Pemuda Pinggiran Kota dan Pekerjaan Pertanian

Pekerjaan pertanian ialah hal yang bersifat dilematis bagi banyak kalangan muda pinggiran perkotaan, terutama dewasa ini. Di satu sisi pekerjaan pertanian memberikan peluang besar untuk mereka berkarya dan berpenghasilan, sebab umumnya lahan pertanian di pinggiran kota masih tersedia. Namun di sisi lain, daya tarik bidang pekerjaan ini tidaklah tinggi. Bekerja di bidang pertanian—atau berprofesi sebagai petani—bukanlah pilihan populer. Bahkan bagi kaum muda terdidik yang lulus dari fakultas pertanian, hanya sedikit yang mau berprofesi sebagai petani. Banyak dari mereka yang “meloncat” dari akar pendidikan formalnya ke pekerjaan yang tidak terkait dengan pertanian. Sebagian mereka menjadi pegawai negeri sipil (PNS) dengan tugas pokok nonpertanian. Lainnya menjadi karyawan bank, wartawan, dan lain-lain (Noertjahyo, 2005).

Kondisi itu kurang lebih menandakan telah terjadinya marjinalisasi kedudukan dan eksistensi petani. Satu yang berandil besar dalam proses ini ialah merebaknya pembangunan fisik, khususnya di perkotaan, yang menyusutkan areal pertanian melalui alih fungsi lahan, dan pada gilirannya mempersempit lapangan pekerjaan bidang pertanian, sementara di sisi lain membuka lapangan pekerjaan nonpertanian. Terhadap minat masyarakat menerjuni bidang pekerjaan pertanian, keadaan ini bukan sesuatu yang positif. Sementara itu, rendahnya perolehan pendapatan dari pekerjaan pertanian adalah faktor lain yang patut diperhitungkan: bahwa sekalipun sejak bergulirnya Revolusi Hijau tahun 1970-an hingga sekarang tingkat upah nominal pekerjaan pertanian terus mengalami kenaikan, namun secara riil tingkat upah cenderung statis. Jika dibandingkan dengan industri, laju kenaikan upah pertanian hanya sekitar separuh tingkat upah sektor industri (Karsyno dalam Tarigan, 2004).

Gambaran perubahan sosial ekonomi di atas merupakan penyebab komplementer yang secara tidak langsung menciptakan kelangkaan tenaga kerja di sektor pertanian. Pada jangka panjang ini merupakan masalah mendasar bagi pembangunan pertanian, mengingat hingga saat ini pertanian masih diharapkan menjadi sektor yang andal sekaligus penyerap tenaga kerja terbesar.

Pekerjaan merupakan salah satu alat untuk mencukupi kebutuhan manusia, baik secara materi atau nonmateri. Sebagai alat, pada pekerjaan selalu lekat simbol-simbol status yang mendasari pandangan seseorang terhadap pekerjaan tersebut. Jika masyarakat tradisional dengan mudah dikaitkan dengan pekerjaan pertanian, maka ciri-ciri pada masyarakat kota dengan modernitasnya, seperti menurut Henry Pirenne (dalam Kuntowijoyo, 2005), ialah dominasi kegiatan nonpertanian sebagai sumber mata pencaharian. Lebih spesifik kota-kota, menurut Kuntowijoyo, hidup dari perdagangan dan industri, sedangkan pedesaan dari pertanian.

Pemuda pinggiran kota ialah subyek yang unik. Di satu sisi mereka merupakan anggota masyarakat perkotaan yang bersifat kosmopolit dan dinamis. Sedang di sisi lain, pada mereka masih relatif lekat identitas masyarakat agraris, yakni keakraban dengan suasana pertanian: di lingkungan mereka umumnya sawah dan ladang masih terhampar cukup luas. Keadaan “dualitas” ini menempatkan pemuda pinggiran kota pada persimpangan jalan: apakah mereka kelak tidak melirik pertanian sebagai pekerjaan, atau sebaliknya, pergi ke sawah dan ladang lalu berprofesi sebagai petani. Sebab lambat laun disadari atau tidak, roda pembangunan (fisik) perkotaan berpotensi meniadakan lahan pertanian di wilayah tempat mereka tinggal.

