Oase Budaya : Geliat Dari Forum Kingkar Pena

-- Dwi Fitria

Bertopangkan nilai-nilai keagamaan, karya sastra tidak muncul sekadar seni dan hiburan.

DI tengah-tengah booming film-film horor yang marak membanjiri bioskop-bioskop di Tanah Air, muncul sebuah film fenomenal, Ayat-ayat Cinta (AAC) yang dibesut oleh sutradara Hanung Bramantyo. Film ini mengusung sesuatu yang berbeda dari tema horor yang banyak mewarnai film-film seangkatannya. AAC mengangkat tema islami. Kesuksesan film ini masih suatu anomali bagi banyak orang. Di luar semua itu, film itu sukses menyedot jutaan penonton.

Film itu sendiri diangkat dari novel laris karya Habiburahman El Shirazy, yang menjadi semakin laris setelah difilmkan. Per-Juni 2007 lalu, novel ini telah dicetak ulang hingga 24 kali. Kabar terakhir, novel Ayat-ayat Cinta telah terjual sebanyak 700 ribu kopi.

Novel ini berkisah tentang perjalanan cinta Fahri, seorang mahasiswa Indonesia yang belajar di Universitas Al-Azhar Kairo, dengan pilihan pelik yang ia hadapi ketika keadaan membuatnya harus berpoligami.

Habiburahman El Shirazy sendiri tergabung dalam Forum Lingkar Pena, sebuah forum yang mewadahi penulis-penulis yang sebagian besar punya latar belakang Islam. Habiburahman bukanlah satu-satunya eksponen yang punya nama besar dalam komunitas ini. Helvy Tiana Rosa, motor penggerak Lingkar Pena, dan Asma Nadia yang kini menjadi ketua FLP, adalah dua nama lain yang juga telah meninggalkan jejak tersendiri dalam khasanah Sastra Indonesia.

Pada 2005 lalu, cerpen Helvy, Jaring-Jaring Merah dinobatkan sebagai cerpen terbaik dalam sepuluh tahun terakhir oleh majalah sastra Horison. Helvy baru saja menerbitkan sebuah kumpulan cerpen berjudul Bukavu. Sementara Asma Nadia, kerap menulis buku-buku fiksi seperti Istana Kedua, maupun nonfiksi semisal serial La Tahzan yang laris di kalangan pembaca terutama para pembaca remaja. Forum Lingkar Pena yang berlatar belakang Islam, mau tidak mau kerap membuat keduanya diasosiasikan dengan karya-karya sastra Islam.

Mengolah nilai Islam

Keduanya tidak menolak bahwa karya-karya mereka kental mengusung nilai-nilai islami. Tapi ini tidak berarti bahwa karya yang lahir dari kedua penulis bersaudara itu berisi dakwah per-se dan berusaha dengan vulgar menggurui pembacanya.

“Dakwah pada dasarnya adalah mengajak kepada kebaikan. Tetapi tidak berarti bahwa menulis karya dengan mengangkat nilai-nilai islami akan terjebak menceramahi atau menggurui,” ujar Asma. “Jika biasanya kawan-kawan sastrawan lain berangkat membuat karya sebagai satu bentuk ungkapan kegelisahan, begitu juga dengan kami. Kami juga berangkat dari kegelisahan yang sama.

Asma memiliki kepedulian terhadap masalah perempuan, hak asasi manusia, dan poligami. Kegelisahannya memandang realitas berhubungan dengan hal-hal ini mewarnai karya-karyanya. Yang membuat berbeda adalah, ia menggunakan kacamata Islam untuk memandang masalah ini dalam karya-karyanya.

“Islam adalah sebuah sistem yang integral. Jadi saat berbicara mengenai karya, sama seperti hal lain yang saya lakukan dalam hidup saya, karya haruslah mengandung nilai ibadah,” ujar Helvy. “Dakwah menurut Islam adalah sesuatu yang baik. Tapi sebagai penulis kita harus bisa membungkusnya dengan estetika sehingga tak serta-merta semata menjadi ceramah. Kuncinya ada pada bagaimana menyampaikan pesan tanpa berdakwah secara verbal. Dakwah itu harus dibungkus dengan estetika, teknik serta komposisi yang menarik,” ujar Helvy.

