NEO-LIBERALISME DAN NASIONALISME KITA

Seperti halnya sebuah sistem pemerintahan dan politik, sebuah sistem ekonomi pastilah didasarkan atas pemikiran atau aliran filsafat tertentu. Demikian pula halnya dengan dua sistem ekonomi yang sedang diperdebatkan dengan hangatnya sekarang ini di negeri kita, yaitu neo-liberalisme dan ekonomi kerakyatan. Karena itu keduanya tidak saja dapat diperdebatkan dari perspektif ilmu ekonomi, tetapi juga dari perspektif sejarah pemikiran atau filsafat sebagaimana akan saya coba lakukan sejauh kemampuan saya.

Aliran pertama lazim disamakan dengan sistem ekonomi pasar bebas dan berakar dari perpaduan pemikiran sosial, politik dan ekonomi, serta anthropologi falsafah seperti liberalisme, utilitarianisme, individualisme, materialisme, kapitalisme, hedonisme, dan lain sebagainya. Yang kedua lahir dari paham seperti altruisme, kolektivisme, dan sosialisme, baik sosialisme bercorak secular maupun keagamaan.

Ekonomi kerakyatan dipandang sebagai sistem yang sesuai dengan semangat UUD 45, baik sebelum maupun sesudah diamandemen. Karena itu sering dihubungkan apa yang disebut sebagai Ekonomi Konstitusi. Mohamad Hatta (1959) menyebutnya sebagai Ekonomi Terpimpin. Dalam perkataan ‘kerakyatan’ itu tersimpul dasar keadilan sosial atau demokratis, yaitu satu untuk semua, semua untuk satu, dan semua untuk semua (Hadori Junus, dalam Mubyarto 1980). Dalam sistem ini dikehendaki produksi dikerjakan untuk kepentingan bersama dan secara bersama-sama pula, melalui koperasi, dengan pengawasan masyarakat secara terpimpin.

Tetapi malang, sistem yang dipandang berpihak kepada rakyat ini tidak dilaksanakan dengan baik sebagaimana terbukti dengan mandegnya perkembangan koperasi. Sarjana-sarjana ekonomi mencari sumber kegagalannya pada strategi pembangunan ekonomi yang cenderung bersifat liberal-materialistis, terutama yang dijalankan pada masa pemerintahan Orde Baru (Jan Mokoginta 1979). Menurut Mubyarto (1980) sistem yang tersimpul dalam kebijakan pembangunan Orde Baru tidak sesuai dengan GBHN, sebab dalam GBHN jelas sekali ciri-ciri negatif dari sistem ekonomi liberal ditolak seperti misalnya free-fight liberalism, etatisme dan kecenderungan monopoli serta oligapoli. Di bawah strategi pembangunan seperti itu, yang kelak memberi jalan lempang bagi neo-liberalisme, bangsa Indonesia menderita dan lumpuh, serta akhirnya jatuh ke tangan eksploitasi asing. Dampak dahsyatnya pula tidak kalah sangat dirasakan secara cultural, berupa suburnya pola dan gaya hidup konsumtif dan hedonis.