Wanita - Bila Bosan Dengan Fitrahnya

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, “Suatu ketika ada seseorang yang menggiring sapi (sejenis kerbau) yang di atas punggungnya membawa beban –dalam riwayat lain, “tiba-tiba laki-laki tersebut menaikinya dan memukulnya- Maka berkatalah sapi tersebut, “Sesungguhnya kami diciptakan bukan untuk keperluan ini, aku diciptakan untuk membajak sawah.” Maka orang-orang berkata, ”Subhanallah, seekor sapi dapat berbicara.” Kemudian beliau bersabda, ”sesungguhnya aku diberi amanah untuk ini, begitu juga Abu Bakar dan Umar… (HR Bukhari dan Muslim)

Demikianlah, Allah Subhanahu Wata'ala menghiasi makhluknya dengan kekuatan dan keistimewaan yang berbeda-beda, dan Allah Subhanahu Wata'ala memberikan piranti kepada makhluk sesuai dengan tujuan ia diciptakan. Kerbau tidak diciptakan untuk mengangkat beban dan dijadikan tunggangan, akan tetapi diciptakan untuk membajak sawah, maka mempergunakan kerbau sebagai kendaraan atau untuk mengangkat beban berarti menyalahi maksud diciptakannya kerbau dan tidak sesuai dengan keistimewaan yang telah diberikan Allah Subhanahu Wata'ala kepada kerbau.

Demikianlah halnya diciptakannya laki-laki dan perempuan yang juga merupakan makhluk Allah Subhanahu Wata'ala. Dia menjadikan laki-laki dan perempuan serta memberikan kelebihan dan keistimewaan yang berbeda sesuai dengan tugas dan peranannya. Kita dapatkan perbedaan yang menyolok antara keduanya baik dalam sifat, susunan tubuh, gerak-geriknya, cara berjalan, duduk, berdiri, cara berbicara, kesenangannya, kebiasaannya dan juga perasaanya. Perbedaan tersebut sesuai dengan kekhususan fungsi dan peranannya sebagaimana yang kehendaki Allah Subhanahu Wata'ala.

Menuntut persamaan gender adalah sebuah tuntutan untuk memaksakan kesamaan dua hal yang sesungguhnya berbeda. Menyeru persamaan hak dan kewajiban antara laki-laki dan perempuan adalah bentuk “diskriminatif” terhadap fithrah yang telah Allah Subhanahu Wata'ala gariskan terhadap manusia. Kalau saja tugas dan peranan laki-laki sama dengan perempuan, lantas dimanakah letak kebijakan Allah Subhanahu Wata'ala menciptakan manusia menjadi dua jenis? mengapa tidak cukup menciptakan dengan satu jenis kelamin saja jika memang sama tugas dan hak-haknya? Allah Subhanahu Wata'ala berfirman :



“Tidaklah laki-laki itu sepertti wanita…..”


Kembali Kepada Fithrah Adalah Jalan Keselamatan

Segala sesuatu akan menjadi baik jika berada diatas fithrahnya. Ikan akan tetap hidup jika ia tinggal di air, burung akan terjaga kelestariannya jika mereka terbang di udara dan tinggal di pucuk-pucuk pohon dan cacing akan selamat jika ia tetap tinggal di dalam tanah. Bencana akan menimpa mereka ketika masing-masing telah jenuh denang apa yang menjadi fithrahnya.

Demikian halnya dengan manusia, dia akan tetap baik ketika nrimo dengan apa yang menjadi fitharahnya. Jika wanita sudah menjadi laki-laki, dan laki-laki memerankan wanita, maka kerusakanpun akan terjadi. Oleh karena itu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam melaknat wanita yang menyerupai (meniru) laki-laki dan laki-laki yang menyerupai (meniru) wanita.

Wanita ibarat pedang bermata dua, apabila dia baik, menunaikan tugas dan peranannya yang hakiki, serta berjalan diatas fithrah yang telah digariskan oleh Allah Subhanahu Wata'ala, maka ia ibarat batu bata yang baik bagi sebuah bangunan masyarakat Islam yang komitmen dengan ketinggian akhlak dan cita-cita yang luhur. Akan tetapi, ketika mereka menyimpang dari tugas pokoknya dan menyerobot tugas yang bukan menjadi tanggungjawabnya serta latah mengikuti para budak hawa nafsu, maka dia menjadi musuh besar bagi manusia yang hendak meraih kejayaan di dunia dan akherat.

Karenanya, Rasulullah Shallallahu a'alaihi wasallam menyuruh kita waspada terhadap bahaya besar yang ditimbulkan oleh wanita semacam ini. Beliau bersabda :



“Sesungguhnya dunia itu manis dan menggiurkan. Dan sesungguhnya Allah Subhanahu Wata'ala menyerahkan dunia kepada kalian. Kemudian hendak melihat apa yang kalian perbuat terhadapnya. Maka hati-hatilah terhadap dunia dan berhati-hatilah terhadap wanita. Sesungguhnya fitnah pertama yang menimpa Bani Israil adalah karena wanita.” (HR Muslim).