Kecenderungan kawasan-kawasan perkotaan yang mengarah pada pertumbuhan kota metropolitan merupakan dampak dari tumbuh dan maraknya pembangunan real estate, mall maupun hypermarket—ini dapat disebut sebagai proses metropolitanisasi, yang lebih jauh merupakan implikasi dari orientasi pembangunan di masa lalu yang lebih menitikberatkan pada kawasan perkotaan. Hal ini jelas menyiratkan bahwa segala fasilitas sarana infrastruktur dan tata peruntukan lahan kota (zoning) lebih ditujukan bagi kelompok masyarakat tertentu, dalam hal ini kelompok masyarakat kota yang telah meninggalkan mata pencaharian primer ke sekunder dan tersier. Impak lebih jauhnya, penduduk asli atau setempat, yang kebetulan petani, jadi tersingkir secara sosial, ekonomi, politik dan budaya dikarenakan mereka kesulitan untuk memiliki akses dalam tata ruang perkotaan, meski sebetulnya petani-petani tadi telah lama tinggal secara turun temurun (dengan cara menggantungkan basis produksi ekonominya pada lahan persawahan) di ruang yang sekarang mengkota tersebut.

Pada dasarnya, pembangunan kawasan perkotaan sudah menjadi bagian dari geo-politik kota. Dalam hal ini, struktur sosial dan ekonomi kota di negara berkembang seperti Indonesia cenderung ditentukan oleh pengaruh besar administrasi pemerintah daerah dan kaitan-kaitan komersialisasi sistem kapitalis dunia (Evers, 1982). Persoalan inilah yang memicu terjadinya tarik-menarik kepentingan terhadap sebuah “ruang”, antara kepentingan kapitalis dunia dengan kepentingan petani tradisional. Lahan atau tanah merupakan sebuah “ruang” yang diperebutkan.

Kepentingan kapitalis dunia memiliki tangan gurita untuk menarik sesuatu di luar dirinya ke dalam arus pusarannya: aras atas gaya hidup modern dan kosmopolit. Apa yang ditemukan di New York, Adelaide, Selangor dan Berlin akan tidak sulit didapatkan pula di Bandung, misalnya Kentucky Fried Chicken, McDonald’s, Dunkin Donuts dan Pizza Hut. Hal ini, seperti ditulis Setyobudi (2001), jelas menunjukkan adanya pembentukan jaringan kota-kota kosmopolit dan metropolis. Model pusat perbelanjaan dan pertokoan mengarah kepada hypermarket atau supermall menjadi salah satu ciri bagaimana citra kota itu dipancarluaskan.

Selayaknya sebuah magnet, kota sendiri menarik minat bagi desa-desa di sekitarnya. Kota, selain tumbuh dari dalam juga tumbuh oleh masuknya penduduk-penduduk dari luar, baik orang desa atau dari kota lain. Para pendatang dari desa pergi ke kota dengan membawa semangat kaum perkotaan. Selain jumlah penduduk bertambah dan semakin padatnya ruang perkotaan, muncullah pola-pola pemukiman yang makin lama makin didasarkan atas penghasilan, kekayaan dan martabat. Struktur sosioekologis yang khas memperlihatkan suatu diferensiasi ke dalam wilayah-wilayah kelas atas, kelas pegawai pemerintah dan kaum profesional (Evers, 1982).

Implikasinya, penduduk petani yang berada di daerah pinggiran, di kawasan pengembangan perkotaan, melakukan urbanisasi dalam artian pasif. Dia tidak beranjak. Dia menghadapi suatu perubahan lingkungan, tidak saja dari adanya lahan-lahan sawah yang beralih fungsi tapi juga beralih kepemilikan ke tangan orang kota. Di kanan kiri sawah mereka tumbuh bangunan. Mereka pun mengalami pengalaman-pengalaman baru dari lingkungan barunya yang mulai berubah dari desa menjadi kota.

Keadaan ini tentu tidak luput berpengaruh terhadap pemuda pinggiran kota. Apalagi secara sepintas kita bisa menganggap bahwa pemuda adalah golongan yang paling suka akan hal-hal yang baru. Mereka akan sangat tertarik menyerap teknologi modern—dan kota dengan segala hasil produksinya ialah simbol dari modernitas. Lebih jauh, tidak berhenti semata mengkonsumsi produk-produk kota, mereka tengah berhadapan dengan apa yang kerap disebut gaya hidup modern (perkotaan).

Modernitas secara umum adalah suatu perubahan sosial dan budaya yang bersifat massif. Modernitas berkaitan dengan suatu analisis terhadap masyarakat kapitalis industrial sebagai suatu perubahan revolusioner di mana stabilitas tradisi dan sosial itu dibangun dalam peradaban agraris yang agak stagnan (Turner, 2000). Dalam literatur lain, mengacu pada Weber, modernitas merupakan konsekuensi dari suatu proses modernisasi dengan apa dunia sosial berada di bawah dominasi estetisme, sekulerisasi, klaim universalistik tentang rasionalitas instrumental, diferensiasi bidang-bidang kehidupan, birokratisasi ekonomi, praktik-praktik politik dan militer, serta tumbuhnya moneterisasi nilai-nilai (Budiman, 1997).

