Krisis KPK dan Komitmen pada Kebenaran

Kekisruhan seputar Komisi Pemberantasan Korupsi hingga kini masih menjadi wacana publik yang menyisahkan tanda tanya besar. Keluarnya Perpu No 4/2009 tentang perubahan UU No 30/2002 tentang KPK menyusul penetapan dua wakil ketua KPK (Chandra Hamsah dan Bibit Samad Rianto) sebagai tersangka seakan memberi jawab atas sedikit kekisruhan ini. Tidak lantas mulus kemudian. Suara-suara miring mulai bermunculan. Bukan saja bahwa alasan ‘kegentingan’ yang mensyaratkan sebuah Perpu dikeluarkan bisa diperdebatkan, namun juga dikeluarkannya Perpu ini memungkinkan Presiden mengangkat anggota sementara pimpinan KPK jika pimpinan komisi itu kurang dari tiga orang. Indikasi kuat adanya upaya pengerdilan KPK secara sistematis dan pemberantasan korupsi pada umumnya menjadi salah satu asumsi yang muncul ke permukaan, sebagaimana dikatakan Ray Rangkuti dari Lingkar Madani Indonesia.

Persoalan tidak berhenti di situ. Seakan memberi jawab, asumsi ini sedikit ditangkal dengan kenyataan ketika Presiden membentuk tim 5 yang bertugas memberikan rekomendasi calon anggota sementara pimpinan KPK. Wacana kemudian bergeser kepada soal penentuan calon untuk mengisi jabatan tiga unsur pimpinan KPK yang sedang kosong. Ditambah lagi, ketka melihat tim 5 yang dibentuk (Widodo AS, Adnan Buyung Nasution, Andi Matalatta, Taufiqrachman Ruki, dan Todung Mulya Lubis) yang diketuai oleh Menko Polhukam Widodo AS ‘dianggap’ publik minus kepentingan. Sebagian anggota tim 5 adalah tokoh publik yang dekat dengan para penggiat anti korupsi. Opini terus bergulir. Kemudian mulai ada pembacaan baru atas kelima anggota tim ini. Sebagaimana dilansir harian koran Jakarta pada headline kamis 24 September yang lalu, bahwa Tim Rekomendasi KPK rawan kepentingan. Andi Matalatta dan Widodo AS jelas mewakili pemerintah dan tidak bisa objektif. Adnan juga tidak kritis lagi.

Akan halnya Ruki saat ini menjadi komisaris PT. Krakatau Steel, ditambah isu tebang pilih sangat kuat melekat ketika ia menjadi Ketua KPK. Untuk sementara, rasa-rasanya kita sedang dibawa pada taman labirin, di mana kita menemui jalan buntu, njlimet, dan sangat rumit. Sementara, tim ini diberi waktu oleh Presiden 7 hari hingga 1 Oktober ini untuk memberikan rekomendasi kepada Presiden. Dan pada saat yang sama publik menaruh harapan besar pada kinerja KPK untuk pemberantasan korupsi di tanah air, dan oleh karena itu dibutuhkan orang-orang yang memang pantas dan layak untuk mengemban tugas publik yang luhur sekaligus tidak mudah itu.

Kita semua mahfum bahwa membuat sebuah disposisi yang serba pasti dalam perpolitikkan di negeri ini menjadi kesulitan. Politik yang telah dijadikan taman kebohongan, daripada taman kebenaran yang bernilai adiluhung membuat publik hanya bisa mereka-reka, akan ke mana bandul atau bola panas politik itu bergulir dan kemudian berhenti. Moral selalu menjadi pilihan, karena ia berkaitan dengan kaidah-kaidah yang ideal dari sebuah pengertian yang benar dan tepat tentang politik, yaitu menyangkut kepentingan umum atau kesejahteraan bersama (bonum commune).

Secara adekuat ditegaskan oleh J. Kristiadi dalam memberi komentar atas buku Sakramen Politik yang ditulis oleh Sdr. Eddy Kristiyanto, OFM, bahwa politik adalah tanda keselamatan di mana terkandung nilai-nilai yang sangat luhur. Politik yang dilihat sebagai sakramen merujuk pada makna politik sebagai tanda dan sarana yang mengantar pada pembebasan dan penyelamatan manusia dari semua hal yang menistakan manusia (Sakramen Politik: 2008). Komitmen ini perlu ditanggapi oleh tim rekomendasi KPK yang hari-hari ini berpikir keras tentang pemilihan orang-orang yang dinilai ‘tepat dan benar’ menduduki posisi kosong KPK, elit politik bangsa ini, dan segenap elemen bangsa. Moralitas politik yang rasa-rasanya tepat untuk kondisi rumit hari-hari ini adalah perihal ‘kebenaran.’

