Mafia Negara Kita

Kita dibuat terperangah oleh aksi seseorang bernama Anggodo, Ari Muladi dan sosok misterius bernama Yulianto. Merekalah yang menurut reka-reka kisah yang masih sulit diurai dalam drama KPK versus Polri, berperan amat banyak di dalam mencoba menyelamatkan Anggoro, tersangka kasus korupsi Sistem Komunikasi Radio Terpadu, pemilik PT Masaro, dari jeratan hukum yang sudah dilakukan oleh KPK.
Dari media kita baca perannya. Anggodo yang menerima pesan dari Anggoro, kemudian mencari orang yang bisa “membantu”. Maka kasak-kusuk pun dilakukan untuk mencoba mencari jalan menuju pimpinan KPK. Terungkap pula bagaimana pembicaraan Anggodo mencoba mengatur jalan mendisain BAP Bibit dan Chandra, yang terkesan menjadi cara membalas dendam karena perlakuan terhadap Anggoro. Tetapi apakah kemudian itu bagian dari kriminalisasi dari Polri kepada KPK, itu masih menjadi pertanyaan karena masing-masing masih bersikukuh tidak melakukan tindakan apapun untuk menegasikan institusi lainnya.
Tetapi terlepas dari hal itu, kita lihat saja nanti kebenarannya, keberadaan Anggodo di dalam mencoba mengatur, memuluskan, bahkan mencoba mengeluarkan kasus yang menimpa Anggoro supaya tidak lagi diteruskan, menjadi salah satu point yang benar, meski tidak banyak yang melihatnya. Publik terlanjur terpengaruh KPK versus Polri dengan idiom kriminalisasi, dan lupa pada fokus bagaimana Anggodo adalah sosok yang terbukti jelas mencoba membeli penegak hukum.
Banyak orang yang terkait dengan urusan hukum memang melakukan apa yang dilakukan oleh seperti Anggoro-Anggodo ini. Mereka mencoba mencari celah untuk lolos dari jeratan aparat. Mereka mencari cara supaya dengan mengorbankan apapun, termasuk uang miliaran rupiah, mereka bisa menikmati status sebagai orang merdeka, tanpa sangkaan apapun, meski mereka telah melakukan tindakan korupsi.
Tindakan seperti itu persis seperti kasus yang menjerat banyak pelaku korupsi lainnya. Sebut saja misalnya Artalita, yang mencoba mencari jalan supaya “kliennya” selamat. Dengan uang miliaran, skenario pun digelar, dan penegak hukum pun disuap. Lalu korupsi yang melibatkan petinggi polisi juga sempat terungkap ketika kasus perbankan lainnya melibatkan para koruptor. Ujung-ujungnya polanya sama, yaitu para pelakunya mencoba mencari akses kepada para penegak hukum dan menggelontorkan dana miliaran rupiah.
Ketika tindakan itu kemudian menjadi sebuah permainan bak mafia, maka penegak hukum juga pastilah pasang tarif. Itu adalah hukum alam. Tingginya permintaan akan meningkatkan pula harga-harga di pasar. Pantas saja kemudian ketika disebut-sebut, setiap kasus korupsi kakap, uang suap yang beredar selalu bernilai em-eman (miliaran rupiah). Angka yang menurut kita tidak terlalu fantastis mengingat uang hasil korupsi yang masih terlalu banyak.
Masyarakat yang mengalami masalah, kemudian menjadi korban tarif ini. Karena sudah dimulai maka siapapun penegak hukum akan segera meminta tarif manakala masyarakat mengalami masalah. Sudah menjadi pengetahuan umum, kalau masyarakat ingin kasusnya “dikerjakan”, maka “uang jalan” pun segera diminta. Bak petugas kelurahan yang dengan sigap meminta uang pengertian kalau mengurus KTP, petugas penegak hukum pun memang tidak memaksa, tetapi jangan harap masalah bisa selesai.