Seperti menegaskan apa yang dikemukakan Kuntowijoyo—bahwa kota-kota hidup dari perdagangan dan industri (sektor nonpertanian), sedangkan pedesaan hidup dari pertanian—di sebuah kelurahan di pinggirang Kota Bandung tempat penulis melakukan penelitian tentang modernitas kota, penulis mendapati perubahan suasana “desa” menuju suasana “kota”. Kelurahan ini terletak ke arah tenggara pusat kota; merupakan wilayah perbatasan antara kota dan desa (secara administratif ialah perbatasan Kota dan Kabupaten Bandung), yang masih relatif luas areal pertaniannya. Perubahan sosial yang penulis temukan bertautan dengan apa yang dikemukakan Setyobudi tentang pencitraan kota berikut gaya hidupnya.

Secara umum, minat atau persepsi pemuda kelurahan ini terhadap pekerjaan pertanian ialah cenderung negatif. Ini sebenarnya suatu ironi dan paradoks tersendiri, mengingat lahan pertanian di sana, terutama sawah (padi), masih relatif luas dan hasil panennya cukup baik. Dari hasil observasi penulis dan wawancara dengan beberapa informan dan responden, alasan utama yang paling sering dikemukakan adalah soal status petani yang tidak memenuhi kepuasan para pemuda: mereka gengsi bila harus jadi petani yang harus turun ke sawah setiap harinya, walaupun sebenarnya rata-rata mereka memiliki pengetahuan dan kemampuan bersawah. Selain menjadi kuli bangunan di proyek-proyek perumahan dekat tempat mereka tinggal, mereka memilih bekerja di pabrik atau di toko, atau menjadi supir angkot, atau membuka gerai handphone kecil-kecilan bagi yang memiliki modal, dan sejumlah wirausaha dan pekerjaan informal lainnya. Sementara sebagian lagi meneruskan sekolah, menjadi PNS, guru, pegawai bank, dan pekerjaan-pekerjaan “kota” lainnya.

Seorang informan, gadis muda lulusan program D-1 sebuah lembaga pelatihan komputer di Bandung, berkata bahwa lebih baik menganggur daripada harus turun ke sawah. Lanjutnya, menjadi petani hanyalah cocok buat mereka yang berpendidikan rendah. Menariknya, tersirat bahwa bagi anak muda pekerjaan pertanian adalah urusan orang tua. Artinya, kelak bila mereka sudah tua pun besar kemungkinan akan terjun juga ke sawah, bila usaha atau pekerjaan yang sedang mereka rintis sekarang tidak berhasil. Memang, tidak semua pemuda benar-benar abai terhadap pekerjaan pertanian. Beberapa pemuda di kelurahan ini pun ada yang turun ke sawah, namun ini di antaranya lebih dikarenakan kekerabatan keluarga yang bersangkutan dengan si pemilik lahan atau petani penggarapnya.

Jadi, secara umum, untuk kasus di sebuah kelurahan pinggiran Kota Bandung ini, penulis mendapati bahwa pekerjaan pertanian memang sudah tidak cocok lagi dengan budaya kota. Kepemilikan lahan-lahan sawah sudah hampir seluruhnya dikuasi bukan oleh penduduk setempat, namun oleh orang luar, yakni para pemodal yang lebih memiliki kepentingan kapitalis. Sementara, minat pemudanya sendiri—di mana pemuda adalah generasi penerus—terhadap pekerjaan pertanian boleh dikatakan sudah tidak ada. Sebagai ilustrasi, barangkali mereka lebih bersemangat memikirkan bagaimana menyiasati perkembangan mode pakaian dan rambut agar tidak ketinggalan zaman di era modern yang terus berlari tinimbang menyuntuki cara memberantas hama tikus atau mengikuti perkembangan teknologi pertanian tepat guna. Dengan realitas seperti ini, akankah sektor pertanian (pinggiran) kota lambat laun benar-benar lenyap—mengingat misalnya dari satu sisi saja, laju konversi lahan yang kian meniadakan lahan persawahan demi kepentingan tempat tinggal, pabrik, mall dan seterusnya? Nampaknya ketakutan seperti itu memang berlebihan, namun bukannya tak mungkin, bukan?.