Kaum Miskin Menggugat !!!

Ketika bendera merah putih berkibar di bawah langit Indonesia dalam memperingati Dirgahayu Kemerdekaan RI Ke-61 belum lama ini, adakah rasa merdeka bagi mereka yang pengangguran, kemiskinan, kelaparan dan hidup di jalanan atau tinggal di rumah sempir berukuran 2 x 2,5 meter persegi?

Kaum miskin di negeri ini belum merdeka dari kepahitan hidup yang didera. Kemerdekaannya terenggut karena tak merasakan kebebasan menjalankan fungsi dalam hidup. Disamping itu, negara ini terdampar dalam lilitan utang luar negeri yang terus-menerus mengekang kedaulatan kita, apalagi bagi generasi muda dan anak-cucu-cicit nanti.

Pelan tapi pasti, negeri ini telah dikangkangi “penjajah-penjajah ekonomi dunia.” Menjadi bangsa yang bemartabat baru sebatas cita-cita kata yang tertata dengan rapi dalam lembaran teks pidato pada setiap memperingati seremonial Ulang Tahun Hari Kemerdekaan. Hingga kini, cita-cita menjadi bangsa yang bermartabat itu belum terlaksana. Apakah yang salah dengan manusia Indonesia?

Bermartabat berkelindan dengan bermoral. Prof Dr Syafii Maarif (2005) seringkali menegaskan supaya manusia Indonesia menjadi manusia yang bermoral, karena itu adalah salah satu syarat untuk memulihkan dekadensi moral manusia Indonesia. Beberapa persyaratan yang lain, yang menurut Buya Syafii harus terpenuhi diantaranya, berani memulai untuk bersikap jujur terhadap diri sendiri, mengakui borok-borok yang menempel pada diri sendiri, dan jangan pernah menjual kebohongan di mana-mana.

Tetapi, persayaratan yang disebutkan Syafii Maarif itu bukanlah hal yang mudah dilakukan. Hal itu disebabkan karena manusia itu memiliki posisi yang unik, apalagi manusia Indonesia. Keunikan manusia itu secara natural terjadi dikarenakan terletak pada dualisme moral yang ada pada dirinya. Pada satu sisi, manusia bisa berkehendak secara baik, integratif, dan positif serta di sisi lain ia berpotensi melakukan hal-hal yang buruk, negatif dan disintegratif. Persoalannya, ke arah manakah dari dua kecenderungan ini manusia Indonesia memilih.

Jika salah pilih, manusia Indonesia telah mengikis eksistensi diri mereka dari tanah air mereka sendiri. Budaya korup dan menjilat yang seolah sudah menjadi bagian dari masyarakat dalam kehidupan sosial sehari-hari akan membangun ruang publik yang sakit. Disamping itu akan menghambat berkembangnya ruang sosial (publik) secara baik.

Dalam setiap pengambilan keputusan, masyarakat yang korup tidak lagi memikirkan, apalagi mempertimbangkan hal baik dan buruk. Yang ada adalah bagaimana cara yang dilakukan itu berhasil dan sesuai dengan keinginan pribadi. Meskipun hal itu harus menabrak norma-norma luhur yang potensial berkembang dalam masyarakat.

Sejarah Tak Berarti

Kemerdekaan bagi orang miskin adalah kebebasan untuk hidup. Karena kemiskinan adalah sebuah pengingkaran terhadap kebebasan, orang-orang miskin berjuang untuk kebebasan supaya tercapai kesejahteraan. Bila kemerdekaan mereka dikebiri oleh sikap wakil rakyat dan kebijakan pemerintah yang tidak berpihak kepada kaum miskin, maka tak ada arti kemerdekaan.

Ketika Pidato kenegaraan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (16/82006), data kemiskinan yang diungkapkan SBY tidak up to date bahkan out of date. Membandingkan angka kemiskinan pada 1999 dengan awal 2005 itu out of date, karena awal 2005 adalah prestasi pemerintahan Megawati Soekarnoputri. Sementara Presiden SBY dan kabinetnya saat itu baru seumur jagung.

Dari situ, amat disayangkan, kemerdekaan belum dirasakan kaum miskin di tanah air yang kekayaan alam melimpah ruah ini. Semuanya tampak kontras, nilai kemerdekaan yang sesungguhnya telah tercabik oleh kepentingan kelompok tertentu. Dan, kemerdekaan kaum miskin di negeri ini pun “terkoyak” oleh “kedustaan” pemerintah, bahkan juga oleh wakil rakyat (DPR) yang tak pernah merasa puas dengan gaji yang mereka terima.

Padahal, lelah para wakil rakyat tak seberapa dibandingkan dengan perjuangan orang-orang miskin yang berdesak-desakan mengambil dana bantuan langsung tunai dan antrian panjang membeli minyak yang harganya bertambah mahal, ditambah lagi dengan beban perjuangan keseharian mereka untuk dapat bertahan hidup.

Apakah itu berarti sejarah tak punya arti? Menurut Karl Popper, sejarah memang tidak punya arti. Fakta masa lalu tidak pernah memiliki arti pada dirinya sendiri. Terutama bagi manusia zaman modern ini. Fakta itu baru memiliki arti kalau kita memutuskan untuk memberinya arti. “Facts as such have no meaning; they can gain it only through our decisions...”

Nasib Negeri

Kemerdekaan berarti kebebasan, selama kebebasan itu belum diterima maka nilai kemerdekaan masih bisa ditakar kadar kemurniaannya. Kemerdekaan berarti juga pengakuan terhadap kesetaraan sesama manusia. Kemerdekaan juga ekspresi tindakan keadilan, perlakuan yang sama kepada siapapun tanpa memandang status sosialnya.

Tengoklah, mulai dari bencana tsunami di Aceh hingga lumpur panas di Porong, yang paling menderita adalah kaum miskin. Lumpur panas PT Lapindo Brantas mengakibatkan tiga desa tenggelam dan tidak bisa dihuni, lima belas pabrik yang mempekerjakan 1.736 karyawan terpaksa tutup, lahan pertanian yang terendam lumpur, menimbulkan masalah sosial ekonomi. Rendra (2006), ketika menerima penghargaan Ahmad Bakrie Award dengan puitis menyatakan: “Delta Sungai Brantas yang subur, yang proses pembentukannya berabad-abad melebihi usia peradaban manusia, hancur tertimbun lumpur untuk selama-lamanya.”

Selain teror bencana, negeri ini pun megalamai tekanan psikologis yang berkepanjangan, yakni diteror untuk membayar utang luar negeri yang menumpuk. Wajar bila sebelum wafat Ramadhan KH merasa gelisah dan mengirim pesan singkat (SMS) kepada Syafii Maarif (2006): “Saya merasa, saya selalu sepikiran dengan Anda; Juga seperasaan; apakah negara kita ini akan eksist atau akan tenggelam?”

Akhirnya, pengalaman membangsa selama ini ditambah dengan dekade-dekade penuh duka sebelumnya, tangga demi tangga mencapai kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia berjalan setengah hati. Kita pun tak mampu menghormati hak azasi negeri kita sendiri. Dan, utang luar negeri terus-menerus akan membelenggu kedaulatan negara kita yang katanya telah merdeka. Oleh : David Krisna Alka, Deputi Direktur Center for Moderate Muslim (CMM), Aktivis Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah(JIMM) dan Alumnus UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta.