“Bualan” Ajo Sidi buat Kakek Garin

Oleh Wildan Nugraha

MUNGKIN, untuk situasi kita sekarang ini cerpen “Robohnya Surau Kami” AA Navis adalah contoh karya yang makin menemukan aktualisasinya. Dalam cerpen ini, melalui “bualan” tokoh Ajo Sidi, disebutkan bahwa bumi Indonesia adalah mahakaya-raya, namun manusianya malas-malas, saling berkelahi, saling menipu, saling memeras antara mereka sendiri sehingga hasil tanahnya orang lainlah yang mengambil.

“Robohnya Surau Kami”, karya salah seorang pengarang terbaik kita, Ali Akbar Navis (17 November 1924–22 Maret 2003), menceritakan Kakek Garin, seorang penjaga sekaligus imam surau yang taat beribadah. Hingga usia tua dia hidup membujang. Ia mendapatkan uang dari sedekah yang dipungutnya sekali se-Jumat, dari bagi hasil pemunggahan kolam ikan yang terletak di depan surau, dan dari fitrah Id warga kepadanya sekali setahun. Ia juga kadang mendapat upah dari kepandaiannya mengasah pisau dan gunting, namun kepandaian ini tidak dijadikannya profesi, tapi hobi semata.

Semua “baik-baik saja” sebelum suatu kali Ajo Sidi, seorang pembual, mengunjunginya minta diasahkan pisau. Dan tragis, beberapa hari kemudian, Kakek Garin didapati bunuh diri, menggorok leher sendiri. Tokoh “Aku”—sebagai pencerita—merasa pasti bahwa penyebab kemuram-durjaan Kakek adalah tersindir oleh dongengan Ajo Sidi. Dalam bualannya, Ajo Sidi menceritakan orang-orang yang sudah berpulang. Ia bercerita tentang Haji Saleh yang bersama sekian banyak orang “saleh” lainnya (bahkan ada yang sudah sampai empat belas kali ke Mekkah dan bergelar syekh pula) kena murka Tuhan di Padang Mahsyar, dan akhirnya harus masuk ke neraka, padahal mereka merasa sebagai umat yang paling taat beribadah, menyembah, menyebut, memuji-muji kebesaran Tuhan, mempropagandakan keadilan-Nya, bahkan “kitab-Mu pun kami hafal di luar kepala kami”. Kritik Tuhan tajam ke kepada Haji Saleh dan teman-temannya: “Aku beri kau negeri kaya-raya, tapi kau malas. Kau lebih suka beribadat saja, karena peribadatan tidak mengeluarkan peluh, tidak membanting tulang. Sedang aku menyuruh engkau semuanya beramal di samping beribadat.”

“Robohnya Surau Kami” mendapat tanggapan luas sejak pemuatannya di majalah Kisah tahun 1955. Cerpen ini memang bisa disebut kontroversial, ada yang setuju ada yang tidak. Bahkan di Malang Himpunan Mahasiswa Indonesia (HMI) dan organisasi Islam lainnya menggelar seminar khusus untuk menilai cerpen ini. Di Yogyakarta, HMI Universitas Gajah Mada mengadaptasi cerpen ini dalam sebuah lakon ke atas pentas. Lakon ini dimainkan secara monolog oleh seorang pemain dan suara Tuhan keluar dari loudspeaker.

Yang hendak disampaikan AA Navis memang bukan sesuatu yang “nyaman”. Melalui cerpen ini, menurut Adilla (2003), Navis secara kritis melihat situasi kehidupan beragama masyarakat kita yang memandang ibadah itu terbatas pada mengaji, puasa, naik haji, dan shalat. Navis menawarkan bahwa kerja itu juga ibadah. Bekerja dengan tekun pada jalan yang baik, mengolah hasil bumi, kekayaan alam, atau memahami gejala alam untuk ilmu pengetahuan juga ibadah. Lebih jauh, tambah Adilla, kehidupan akhirat merupakan hasil usaha umat manusia di dunia. Usaha di dunia berarti menghidupi diri dan saudara-saudara yang lain dalam rangka mencari kehidupan yang sejahtera dan bahagia. Usaha untuk kehidupan dunia dan akhirat haruslah seimbang. Atau seperti pernah dikatakan kritikus Sapardi Djoko Damono, melalui cerpen ini, “Navis mengingatkan kita akan pentingnya mencari nafkah, bekerja keras, mengucurkan peluh di dunia ini—di samping menyebut-nyebut dan memuji nama Allah. Kerja keras adalah bagian penting dari ibadah kita.”

