Di Mana Peran Zakat dalam Mengentas Kemiskinan?

Benarkah zakat mampu mengentaskan kemiskinan? Sebuah pertanyaan yang menggelitik bila kita menyaksikan realita di mana penduduk Indonesia yang mayoritasnya adalah Muslim namun prosentase kemiskinan tetap tinggi. Apa yang terjadi di balik kemiskinan rakyat Indonesia sementara mayoritas penduduknya mengenal zakat? Lantas, di mana peran zakat selama ini? 

Pada masa khalifah Umar bin Abdul Aziz, hanya selama kurang lebih dua tahun pemerintahan, sudah tidak ditemui lagi orang-orang yang bersedia menerima zakat. Sungguh sebuah prestasi luar biasa yang sangat membanggakan. Pengentasan kemiskinan hanya dalam kurun waktu dua tahun. Sementara di negeri kita tercinta, Indonesia , kian hari justru kian bertambah jumlah orang yang antri untuk menerima zakat. 

Menurut Badan Amil Zakat Nasional (Baznas), potensi zakat umat Islam Indonesia mencapai 19,3 triliun rupiah. Sebuah angka yang cukup signifikan di tengah keterpurukan ekonomi Indonesia. Berbagai sektor perekonomian yang mampu menghasilkan zakat cukup besar yakni pertanian, perkebunan, perniagaan, investasi, maupun simpanan berupa emas, perak, atau deposito. Tidak sedikit konglomerat Indonesia adalah orang Islam. Bahkan, mereka memegang posisi strategis dalam mengatur laju perekonomian. 

Pertanyaan mendasarnya kemudian, sudahkah mereka berzakat? Atau, bahkan mungkin mereka sama sekali tidak tahu tentang kewajiban zakat dalam harta mereka? 


Kesadaran Berzakat 

Tampaknya kesadaran berzakat inilah yang menjadi pembeda utama antara masyarakat di masa pemerintahan Khalifah Umar bin Abdul Aziz dengan kondisi rakyat Indonesia saat ini. Selama ini, dalam benak masyarakat muslim yang dimaksud zakat yang utama adalah zakat fitrah. Sementara zakat maal (zakat harta) belum terinternalisasi dalam kehidupan umat Islam secara menyeluruh. Kedangkalan pengetahuan ini menjadi penyebab pertama lemahnya kesadaran berzakat di kalangan umat Islam sehingga perolehan zakat selama ini sangat minim. 

Selain itu, komitmen untuk mengeluarkan zakat yang masih rendah juga menjadi penyebab. Bisa jadi umat Islam sebenarnya sudah paham untuk mengeluarkan zakat dari harta yang mereka miliki, namun belum memiliki komitmen kuat untuk menunaikannya. Sebuah komitmen untuk menjalankan ajaran Islam dengan sempurna. Padahal, perintah zakat dalam Al-Qur’an selalu didahului dengan perintah shalat. 

Ini menunjukkan bahwa posisi zakat dalam Islam sangat diutamakan. Penyebab lainnya adalah kurang profesionalnya pengelolaan zakat di Indonesia. Tidak jarang kita temui para amil zakat hanya dibentuk ketika menjelang Idul Fitri. Itupun sering kali hanya untuk menangani zakat fitrah. Sementara pengelolaan zakat maal masih sangat kurang dipahami masyarakat pada umumnya. 


Bukan sekadar Pemberian 

Zakat berarti bersih, suci, tumbuh, berkembang dan berkah. Dari definisi tumbuh dan berkembang inilah fungsi zakat sebagai media pemberdayaan umat mutlak diperlukan. Selama ini, umumnya zakat disalurkan dalam bentuk materi yang bisa langsung dinikmati oleh mustahik (orang yang berhak menerima zakat). Mereka mendapatkan uang atau bahan makanan yang bisa dikonsumsi untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. 

Faktor inilah yang apabila tidak mendapat perhatian serius justru akan menjadi bumerang. Dari yang awalnya tujuan zakat adalah untuk mengentaskan kemiskinan dengan pemberian santunan, malah menjadi perangkap bagi rakyat miskin untuk selalu mengharap datangnya bantuan. Maka, dalam tataran ini, kita berbicara sikap mental yang dibangun, baik oleh muzakki maupun mustahik. 

Penyaluran zakat bukan dengan cara memberikan ikan yang bisa langsung dimasak namun bagaimana mendayagunakan kail sehingga bisa mendapatkan ikan yang lebih banyak. Peran inilah yang seharusnya menjadi ‘ruh’ dalam menyalurkan zakat, yakni memberdayakan masyarakat. 

