Lebaran Yang Mahal


Lebaran datang, menyodorkan aneka masalah klasik, dari isu tunjangan hari raya hingga harga-harga kebutuhan pokok dan ongkos jasa yang melejit, 50 persen-100 persen. Lebaran pun menjadi kian mahal dan sulit. Lebaran yang asketis perlu dijadikan pilihan.
Di dalam masyarakat kita, Lebaran telah menjadi saat yang bernilai untuk merajut solidaritas sosial, antara lain melalui tindakan etis saling memaafkan dan menyatu kembali dengan basis komunitas (saudara, handai tolan, kerabat).
Dalam istilah budayawan Umar Kayam, saat Lebaran orang melakukan kegiatan solidaritas untuk mengukuhkan kembali nilai-nilai budaya dan sosial tanpa membedakan latar agama, politik, sosial, ekonomi, dan budaya. Untuk itu, mudik atau kembali ke akar sosial dan budaya merupakan salah satu aktualisasi yang dipilih masyarakat kita baik di kota maupun di desa.
Pilihan untuk kembali ke akar budaya dan sosial itu tidak harus dibaca sebagai pemupukan atas primordialisme sempit, tetapi sebagai upaya pemaknaan eksistensial atas asal-usul atau sangkan parining dumadi (dari mana manusia berasal). Selain itu, juga berlangsung penyerapan kembali atas nilai-nilai budaya.
Hal ini berguna sebagai modal bagi seseorang untuk peningkatan aktualisasi diri dalam peran sosialnya. Artinya, dengan lebih memahami akar sosial dan budaya, manusia menjadi lebih peduli dengan yang lain sehingga tidak terjebak individualisme dan egoisme, tetapi menjadi pribadi yang solider.
Kultur konsumsi
Esensi Lebaran yang amat bermakna dan indah itu telah digeser oleh kekuatan modal dan industrialisme ke dalam kultur konsumsi, yakni sebuah kultur (bentukan) yang menjadikan konsumsi sebagai basis pemaknaan atas ritus-ritus sosial-budaya di mana masyarakat direduksi hanya sebagai makhluk berlabel konsumen, bukan makhluk kultural.
Kultur konsumen ini mewajibkan masyarakat untuk merayakan Lebaran dalam logika kapital/uang demi penikmatan atas benda-benda, jasa, dan hiburan. Tanpa hal-hal itu, seolah Lebaran menjadi hampa. Akibatnya, masyarakat terseret arus pemaksaan diri untuk memenuhi segala keinginan atas konsumsi yang sebenarnya tidak selalu dibutuhkan. Inilah dahsyatnya kapitalisme dalam mengacaukan logika masyarakat sehingga masyarakat tidak mampu membedakan antara ”keinginan” (hal- hal artifisial) dan ”kebutuhan” (hal-hal esensial).
Dalam logika kapital dan kultur konsumsi itu, Lebaran menjadi amat mahal, bahkan sulit dijangkau, terutama bagi wong cilik, kaum duafa, kaum yang terpinggirkan secara sosial-ekonomi. Harga-harga kebutuhan mendasar dan ongkos jasa yang melejit menjadi prasyarat wajib bagi siapa pun untuk dapat merayakan dan menikmati Lebaran.
Tingkat kebutuhan dan keinginan yang amat melesat memaksa setiap orang berjuang untuk mendapatkan tambahan pendapatan. Tunjangan hari raya (THR) pun menjadi keniscayaan yang tidak dapat ditawar bagi masyarakat yang hidup dalam struktur kelembagaan, baik resmi maupun swasta. Bagi pegawai negeri sipil, THR bukan masalah. Namun, bagi karyawan swasta, THR sering menimbulkan masalah. Untuk itu, lembaga hukum semacam LBH membuka pos pengaduan masalah THR.
Lebaran yang asketis
Persoalan rumit menyerimpung masyarakat yang hidup di luar struktur yang resmi dan swasta. Mereka mendapatkan THR dari siapa? Pemberian, zakat, sedekah dari orang yang berkemampuan ekonomi kuat pun menjadi harapan. Maka, pemandangan klasik dan getir pun selalu menyeringai: orang- orang miskin berdesak-desakan dalam antrean panjang demi uang zakat Rp 20.000-Rp 50.000 atau beberapa kilogram beras, gula, minyak goreng, dan beberapa bungkus mi instan. Tidak jarang untuk mendapatkannya orang harus pingsan bahkan meninggal.
Teater sosial yang getir dan pedih itu tak kunjung berakhir selama negara tetap konsisten menerapkan kebijakan ekonomi berbiaya tinggi. Ini merupakan buah pahit dari pemberlakuan negara atas sistem ekonomi kapitalistik dan pasar bebas. Celakanya, negara tidak segera beranjak menjadi protektor masyarakat dan melakukan kontrol atas ”kebuasan” kapitalisme yang telah menjelma menjadi predator. Misalnya, dengan mengendalikan harga-harga kebutuhan pokok dan ongkos jasa melalui sejumlah peraturan.
Jika peran negara tidak dapat diharapkan, masyarakat seharusnya mampu memproteksi diri dari kultur konsumsi yang dipompa oleh kapitalisme, dengan memilih jalan asketis, yakni melakoni pemahaman bahwa Lebaran tidak harus dirayakan dalam logika kapital atau logika uang, tetapi dengan logika budaya: menukik pada esensi Lebaran dengan mengutamakan penguatan ikatan sosial (solidaritas) tanpa ritus-ritus beraroma konsumsi yang berlebihan.
Masyarakat perlu mengubah kultur Lebaran dari kultur konsumsi ke kultur yang kuyup nilai-nilai spiritual dan sosial. Karena itu, masyarakat membutuhkan Lebaran yang lebih asketis. Dengan asketisme itu, masyarakat mampu menggenggam pencerahan.