Kiranya jelas, Navis melalui “Robohnya Surau Kami” telah dengan tajam melukiskan betapa agama kehilangan spiritnya manakala ia dihayati semata-mata sebagai seremoni, sebagai ritual rutin. Pandangan Navis ini dipengaruhi oleh gerakan pembaruan Islam yang berkembang di kalangan ulama muda di Padangpanjang, kota kelahiran dan tempat ia menghabiskan masa remajanya. Navis seolah hendak menyindir mereka yang cenderung mengambil jalan fatalis dalam hidupnya, “takut” serta “pasrah” terhadap apa pun ketentuan-Nya, namun tanpa disadari mengarah juga terhadap sikap egois dan individualistik yang justru tidak searah dengan semangat Islam. Dalam biografinya yang dikerjakan Abrar Yusra (1994), Navis berkata di antaranya: “Sikap agama dan budaya Islam di Indonesia mulanya amat dipengaruhi oleh tarikat. Orang-orang tarikat berusaha mendekatkan diri kepada Tuhan, bahkan menyatukan diri. Di situ amalannya, hanya itu. Maka tak ada pilihan lain. Karena itu orang Islam di Indonesia tak berkembang pemikirannya. Orang hanya menghabiskan waktu untuk zikir, takbir, dan lain-lain. Kepedulian sosial jadi tumpul. Dinamika hilang. Tak mengherankan jika kondisi mereka miskin. Kalau ada orang yang berbeda, yang berbuat lain, maka dipandang bersifat duniawi.”

Di sisi lain, seperti pernah ditulis oleh Umar Junus (1994), sebenarnya “Robohnya Surau Kami” adalah cerpen yang silepsis (ambigu). Tokoh “Aku” memang menolak pandangan kolot Kakek, malah membencinya, namun sekaligus ia menyayangkan kematiannya, kematian yang menyebabkan “surau kami” roboh dan hilangnya syiar agama. Pun terhadap Ajo Sidi: ia tidak menyangkal “kebenaran” dongeng Ajo Sidi; tapi sekaligus menganggap Ajo Sidi sama sekali tidak bertanggung jawab. Saat tahu Kakek Garin meninggal, Ajo Sidi tetap pergi kerja dan hanya meninggalkan pesan kepada istrinya agar dibelikan kain kafan buat Kakek tujuh lapis.

Haidar Bagir, dalam wawancara sebuah harian Ibu Kota beberapa waktu yang lalu, berkata bahwa dia pernah menulis artikel tentang pendidikan agama kita yang gagal. Kata pemimpin Mizan itu, meski banyak orang pergi haji, umrah, zikir akbar, ternyata sebagai bangsa kita belum juga beranjak lebih baik. Sebabnya karena kita diajar agama hanya dari sisi legal formalistik—shalat lima waktu sudah jadi muslim yang baik. Pernyataan-pernyataan seperti itu, yang “nakal” seperti juga dari Navis, tentu tidak harus dipusingkan karena justru berharga. Barangkali di antaranya yang tersirat dan penting terus dikejar: apakah ritual-ritual itu termanifestasikan dalam akhlak? Karena toh banyak koruptor shalat. Bila shalat mencegah perbuatan keji dan mungkar, tentu bukannya berarti kegemaran korupsi tidak keji dan mungkar—hanya karena rasanya kita belum pernah mendengar ada koruptor dipukuli lalu dibakar massa seperti maling sepatu bekas?

“Robohnya Surau Kami” disebut-sebut pengamat sastra sebagai salah satu cerpen bernuansa Islam terbaik dengan warna Indonesia. Ia dipublikasikan pertama kali lebih dari limapuluh tahun silam; telah berusia tua, tapi tetap aktual—bila bukan semakin aktual saja karena “Haji Saleh dan kawan-kawannya” ternyata banyak saja di Tanah Air?

Buku Bacaan:

Adilla, Ivan. 2003. A.A. Navis: Karya dan Dunianya. Jakarta: Grasindo.

Junus, Umar. 1994. “Navis dan/sebagai Teks/Wacana: Kemarau yang Mengg/Halang Robohnya Surau Kami” Otobiografi A.A. Navis Satiris dan Suara Kritis dari Daerah. Ed. Abrar Yusra dan Priyo Utomo. Jakarta: Gramedia.

Navis, A.A. 2002. Robohnya Surau Kami. Jakarta: Gramedia.

Yusra, Abrar. 1994. Otobiografi A.A. Navis Satiris dan Suara Kritis dari Daerah. Jakarta: Gramedia.


(Esai ini dimuat di Sabili No 3 Th XV 23 Agustus 2007/10 Sya’ban 1428)


Wildan Nugraha, kelahiran Bandung, 12 September 1982. Kuliah di Faperta, Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian, Universitas Padjadjaran. Bergiat di Forum Lingkar Pena Bandung. Tulisan-tulisannya berupa cerpen, esai dan tinjauan buku dimuat di Koran Tempo, Pikiran Rakyat, Galamedia, Radar Bandung, Sabili, Annida, Buletin Wanadri. Tinggal di Jl Leuwi Anyar VII No 37, Bandung 40234. Telepon: 022-5226967. HP: 0817613420. Juga dapat dikontak melalui email: wildanugraha@yahoo.com, dan wildan.nugraha@gmail.com.