Kematian, Sebuah Garis Pembeda


Dan kalau kamu melihat ketika para malaikat mencabut jiwa orang–orang kafir seraya memukul muka dan belakang (dan berkata) “rasakanlah olehmu siksa neraka yang membakar (tentu kamu akan merasa ngeri)”

Suatu saat sebuah jenazah dibawa melewati Rasulullah SAW. Beliau berkomentar : “Dia(jenazah) itu akan beristirahat atau (makhluk) lain akan beristirahat karena kematiannya.” Para sahabat bertanya: “Apa maksud pernyataan, baginda itu?” Rasulullah bersabda : ”Seorang hamba mukmin yang meninggal akan beristirahat dari kelelahan dunia, sementara seorang yang fajir (pendosa) yang meninggal, manusia pepohonan dan semua yang melata beristirahat dari (ulah/tingkah) nya” (HR.Muslim)

Ada banyak peristiwa kematian yang menyedot. Perhatian. Baik karena meninggal adalah publik figure atau cara kematian yang amat tragis seperti korban tabrakan kereta api. Pendek kata kematian adalah misteri yang tak bias da tak akan pernah bias diketahui oleh manusia. Baik siapa yang akan mati maupun dimana seseorang akan menjemput maut.

Ada orang yang sudah menderita sakit kronis bertahun-tahun dan hidup dengan bantuan oksigen atau tranfusi darah. Namun nyawanya masih tetap bersarang di tubuhnya. Tapi tak jarang manusia yang sedetik atau semenit lalu masih tetap segar bugar, tiba-tiba di jemput oleh malaikat maut. Dan kita tak pernah tahu kapan giliran itu menghampiri diri kita masing-masing.

Dan tidak ada seorang pun apa yang tahu apa yang akan menimpa dirinya nanti (esok), dan tak ada seorang pun yang tahu dimana ia akan menemui kematian. (Qs.Luqman:34 )

Semua yang bernyawa, akan merasakan mati. Dan bila ajal itu telah datang, tak akan pernah bisa di majukan atau dimundurkan sedetikpun. Demikian firman Allah yang termaktub dalam Al-Qur’an surat Ali Imran 185, Al Anbiyaa 35 dan Al-Ankabuut 57. Setiap kita pasti akan mengalami bagaimana prosesi dicabutnya nyawa dari jasad kasar kita. Meski setiap kita memiliki nyawa, namun hingga detik ini, bentuk dan cara kerjanya masih menjadi misteri tak terkuak.

Yang juga tak kalah gaibnya adalah bagaimana ruh atau nyawa itu nanti keluar dari tubuh kita ? atau bagaimana rasanya kematian itu ? sebab sampai saat ini kita belum pernah mendengar cerita langsung dari orang yang pernah merasakannya, karena memang hal itu sesuatu yang mustahil. Sementara kita yang masih hidup tentu saja belum tahu.

Bagi sebagian kita (mengingat) kematian sering mengundang kengerian dan ketakutan. Disamping membayangkan rasa sakit ketika ruh sedang dicabut oleh malaikat Izrail (sakaratul maut)juga karena amalan kita selama di dunia serasa belum cukup untuk dijadikan bekal. Belum lagi bayangan siksa kubur yang akan menghampiri. Tapi bagi orang tertentu kematian bukan sesuatu yang menakutkan baginya, sekarang atau nanti sama saja yang penting adalah bagaimana menempatkan posisi agar selalu siap menjemput kematian. Khusnul khotimah atau akhir yang baik adalah dambaan setiap orang. Namun hal itu hanya dapat dinikmati oleh mereka yang beriman dan beramal shalih. Dan jenis manusia beriman seperti ini sesungguhnya sangat jarang. Ada juga manusia yang tidak takut mati karena kehidupannya sudah benar-benar dibalut kejahatan, kemunafikan, dan kefasikan. Sedemikian mendarah dagingnya kefasikan, kebohongan, dan kejahatan itu sehingga telah berubah jadi kenikmatan. Dan bukan menjadi takut tapi telah berubah jadi ajang petualangan yang amat nikmat. Inilah manusia yang hatinya telah membatu.

Kembali ke pertanyaan semula, apa benar prosesi keluarnya nyawa itu menyakitkan? jawabanya tergantung siapa yang punya nyawa. Dalam sebuah riwayat dari Nabi di sebutkan “Jika malaikat mencabut nyawa seorang mukmin, ia seperti mencabut benang sutera dari air. Jika ia mencabut ruh dari seorang yang fasik ia seperti mencabut tumbuhan berduri dari daging.” Ini hanya ilustrasi untuk bisa lebih bisa di pahami, adapun hakekatnya sulit ditentukan. Dapat di bayangkan betapa luar biasa sakitnya bila batang berduri dicabut dari daging kita. Tentu pengambaran benang sutra dan batang berduri hanya dua ukuran minimal dan maksimal. Ada yang lebih dari itu dan ada yang lebih ringan dari itu semuannya tergantung kadar dan kualitas amal.

Prosesi kematian bukan hanya sekedar terlepasnya nyawa dari raga, tapi juga bagaimana nyawa itu secara perlahan-lahan dikeluarkan dari jasad oleh malaikat Izrail. Bagaimana terlepasnya nyawa itu pun adalah cermin keimananya dan kehidupannya sesudah mati. Nikmat dan azabnya maupun indah sakitnya kematian mutlak ditentukan oleh kadar keimana seseorang. Dalam sebuah riwayat disebutkan nyawa para syuhada merindukan kembali ke dunia, lalu ia berjihad kembali dan mati syahid lagi, hidup lagi dan mati lagi, hidup lagi dan begitu seterusnya (hadist riwayat Muslim).

Itu artinya mati syahid menjadi sesuatu yang mengundang ketagihan. Sebaliknya orang-orang yang melanggar perinta Allah, malaikat akan memukul wajah dan punggungnya saat mencabut nyawa. Allah berfirman : ”Dan kalau kamu melihat ketika para malaikat mencabut jiwa orang–orang kafir seraya memukul muka dan belakang (dan berkata) : ”rasakanlah olehmu siksa neraka yang membakar“ (tentu kamu akan merasa ngeri). Demikianlah itu karena apa yang kalian kerjakan dan sesungguhnya Allah sekali-kali tidak menganiaya hambanya” (Qs, Al Anfal : 50)

Ada juga kematian seseorang yang menjadi garis finish dari liku perjalanan panjangnya yang melelahkan. Kematiannya adalah pintu keluar dari penjara dunia menuju kenikmatan abadi syurga. Sebab senikmat apapun kehidupan dunia masih membuatnya terpenjara dari nikmat surga. Kini saatnya istirahat dari beratnya menahan nafsu, kerasnya cobaan, terjalnya batu sandunganya saat memperjuangkan kebenaran, sakitnya melawan kebatilan, sulitnya melalui ujian kehidupan dan yang paling berat dari semua itu adalah mengubah semua yang bernuansa berat itu menjadi ringan atau menjadi nikmat. Dan kini saatnya ia beristirahat di alam barzah, di sebuah lorong dari lorong – lorong surgawi. Biarlah kematiannya ditangisi oleh makhluk seisi jagat raya. Seperti kata Rasululah “ Mereka itu sedang istirahat dari kelelahan dunia .” Inna lillahi Wainna ilaihi roji’un”