Peran pemberdayaan masyarakat ini bisa berbentuk program pendampingan kelompok kerja, pemberian modal usaha dengan adanya pemantauan, penyuluhan dan pelatihan, serta kegiatan lain yang intinya adalah ‘memberi modal’ untuk dilanjutkan secara berkesinambungan. 

Dengan demikian, zakat benar-benar sesuai esensinya yang berarti tumbuh dan berkembang dengan memutar harta tersebut sehingga menghasilkan dan berkembang menjadi lebih produktif. Inilah esensi pemberdayaan masyarakat melalui zakat, mengelola harta umat untuk umat. 


Profesionalitas Amil Zakat 

Pertanyaan selanjutnya, siapa yang akan mengambil peran penyaluran zakat sehingga esensi dari zakat bisa terlaksana? Maka dalam tahap selanjutnya, amil zakat menjadi hal yang harus juga diprioritaskan. Dengan rendahnya kapasitas amil zakat menyalurkan zakatnya, terutama di pedesaan, ada beberapa kemungkinan kurang efektifnya penyaluran zakat. 

Pertama, penyebaran yang tidak merata. Sering kali amil zakat ketika menerima zakat dari para muzakki akan menyebarkan ke daerah di sekitar mereka tinggal saja. Sementara daerah lain yang agak jauh dari jangkauan sering tidak mendapat perhatian. Padahal potensi zakat antara satu daerah dengan daerah lain jelas berbeda. Hal ini mengakibatkan penumpukan atau kekurangan penyaluran zakat di daerah-daerah tertentu. 

Kedua, dari ketidakmerataan penyaluran ini bisa menyebabkan kurangnya kepercayaan masyarakat untuk menyalurkan zakatnya lewat lembaga penyalur zakat. Mereka menyalurkan langsung zakat yang mereka keluarkan kepada orang yang ‘dianggap’ membutuhkan. 

Ini justru menimbulkan masalah yang lebih fatal, yakni zakat hanya menjadi ikan bukan kail. Penyaluran yang dilakukan secara pribadi cenderung tidak memiliki akses yang kuat untuk memantau penggunaan zakat yang mereka berikan, apakah akan digunakan langsung atau untuk modal usaha. Akan lain halnya bila disalurkan melalu lembaga penyalur zakat yang memang fokus menangani penyaluran zakat. 

Ketiga, dari ketidakprofesionalan amil zakat justru bisa menghambat fungsi zakat untuk mengentaskan kemiskinan. Ini tentu saja malah menjadi kontradiksi dari fungsi zakat itu sendiri. Akibat yang paling fatal adalah bila akhirnya umat Islam menjadi tidak percaya pada sistem Islam (dalam hal ini pengelolaan harta) sebagai sistem hidup mereka. 


Tantangan Masa Depan 

Umat Islam percaya bahwa agama Islam adalah agama yang sempurna. Maka pastilah mampu menata seluruh sistem kehidupan dari masa kenabian hingga akhir zaman kelak. Maka, kepercayaan itu pastilah bukan sekadar keyakinan tanpa pembuktian. Allah SWT telah menyediakan sistem tersebut. Manusialah yang dituntut menerapkannya sehingga terlihat hasilnya dan terbukti bahwa sistem itu benar-benar menjadi rahmatan lil alamin

Maka tantangan zakat ke depan adalah, pertama, sudahkah sistem pengelolaan harta ini menjadi ruh umat Islam untuk kemudian diterapkan bukan sekadar menjalankan kewajiban namun karena kesadaran untuk menjadi rahmat seluruh alam? 

Kedua, penyaluran zakat dituntut membangun mental mandiri sehinggamustahik bisa menjadi muzakki, bukan sekadar memberi ikan tanpa memahami bagaimana menggunakan kail. Ini menuntut kerja-kerja pemberdayaan umat agar mampu membawa mereka pada kemandirian ekonomi (qodirun ‘alal kasbi). 

Ketiga, amil zakat yang profesional tentu menjadi kebutuhan yang penting untuk menjamin dua poin di atas terlaksana, yakni penyadaran dan pemberdayaan. Amil zakat tidak hanya memungut zakat, namun mampu menyadarkan dan memberdayakan masyarakat. 

Bila zakat sebagai salah satu sistem kehidupan Islam mampu menjawab tantangan ini, pengentasan kemiskinan di Indonesia tidak akan membutuhkan waktu yang lama. Jauh dari itu semua, konsep Islam akan semakin terbuka untuk diterima sebagai sistem hidup seluruh manusia. Wallahu a‘lam