajar abad 21 lebih banyak berorientasi pada studi kasus nyata, berbasis block busting dan mobile Geogle serta mengedepankan prinsip untuk selalu bertanya kepada semua orang. Dengan begitu terbuka peluang menjadi seorang yang autodidak. Gaya belajar abad 21 ini mengandalkan kemauan, keuletan, dan kegigihan seseorang untuk selalu belajar dan membangun basis kerja berdasar jaringan.

Dalam keyakinan Ohmae gaya belajar abad 21 lebih memungkinkan seseorang menjadi pemimpin yang memiliki kepekaan terhadap relasi antar sesama manusia dan makhluk lainnya secara lebih baik. Dalam kacamata Ohmae, gaya belajar terbuka sebagaimana diperkenalkan abad 21 inilah yang menjadi penyebab jiplak-menjiplak marak belakangan ini. Salah satu kelemahan gaya belajar terbuka adalah terbukanya peluang seseorang memalsukan pikiran orang lain dan mendakunya sebagai miliknya sendiri. 

Praktek jiplak-menjiplak ini bagai fenomena gunung es. Bisa jadi kejadian yang sebenarnya lebih banyak daripada yang kini kasat di permukaan. Kejadian yang menimpa mahasiswa, guru besar, juga penulis media menggambarkan hal itu. Yang terungkap dan tertangkap basah hanyalah sebutir kecil dari penyimpangan yang terjadi. Motivasinya semata-mata sangat hedonis agar memperoleh tunjangan sertifikasi. Kisah lain tentu lebih banyak. Mahasiswa yang skripsinya menjiplak hasil karya orang lain. Mengingat di pasaran gelap jual beli karya tulis, skripsi, tesis, disertasi sangatlah marak, bahkan juga di kota-kota yang mendapat julukan kota pelajar dan kota budaya. 

Di Kota Yogyakarta pasaran skripsi marak beredar. Untuk apa kalau bukan untuk dikutip atau dicontek mahasiswa. Sebagai sebuah pelanggaran etika akademik, sanksinya tentu berbeda dengan pelanggaran hukum. Teori etika bertugas menyibak keutamaan dalam tindakan seseorang. Aristotelest menyatakan, “Arete adalah keluhuran yang berpangkal pada setiap tindakan seseorang dan oleh karenanya keluhuran masing-masing akan berbeda.”  Keutamaan seorang prajurit adalah keberanian, berbeda dengan pemimpin yang lebih mengutamakan keadilan. 

Berkaitan dengan dunia akademik, keutamaan seorang akademik adalah penyampaian kebenaran secara gamblang dan rinci. Karenanya jika adalah intelektual pelacur bila seorang akademisi telah berani memanipulasi kebenaran ilmiah untuk memperkaya diri. Intelektual selebriti karena memanipulasi kebenaran agar terkenal. Ada intelektual tukang karena memanfaatkan kebenaran ilmiah berdasarkan pesanan (lihat Saifur Rohman, 2010). 
Meski demikian maraknya penjiplakan patut dicemaskan. Dalam konteks pendidikan kejadian semacam ini menjadi ancaman serius. Apalagi belakangan hampir semua jenjang pendidikan diperkenalkan dengan teknologi internet. Apa yang tidak bisa didapat dari internet? Nyaris semua tugas sekolah, guru mencari bahan ajar atau dosen mencari referensi semua dicari lewat internet. Tanpa ada kejujuran menjunjung tinggi etika akademik, gaya belajar terbuka ini amatlah mengkhawatirkan. Tentu para evaluator, baik guru, dosen, pejabat dinas pendidikan harus benar-benar awas terhadap setiap karya ilmiah yang dibuat bimbingannya. 

Bagaimanapun juga maraknya penjiplakan juga sering terjadi karena lemahnya pengawasan dan pembiaran demi pembiaran yang dipandang bukan sebagai masalah serius. Pemerintah dapat mengambil inisiatif, misalnya jika seorang guru besar Depdiknas dapat mencabut gelar guru besar tersebut. Media massa juga dapat berperan, misalnya dengan melakukan blacklist para plagiat. Memang itu pun hanya yang kebetulan ketahuan. Pencegahan benar-benar sulit karena biasanya terungkap setelah ada kejadian. Di jenjang pendidikan dasar sampai perguruan tinggi perlu ada larangan menjiplak karya orang lain dengan sanksi yang tegas. Atau jangan-jangan tidak adanya sanksi tegas karena semua sudah membentuk lingkaran setan. Para petinggi pendidikan maupun negara adalah para penjiplak atau pembuat skripsi, tesis, disertasi pesanan waktu kuliah. 

Namun kita sepakat harus ada upaya-upaya serius, nyata dan menyentuh agar kejadian semcam ini tidak terulang di masa-masa yang akan datang. Betapa malunya institusi yang memelihara para penjiplak. Betapa malunya kita dengan bangsa-bangsa lain di dunia yang menjunjung tinggi kebenaran akademik. Jangan sampai seorang ilmuwan melacurkan diri hanya demi mencari keuntungan hedonis demi seamplop honor dari surat kabar yang menghancurkan reputasinya. 
(*) Sumber: Kabar Indonesia