Fenomena “Social Distrust Community”

Pemerintah ini sekarang sedang dilanda masalah. Salah satunya adalah sebagian masyarakat kurang percaya pada pemerintah, padahal pemerintah baru dilantik Oktober silam. Di sana-sini kita melihat masyarakat ramai mengkritik pemerintah. Beberapa aktifis sempat mendirikan mimbar bebas. Model yang dulu pernah ada di jaman Soeharto, tetapi kemudian dilibas. Beberapa kelompok masyarakat juga secara terang-terangan melakukan mobilisasi massa. Mereka menolak bahkan meminta pemerintah berkata jujur.
Media bukan tidak berbicara. Secara terselubung beberapa media kerap melakukan investigasi dan kritik terbuka terhadap pemerintah. Figur Presiden bahkan kerap dijadikan olok-olokan terbuka oleh para kartunis. Salah satu pidato Presiden bahkan dipelesetkan oleh salah seorang pakar komunikasi, Effendi Ghazali.
Tokoh-tokoh juga berbicara. Di antaranya mereka yang amat jarang berbicara mengkritik pemerintah ini. Gus Dur dan Frans Magnis Suseno, dua tokoh yang hanya berbicara ketika terjadi kemandegan juga sudah menyatakan pendapatnya.
Apa pasal? Dua hal yang menjadi sorotan, sebagaimana kita ketahui, adalah masalah KPK dan Bank Century. Dalam menangani masalah KPK, Presiden dituding terlalu “tidak tegas” dan terkesan menyerahkan solusi kepada elemen di bawahnya. Presiden bukannya menggunakan otoritasnya, melainkan menggunakan institusi yang sama untuk memperbaiki diri.
Jelas saja kemudian masyarakat banyak yang tidak percaya bahwa reformasi hukum akan terjadi. Benar bahwa Kabareskrim diganti. Tetapi langkah tersebut ditolak sebagai langkah pembenahan. Polri menyatakan bahwa hal itu adalah bagian dari tour fo duty alias penyegaran organisasi.
Mengenai Century, pemerintah juga dikritik menutupi sesuatu. Setelah kemudian BPK mengumumkan temuannya, pemerintah menjawab dengan sesuatu yang justru membuat publik semakin bertanya. Apakah pemerintah masih bisa diandalkan. Menteri Keuangan ngotot bahwa langkah-langkah yang ditempuhnya sudah benar, meski pada saat yang sama publik meragukan jawaban tersebut. Ada apa dengan pemerintah?
Organisasi Terbuka
Pemerintah harus mengerti bahwa mengurus negara ini tidak lagi menggunakan model tangan besi seperti dulu. Sirkulasi komunikasi dan informasi bergerak amat cepat. Kita tidak bisa lagi menutupi apa yang terjadi karena media mendapatkan berita dengan sangat mudah. Lihat saja bagaimana rekaman pembicaraan antara Anggodo dengan beberapa orang tersebut, dengan mudah disampaikan oleh media kepada publik, jauh sebelum kasus itu dibongkar oleh MK di pengadilan.
Kalau dulu, menyimpan uang dalam brankas menggunakan lemari besi. Karena itu sebuah perusahaan akan merasa aman menyimpan tabungannya tersebut. Tetapi sejak diperkenalkannya transparansi publik terhadap perusahaan-perusahaan yang sudah go publik (Tbk), maka publik memiliki hak mengakses informasi mengenai isi perut perusahaan-perusahaan tersebut. Perusahaan kini tak bisa lagi menyimpan informasi hanya untuk dirinya sendiri.
Karyawan perusahaan juga berhak tahu mengenai perusahaan. Mereka kini bisa memiliki sebagian saham perusahaan. Mereka yang memiliki itu kemudian semakin berkembang karena mereka memiliki sense of belonging. Jatuh bangunnya perusahaan menjadi tanggung-jawab mereka juga.
Negara juga demikian. Dulu China menutup diri rapat-rapat dari dunia asing. Mereka menutupi segala kejadian di sana. Tetapi kemudian ketika kelaparan terjadi, dan diberitakan oleh media, mereka harus takluk pada kenyataan. Mereka bersedia membuka diri karena mereka berada dalam komunitas masyarakat internasional yang justru menyediakan bantuan kepada mereka.
