Ibadah Seusia Jamur

Ramadhan, tiba – tiba banyak manusia yang terjebak dengan ibadah yang seusia jamur, maksiat terportal dengan istilah ‘ingat lagi puasa’. Amal ibadah manjadi sekian signifikan peningkatannya, pintu maksiat dirampingkan, pintu taubat di lapangkan seluas – luasnya. Kembali ke usia jamur, ranum kala hujan menyirami bumi, namun tak pernah keluar selama 11 bulan kedepan. Apakah tradisi ibadah usia jamur akan terus seperti ini? Ataukah perlu semua bulan di fatwakan menjadi Ramadhan agar Ibadah tak lagi seperti Usia Jamur?.

Ramadhan, Ibadah, Usia Jamur

Memaknai Derajat
Tujuan puasa hanyalah satu, yaitu membentuk insan yang bertaqwa (la’alakum tattaquun). Pada bulan ini, perpustakaan yang menyimpan ilmu kembali dibersihkan dari debu dan mulai dikaji kitab – kitabnya. Hanya saja, terkadang ada kesalah kaprahan dari pembelajaran pada bulan ramadhan ini, kitab yang dibaca lebih dominant kitab yang menjurus kepada kemudahan dan entah seperti apa konsepsinya, para perawi haditsnya ataupun hal apa yang melegitimasi hadits tersebut sehingga dipelajari? Tiada maksud menyangkal pembukaan kembali kitab yang haditsnya belum jelas, namun seperti yang di syariatkan dalam Al – Quran yang menyatakan bahwa berislamlah secara kaafah (menyeluruh). Berislam secara kaafah ini bukan serta merta semua ajaran yang kita dapat lalu ditelan bulat – bulat, tentunya tabayyun (klarifikasi) sangat diperlukan untuk kehati – hatian beribadah.
Pada bulan ramadhan, khususnya pada jelang awal melaksanakan puasa, masjid – masjid hingga penuh sesak dan tidak muat lagi didalamnya. Ironinya, semakin hari jumlah shaf itu semakin maju (dari 20 shaf ke 15 hingga tinggal setengah shaf jelang akhir ramadhan). Awal ramadhan merupakan cucuran hujan yang sangat deras, hingga jamur di muka bumi muncul ke tanah dan menampakan kegagahannya dalam koloni (walaupun seperti itu, jamur tetaplah jamur yang lemah). Terlepas dari itu, pada awal bulan ramadhan, muslim di seluruh pelosok mencoba kembali kepada jati diri muslimnya. Hanya, selalu saja balancing case itu selalu ada, antara iman-kafir, ibadah-maksiyat. Ibadah yang seusia jamur akan segera luntur diterpa berbagai cobaan yang kian hari mencoba menghanguskan eksistensi iman.Perlu Diperjelas
Keberadaan menumbuhkan kesadaran, demikian hal tersebut seringkali diucapkan oleh para trainer perusahaan, konsultan bisnis, ataupun organisasi. Ketika kita merasa diri kita sebagai manusia yang memang benar – benar diklaim paling mulia, tentunya kesadaran untuk tidak dilaknat malaikat harus ada. Karena malaikat stratanya berada dibawah keberadaan manusia, hanya saja dalam beberapa riwayat dikatakan bahwa malaikat berani melaknat seorang istri yang tidak mau digauli suaminya hingga subuh. Apakah pada saat tersebut malaikat berganti posisi menuju makhluk yang melebihi eksistensi manusia yang dikalim paling mulia (dalam Al – Quran).
Begitupun oleh maklhuk yang sudah jelas dilaknat Allah hingga hari kiamat, dialah Iblis dan Syetan. Secara logika sederhana, makhluk yang sudah dikutuk Allah tentunya derajatnya jatuh dan berada di strata paling rendah. Namun atas lobby Iblis meminta legitimasi kepada Allah untuk mengganggu manusia dan menjerumuskannya ke dalam neraka bersama iblis dan syaitan. Namun, mengapa manusia yang memang benar – benar diklaim menjadi khalifah di bumi masih digoda? Apakah derajat makhluk tertinggi (manusia)akan dikalahkan oleh derajat makhluk terendah (Iblis – Syaitan). Tentunya, setelah kesemuanya jelas, maka perlu taktik dan strategi untuk menangkal itu semua. Ini buka pertarungan antara keimanan dan keislaman saja, tetapi pertarungan antara derajat makhluk tertinggi dan terendah berebut eksistensi menuju kuantitas antara surga dan neraka. Sederhananya, manusia sebagai makhluk yang derajatnya tinggi tidak perlu berendah diri kepada Syetan dan manusia memiliki tugas yang sangat mulia dan tertera jelas dalam al – quran yaitu sebagai khalifah di muka bumi. Maka, sangat irasional jika derajat tertinggi di kalangan makhluk dapat didomonasi oleh derajat terendah.