Parlemen Pelajar, Apa sih?

Tema-tema kesadaran kritis menguat di Ikatan Pelajar Muhammadiyah (dulu IRM) setelah mengalami persentuhan dengan komunitas INSIST Yogyakarta, tahun 2000-2002. Melalui intensitas pertemuan gagasan itu, lalu mengantar beberapa tokoh atau kalau boleh disebut ideolog INSIST, Mansour Faqih terlibat dalam training-training di IPM, sebutlah pelatihan sadar gender (PSG) dan Taruna Melati Utama di Tawangmangu, Jawa Tengah tahun 2001. Atas fasilitasi langsung oleh Faqih, diperkenalkanlah analisis sosial sebagai metode pembacaan terhadap realitas sosial yang demikian rumit.

Lalu gagasan itu kemudian menggelinding, dan menjadi mainstream di IPM (kala itu). Apalagi tahun 2002 ketika Muktamar IPM mengusung tema “Membangun Kesadaran Kritis Sebagai Subyek Perubahan”. Dimana-mana anak IPM bicara tentang kesadaran kritis, Suatu loncatan yang sangat maju bagi organ pelajar kala itu. Sementara di gerakan-gerakan mahasiswa saja, tema-tema itu belum terlalu familiar, kecuali minoritas dari mereka yang bergiat di lingkaran lembaga swadaya masyarakat.

Keputusan Muktamar IPM kala itu ialah diarahkannya gerakan IPM kepada upaya mentradisikan kesadaran kritis dikalangan pelajar melalui pengembangan nilai-nilai advokasi, kaderisasi, dan penguatan infrastruktur gerakan.

Kenapa tradisi kesadaran kritis menjadi penting? Sebab ketimpangan dan ketidak adilan merupakan fenomena yang saat ini mewujud dalam realitas bermasyarakat. Meski tidak semua ketimpangan adalah tanggung jawab kita, tapi kita tetap saja bertanggung jawab untuk menyadari dan memahami bahwa sebuah ketimpangan sosial memerlukan banyak perhatian. Dan disinilah kita letakkan remaja maupun pelajar sebagai pilar perjuangan untuk perubahan yang lebih substansial.

Aras kesadaran kritis adalah kemampuan untuk menghubungkan teori (ilm) dan realitas sosial yang ada dan melakukan gerakan revolusioner untuk mensupport dan mengcounter hegemony pada sebuah transformasi sosial yang direncanakan. Ketidak adilan tidak hanya dipahami dalam distribusi kekuasaan dan distribusi resources, melaingkan berupaya untuk membantu menciptakan kesamaan dan emansipasi dalam kehidupan.

Membongkar kesadaran naif magis untuk ditransformasikan menuju kesadaran kritis memang bukanlah urusan sederhana ditengah ketidak adilan (sosial, ekonomi, budaya, pendidikan, agama, dan politik). Hal ini disebabkan karena dominannya budaya fatalisme dan teologi kepasrahan yang menggorogoti umat.

Pengertian

Sebagai manifestasi nilai kesadaran kritis dan komitmen gerakan, maka Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM) memandang bahwa kehadiran masyarakat sipil (Civil Society) dalam mengawal perubahan sosial merupakan upaya yang sungguh membutuhkan kerja keras. Tidak saja di tingkat wacana, tetapi juga pada wilayah praksis gerakan sipil.

Civil Society yaitu suatu keadaan dimana peranan struktur negara (pemerintah) atas masyarakat tidak terlalu dominan dalam mengontrol seluruh bangunan sosial yang ada. Dalam masyarakat sipil mekanisme kontrol menjadi penting dan utama.

Kerena itulah, maka IPM kemudian melalui perenungan yang panjang melalui bidang hikmah dan advokasi menggagas lingkar inti (komunitas) sebagai wadah dan wahana dalam mengakomodir permasalahan yang ada diruang aktifitas pelajar dan remaja. Lingkar inti inilah yang disebut dengan nama parlemen pelajar.

Perlemen pelajar dimaksudkan untuk melakukan kerja kerja advokasi yang secara langsung bersentuhan dengan basis gerakan atau meminjam istilahnya Rais, Ketua HA PP IRM kala itu, semacam skoci-skoci dalam mempermudah gerakan advokasi. Hal ini dimaksudkan agar keberadaannya tidak ekslusif dan berada dimenara gading. Karena itu keberadaan parlemen pelajar untuk merangkul semua kalangan, lintas identitas, agama, dan suku dengan prinsip kemanusiaan universal (the universal humanism), persaudaraan universal (universal broder), kesetaraan (equality), aktif tanpa kekerasan (active non violence), dan keadilan sosial (sosial justice). Dengan demikian parlemen pelajar menjadi bagian advokasi yang dilakukan oleh elemen Civil Society dalam membentuk tatanan sosial, politik, ekonomi, yang berlandaskan etis, moral, berkeadilan dan egalitarian.

Prinsip Perlemen Pelajar

Sebagai suatu gerakan advokasi, maka parlemen pelajar penting mengedepankan prinsip-prinsip sebagai landasan perjuangannya. Diantara prinsip-prinsip tersebut antara lain; Pertama kemanusiaan universal adalah perlemen pelajar melandaskan gerakannya pada gerakan humanis, artinya dalam melaksanakan aktifitasnya parlemen pelajar senantiasa melihat sisi sisi kemanusiaan.

Kedua kesetaraan mengandung makna (1) manusia adalah setara secara sosial politik, (2) oleh karena semua manusia setara, maka setiap orang harus diperlakukan dengan perhatian dan perlakuan yang sama (tidak diskriminatif), baik dalam memperoleh keadilan hukum dan kesempatan mendapatkan pendidikan dan pemenuhan kebutuhan hidup lainnya.

Ketiga aktif tanpa kekerasan dimaksudkan bahwa gerakan advokasi parlemen pelajar senantiasa mengendepangkan kedamaian, santun, dan penuh kerahmahan. Artinya gerakan advokasi IPM melalui parlemen pelajar diharapkan mampu menciptakan konstruk berfikir (mode of thought) yang senantiasa berorientasi pada lahirnya sebuah pranata (aturan) sosial yang berkeadilan, santun, dan damai.

Keempat keadilan sosial dimaksudkan bahwa gerakan advokasi yang dilakukan oleh parlemen pelajar adalah untuk melawan ketidakadilan – dalam berbagai ragamnya. Sebab ide dan gagasan keadilan itulah yang harus menjadi prinsip dasar dalam pengelolaan sumber daya ekonomi, politik, pendidikan, sosial, budaya, dan penetapan hukum.

Ide keadialan ini pula yang harus mendorong suatu gerakan keadilan dalam membela dan memperjuangkan hak hak kaum lemah dan musthadha’afin. Sebab keadilan tidak akan tercipta tanpa membebaskan golongan masyarakat lemah dan marginal dari penderitaannya. (Masmulyadi - Ketua HA PW IRM Sulsel 2002-2004, 15/07/04)

Tulisan ini ditulis dalam konteks awal gagasan parlemen pelajar, tahun 2002.
Share/Bookmark