Itulah yang terjadi dalam keseharian kita kini. Di level atas para pemain mafia hukum melakukan aksi-aksi untuk menyelamatkan dirinya, di level bawah, masyarakat menjadi korban dari tindakan aksi main peras yang banyak dimainkan oleh para petugas penegak hukum.
Negeri Mafia
Itulah gambaran kisah negeri mafia, negeri kita. Negeri dimana hukum dengan mudah dibeli oleh mereka yang memiliki uang. Mereka menjadikan negeri kita sebagai tempat untuk bersekongkol, untuk menjadikan negeri ini bak negeri yang semuanya gampang dan mudah, asal ada uang.
Karena itu, negeri kita ini memang telah terjebak amat dalam dan amat parah. Mau memberantas korupsi, koruptornya bisa membeli. Mau memberantas penegak hukum, semuanya sudah terlibat meski ada yang masih kecil-kecilan. Tetapi semuanya amat sulit lagi diubah karena mafia menawarkan uang yang begitu wah untuk dinikmati oleh mereka yang hanya berpenghasilan jutaan rupiah per bulannya.
Negeri ini seperti hanya milik Anggodo dan “Anggodo-Anggodo” lainnya. Dengan uang yang dimilikinya, jaringan untuk masuk ke berbagai sudut kantor penegak hukum bisa dilakukan. Merekalah yang menyebabkan negeri ini masuk ke dalam lubang buaya yang amat dalam dan menghancurkan negeri ini secara perlahan tetapi pasti. Mereka bisa tidak hadir untuk mengurus kasusnya, tetapi dengan menggunakan telepon, maka semua persoalan bisa diselesaikan. Itulah yang bisa kita lihat dari rekaman penyadapan oleh KPK terhadap Anggodo dan sejumlah orang lainnya yang diperdengarkan di hadapan Mahkamah Konstitusi.
Tindakan Tegas
Presiden sendiri sudah mengumumkan bahwa mereka yang menjadi korban mafia diharapkan melaporkan hal itu kepada Presiden. Kita setuju langkah itu. Diperlukan akses yang langsung kepada petinggi negeri ini untuk mengetahui persoalan masyarakatnya.
Tetapi langkah yang harusnya ditempuh bukan hanya itu. Presiden harusnya melakukan upaya pemeriksaan sendiri atas rekam jejak para penegak hukum di level atas. Jabatan seperti Kapolri dan Jaksa Agung, adalah dua jabatan yang harusnya diisi oleh orang-orang yang benar-benar bersih dan berani membersihkan level di bawahnya. Bisa dibayangkan kalau petinggi penegak hukum adalah sosok yang takut melakukan perubahan, maka alamat mafia pun masih dengan bebas berkeliaran di negeri ini.
Selain itu, Presiden juga bisa dengan kekuatan yang dimilikinya, untuk mempercepat semua proses yang berhubungan dengan korupsi, supaya pelakunya tidak mencari cara untuk mencoba menyuap dan berhubungan dengan petugas penegak hukum. Kalau perlu, Presiden harus menyusun dan menginstruksikan supaya ada corruption pathway yang menjadi pedoman bagi setiap penegak hukum. Di dalamnya ada satuan atau unit hari untuk bekerja untuk menyelidiki, menyidik dan mendakwa. Di luar corruption pathway itu, Presiden harus menghentikan atau memberikan sanksi kepada petugas yang mencoba mempermainkan hal itu.
Merekrut para pengawas independen dari LSM dan media juga adalah salah satu jalan. Presiden harus bisa menerima masukan dari kedua elemen ini supaya kelakuan penegak hukum sampai di daerah bisa diketahui oleh Presiden secara langsung. Jangan sampai Presiden hanya menerima laporan-laporan yang ABS, Asal Bapak Senang saja.
Kalau Presiden tidak melakukan tindakan tegas dan keras, maka negeri ini akan tetap seperti ini. Yang punya uang bertindak ala Anggodo, sementara masyarakat yang terlibat kasus hukum hanya bisa bergumam dan menyesali kenapa mereka bisa menjadi warga negara di negeri mafia ini.
Share/Bookmark