Baik Helvy maupun Asma sama-sama melihat nilai-nilai Islam sebagai nilai-nilai universal yang humanis. Ini bisa dilihat dari banyak pengarang di luar Islam yang baik secara sadar atau tak sadar mengangkat nilai-nilai Islam dalam karya-karya mereka.

“Sebetulnya harus dibedakan antara sastra Islam dan sastra islami, saya pernah menulis sebuah makalah tentang masalah ini, sastra Islam adalah sastra yang penulisnya memang beragama Islam, dan punya komitmen untuk menyebarkan nilai-nilai, versi ustad-ustadlah,” ujar Helvy.

Sementara sastra islami adalah sastra yang ditulis orang-orang non-Muslim, tapi amat terlihat bahwa nilai-nilai yang disampaikan oleh si pengarang bernuansa Islam. Helvy mengambil contoh Kahlil Gibran. “Ia bukan orang Islam, tapi karya-karyanya sangatlah islami,” ujar Helvy.

Hal ini bisa terjadi karena Islam mengandung muatan yang melintas batas-batas agama. “Berbicara Islam, sama juga artinya berbicara tentang peristiwa sosial, kemiskinan, juga hak asasi manusia,” kata Asma.

Tanggung jawab penulis

Baik Asma maupun Helvy, tidak terlalu ambil pusing soal label sastra Islam yang kerap dilekatkan kepada mereka. “Saya tidak pernah mempermasalahkan apakah karya saya dianggap karya islami atau Sufi, semua tergantung pada pandangan pembacanya,” kata Helvy.

Namun berbeda dengan banyak sastrawan lain yang menganggap bahwa ketika sebuah karya diterbitkan maka pengarangnya tak lagi berhak melakukan apa pun, Helvy mengambil sikap yang berseberangan.

“Pertanggungjawaban penulis tak berhenti sampai di situ. Amat penting bagi penulis untuk memahami bagaimana bukunya akan memberi makna kepada pembacanya. Misi saya adalah menulis buku yang bisa membawa pencerahan dan membuat pembacanya bergerak ke arah yang lebih baik, sehingga mereka menjadi makin baik setelah membacanya. Ada saja karya sastra yang entah mengapa berakibat buruk pada pembacanya, ada keinginan membunuh orang misalnya,” ujar Helvy.

Helvy mengambil contoh pembunuhan terhadap John Lennon. Mark David Chapman membunuh Lennon dengan menembaknya lima kali dari belakang pada 8 Desember 1980. Ketika ditangkap Chapman membawa-bawa buku The Catcher in The Rye karya J.D Salinger. Pembunuh Lennon ini menyatakan bahwa buku itu bisa menjelaskan perspektif dan motifnya melakukan pembunuhan.

“Seorang pengarang tidak bisa lepas tangan setelah buku dilempar ke pasar. Ia masih memiliki tanggung jawab sosial terhadap pembacanya,” kata Helvy.

Baik Asma maupun Helvy sama-sama mengatakan bahwa secara keseluruhan karya-karya mereka mendapatkan sambutan yang amat positif. Dan predikat sastra Islam yang kerap ditempelkan kepada karya-karya mereka tidak menyurutkan antusiasme pembaca.

“Respons yang diberikan kepada karya saya datang dari berbagai kalangan usia, juga berbagai kalangan masyarakat. Ada ibu-ibu berusia 55 tahun dan 65 tahun yang memberikan tanggapan kepada buku saya. Selain itu saya juga mendapatkan respons dari pembaca beragama lain,” ujar Asma Nadia.

Helvy memulai karier kepenulisannya di majalah Annida, dan ia tidak menampik bahwa sebagian besar pembacanya berasal dari kalangan Muslim, sebab memang pembaca beragama Islamlah yang menjadi sasaran konsumen majalah tersebut.

“Tapi ini tak berarti pembaca karya saya terbatas di kalangan Muslim saja. Ada karya-karya saya yang sudah diterjemahkan ke bahasa-bahasa Inggris, Prancis, Jerman, Jepang, Swedia. Mungkin ini berarti karya saya juga bisa diterima oleh kalangan di luar Islam,” kata Helvy.

Sumber: Jurnal Nasional, Minggu, 31 Agustus 2008