Di dalam negeri, China juga semakin terbuka kepada masyarakatnya. Masyarakat juga diberikan sedikit kelonggaran kini, dibandingkan dulu dimana masyarakat sangat tertekan. China tidak dapat menutup mata bahwa dinamika masyarakatnya kini sudah sangat berbeda. Sekarang, warga masyarakat kelas bawah di China pun sudah bersekolah ke luar negeri dan membawa ide-ide baru.
Indonesia, juga sudah berbeda. Setelah pernah menjatuhkan rezim dan melakukan pemilu yang damai, masyarakat semakin percaya bahwa merekalah pemilik kedaulatan. Mereka haus akan informasi dan pengetahuan. Karena itu masyarakat Indonesia kini adalah masyarakat yang mencari apapun kebijakan pemerintah yang berpotensi tidak terbuka.
Dari sudut pandang perilaku saja misalnya, banyaknya kelompok yang mendukung KPK melalui faceboook adalah salah satu contohnya. Masyarakat kita kini adalah pengguna informasi dan hubungan pertemanan melalui dunia maya. Bandingkan dengan aksi jalanan dulu yang kerap dikenal sebagai people power dimana semua yang terlibat harus dihubungkan secara fisik.
Karena itu pemerintah tidak bisa menggunakan mekanisme tertutup di dalam mengelola kebijakan. Pemerintah harus terbuka dan membuka diri kepada dunia di luar dirinya, yaitu kepada masyarakat. Jika pintu-pintu itu ditutup rapat, maka dunia di luar pemerintah memilih menggunakan caranya sendiri, yaitu aksi massa, media yang semakin kritis dan saluran-saluran lain yang tentunya disertai dengan bumbu dan kritiknya masing-masing.
Social Distrust Community
Indonesia adalah negara yang sudah meniti di barisan negara-negara demokrasi dunia. Indonesia juga sudah membuka diri terhadap berbagai kerjasama internasional. Indonesia juga sudah menyatakan diri sebagai negara yang berperan amat penting bagi berbagai upaya di dunia ini. Itu kita hargai. Tetapi Indonesia (pemerintah) belum membuka diri terhadap rakyatnya sendiri. Pemerintah masih saja asyik bermain langgam sendiri, dan memilih menggunakan logika sendiri ketika berbicara mengenai persoalan masyarakat. Pemerintah juga asyik bermain “game” sendiri manakala situasi sudah semakin buruk dan masyarakat membutuhkan tuntutan. Ini adalah situasi yang hanya akan menghasilkan social distrust community.
Social distrust community adalah situasi dimana ada sebuah kelompok yang tidak tahu apa yang sedang terjadi. Menggunakan model Johari Window, dalam kasus sekarang ini yang berkembang di masyarakat (KPK dan Century), adalah masyarakat, yang notabene pemegang kedaulatan tertinggi, ternyata tidak diberitahu dengan jelas dan gamblang mengenai apa yang terjadi.
Usainya perkara KPK, setelah Presiden menyampaikan “pidato”-nya, kita perkirakan akan menghentingkan upaya menjelaskan masalah ini kepada publik. Publik hanya menangkap sepotong-sepotong dari penjelasan tim 8, putusan MK, pidato Presiden, atau informasi dari media. Sesudahnya masyarakat diminta merangkai sendiri apa yang terjadi. Situasi tersebut jelas tidak sehat. Apa yang terjadi sama sekali tidak dijadikan pembelajaran karena pemerintah tidak melakukan apa-apa.
Potensi yang sama juga mungkin akan terjadi pada akhir Bank Century nantinya. Alih-alih memperjelas apa yang sedang terjadi, penyelesaian Bank Century kita kuatirkan akan ditempuh dengan penyelesaian secara “adat” ini. Kalau sudah begini, maka lama kelamaan, social distrust community akan terus membesar dan bukan tidak mungkin akan meletup menjadi protes terbuka yang bersifat massal. Pemerintah, cobalah bertindak lebih terbuka (Penulis adalah peneliti dan kolumnis masalah sosial politik).
Share/Bookmark