“Aku tidak meninggalkan fitnah sepeninggalku yang lebih berat bagi laki-laki dari fitnah wanita.” (HR Muslim, Tirmidzi dan Ibnu Majah)

Sa’id bin Musayyib berkata, “ketika syaiton merasa kewalahan menggoda manusia, maka ia bersembunyi di balik wanita (memperalatnya).” Benar, seringkali wanita mampu berbuat dengan sesuatu yang tidak dapat diperbuat oleh syaiton. Ia mampu menimbulkan kerusakan yang lebih besar dari kerusakan yang ditimbulkan oleh syaiton. Kapankah itu? Yakni ketika ia bosan dengan apa yang telah digariskan oleh Allah Subhanahu Wata'ala atasnya. Wanita semacam ini akan menjadi senjata pamungkas bagi syaiton untuk menghadapi manusia.

Kenyataannya itulah yang telah diketahui oleh syaiton-syaiton jin dan manusia. Maka mereka berupaya untuk menyimpangkan wanita dari tugasnya yang utama, agar ia mau berperang di pihaknya dan membela misinya.


Dimanakah Fithrah Wanita

Setelah kita menyadari pentingnya kembali kepada fitrah, lantas bagaimana sesungguhnya fitrah wanita itu? Apakah fitrah itu sesuatu yang biasa dikerjakan manusia? Ataukah suatu budaya yang telah berlangsung secara turun temurun?

Bukan, fitrah adalah ketetapan yang Allah Subhanahu Wata'ala gariskan bagi para makhluknya. Allah yang menciptakan hambaNya sehingga Allah Subhanahu Wata'ala yang paling mengetahui apa-apa yang baik bagi hambaNya dan apa yang buruk bagi hambaNya. Lalu Allah Subhanahu Wata'ala memberikan tugas kepada masing-masing makhluk serta memberikan perangkat dan alat sesuai dengan tugasnya di dunia. Ketika satu diantara mereka menyerobot tugas yang bukan menjadi tugasnya, maka akan ada suatu pekerjaan yang tidak tertangani dan semakin banyak pekerjaan yang tumpang tindih dan semrawut akan semakin besar pula kekacauan yang timbul.

Allah Subhanahu Wata'ala menggariskan bagi kaum laki-laki untuk memimpin wanita karena memang Allah Subhanahu Wata'ala mengkaruniai suatu alat bagi laki-laki untuk memimpin yang tidak dikaruniakan kepada wanita. Demikian pula Allah Subhanahu Wata'ala mempercayakan seorang bayi kepada kaum wanita lantaran Allah Subhanahu Wata'ala telah memberikan piranti kepadanya sesuatu yang tidak dimiliki oleh kaum laki-laki.

Contoh lain, Allah Subhanahu Wata'ala menetapkan bagi wanita separuh dari bagian laki-laki dalam hak waris, karena Allah Subhanahu Wata'ala melebihkan suatu beban bagi kaum laki-laki dengan apa yang tidak dibebankan dengan kaum wanita, yakni memberikan nafkah bagi keluarga. Begitulah, Allah Subhanahu Wata'ala memberikan sarana kepada makhluknya dengan apa yang sesuai dengan tugas dan tanggung jawabnya. Jika demikian pantaskah kita sambut seruan “persamaan gender” dalam hak-hak secara keseluruhan?

Jika kaum wanita hari ini yang menuntut persamaan hak mendapatkan jatah kursi, persamaan hak untuk mendapatkan jatah warisan dan barang murahan lainnya, maka lihatlah apa yang menjadi tuntutan para shahabiyat yang seharusnya menjadi teladan kita?

Suatu ketika Asma’ bin Yazid bin Sakan menghadap Rasulullah Shallallahu a'alaihi wasallam dan berkata, “wahai Rasulullah Shallallahu a'alaihi wasallam, sesungguhnya aku adalah utusan para wanita yang berada dibelakangku, mereka sepakat dengan apa yang aku katakan dan sependapat dengan pendapatku… sesungguhnya Allah Subhanahu Wata'ala mengutus Anda kepada laki-laki dan juga kepada para wanita. Kamipun beriman kepada Anda dan mengikuti Anda sedangkan kami para wanita terbatas gerak-geriknya, kami mengurus rumah tangga dan menjadi tempat menumpahkan syahwat bagi suami-suami kami, kamilah yang mengandung anak-anak mereka. Namun Allah Subhanahu Wata'ala memberikan keutamaan kepada kaum laki-laki dengan shalat jama’ah, mengantar jenazah, dan berjihad. Jika mereka keluar untuk berjihad, kamilah yang menjaga hartanya dan memelihara anak-anaknya, maka apakah kami mendapatkan pahala sebagaimana yang mereka dapatkan?”

Mendengar tuntutan Asma’ tersebut, nabi menoleh kepada para shahabat seraya bersabda, “pernahkah kalian mendengar pertanyaan seorang wanita tentang agamanya yang lebih bagus dari pertanyaan ini?” kemudian Beliau bersabda, “pergilah wahai Asma’ dan beritahukan kepada para wanita dibelakangmu bahwa perlakuan baik kalian terhadap suami dan upaya kalian mendapat ridho darinya serta keta’atan kalian kepadanya, pahalanya sama dengan apa yang engkau sebutkan tentang pahala laki-laki.“

Maka perhatikanlah, adakah sama tuntutan hak para shahabiyat dengan kebanyakan muslimah hari ini?.