Dalam konteks ini, apakah tim 5 bisa sungguh-sungguh memeluk kebenaran, darinya mereka pun bisa bertindak benar, sehingga wacana atau sesumbar ‘syarat kepentingan’ atau istilah lain lagi yang muncul ‘desain yang (nyaris) sempurna’ yang gencar didiskusikan pada ranah publik hari-hari ini bisa sedikit dipangkas? Kebenaran dalam pengertian yang sangat sederhana merujuk pada pengertian kebenaran korespondensi (Richard Rorty: Truth and Progress, Philosophical Papers, 1998) yaitu menyangkut kesesuaian antara apa yang kita pikirkan, percayai dan nyatakan (baik lisan maupun tertulis) dengan kenyataan atau apa yang sesungguhnya terjadi.

Dalam hal hubungan antara kata dan laku atau pernyataan dan tindakan, kebenaran berarti kejujuran dan ketulusan. Kenyataan atau apa yang sesunggunya terjadi untuk konteks kita adalah kenyataan yang terkait dengan kebenaran moral. Sejauh mana ucapan, tindakan dan pikiran anggota tim 5 ‘bersesuaian’ dengan komitmen moral kesejahteraan bersama seluruh masyarakat Indonesia, yang sedang haus keadilan dan didera kemiskinan berlipat ganda, dalam menentukan orang-orang yang menduduki posisi kosong di KPK? Pun pula ketika menerima tugas ini?

Bukankah pemberantasan korupsi menjadi agenda penting pemerintahan SBY dan semua masyarakat tahu, merekam dan meyimpan dalam-dalam janji-janji pemberantasan korupsi di tanah air? Apakah langkah mengatasi krisis KPK yang diambil saat-saat ini bisa menjawab janji dan komitmen pemerintahan SBY itu? Komitmen pada kebenaran, menyangkut ‘kesesuaian’ antara apa yang dikatakan, apa yang dipikirkan menjadi pertanyaan yang harus dijawab jujur dan tulus oleh pemerintah terkait krisis KPK pada saat ini.

Dimensi lain, merujuk pada jenis kebenaran, dan pada konteks ini kita bisa merujuk pada kebenaran menyangkut pribadi orang, tanpa lupa akan jenis kebenaran lain: barang atau hal dan pernyataan (pendapat, kepercayaan, dan pengetahuan). Wilfred Cantwle Smith mengatakan bahwa orang yang benar adalah orang yang jujur atau tulus. Secara moral, orang itu berperilaku baik. Smith bahkan menambahkan bahwa tempat sentral untuk memahami kebenaran dalam konteks hidup beragama dan hidup bermoral adalah kebenaran tentang pribadi orang.

Pada konteks krisis KPK, apakah anggota tim 5 yang dipercayakan oleh Presiden adalah orang-orang yang sungguh-sungguh jujur, dan secara moral berperilaku baik, dan kualitas manusiawinya bisa dipertaruhkan? Bahwa ada syarat pimpinan KPK, namun di atas segala-galanya, apakah ia bisa kita nilai ‘benar’: pikiran, perilaku, dan kata-katanya? Benar dalam konteks moralitas politik menyangkut kesesuaian dengan komitmen kesejahteraan bersama dan kesejehteraan bersama itu sendiri. Itu berarti, menyingkirkan kepentingan pribadi, golongan atau apa pun segala bentuk pragmatisme, yang hari-hari ini menjadi keresahan publik. Hanya Presiden, anggota tim 5, dan tentu mereka yang dipilih yang bisa menjawab. Masyarakat hanya bisa menitipkan pesan ‘kebenaran’ ini, senandainya ini pun dianggap benar oleh elit-elit politik negeri ini.

Harapan besar pada KPK sebagai komisi pemberantasan Korupsi pantas didukung dengan perangkat dan kebijakan yang membuatnya bisa berjalan optimal dan tidak timpang. Mari bertindak, berkata, dan berpikir benar, karena memeluk kebenaran menyingkirkan segala kecurigaan dan pastinya ‘kebohongan dan dusta di antara kita. Panduan moral tidak saja menjadi sebuah opsi tetapi sebuah imperatif yang memuat kewajiban. Dan itu berangkat dari niat baik untuk membangun mimpi bersama tentang ‘kesejahteraan.’ Akankah itu kita dapatkan pada penyelesaian krisis KPK yang sedang berada di tangan anggota tim 5 saat ini? Salam kebenaran.   Thomas Harming Suwarta, Almuni STF Driyarkara – Jakarta