Analisis Dunia Remaja di Klaten

Kenakalan-remaja.Meskipun bukan berita baru, maraknya kasus seks bebas yang melanda generasi muda makin menguatkan bukti bahwa nilai-nilai kesalehan hidup, baik pribadi maupun sosial, sudah gagal terapresiasi dan terinternalisasi oleh kaum muda kita. Bahkan, perilaku generasi muda kita sudah mengarah pada proses pembusukan sosial. Kaum muda kita sudah terjangkiti “virus” anomali sosial yang ditandai dengan merajalelanya perilaku-perilaku sosial yang menyimpang, seperti tawuran, tingkah vandalistis, dan berbagai ulah kekerasan lainnya.

Adakah yang salah dalam proses pendewasaan generasi muda kita sehingga mereka begitu rentan terhadap berbagai perilaku anomali sosial dan mengalami proses involusi budaya? Siapakah yang mesti bertanggung jawab?

Pertanyaan semacam itu bukanlah persoalan yang mudah untuk dijawab. Rumit dan kompleks. Ada banyak faktor yang saling berkelindan sehingga kaum muda kita menjadi demikian jauh terseret dalam kubangan proses pembusukan dan anomali sosial.

Pertama, seiring dengan berkibarnya bendera materialisme, konsumtivisme, dan hedonisme, orang tua seringkali disibukkan oleh berbagai persoalan memburu gebyar duniawi sehingga abai terhadap pendidikan sang anak. Orang tua seringkali hanya memosisikan diri secara biologis semata, sedangkan upaya penanaman nilai-nilai luhur baku diserahkan sepenuhnya kepada insitusi pendidikan.

Kedua, seiring dengan makin terbukanya masyarakat kita terhadap berbagai perubahan pola dan gaya hidup, masyarakat makin permisif dan membiarkan berbagai perilaku menyimpang berlangsung telanjang di depan mata. Masyarakat yang diharapkan mampu menjadi kekuatan kontrol terhadap berbagai perilaku kriminal dan premanisme menjadi abai, apatis, dan masa bodoh. Tak heran jika perilaku seks bebas, kriminal, premanisme, pemalakan, dan semacamnya sudah dianggap sebagai hal yang lumrah terjadi di tengah-tengah masyarakat kita.

Ketiga, mandulnya dunia pendidikan kita dalam melahirkan keluaran pendidikan yang bermoral, beradab, dan berbudaya. Secara jujur mesti diakui, bertahun-tahun lamanya dunia pendidikan kita terpasung di atas tungku kekuasaan rezim penguasa yang korup. Semua keluaran pendidikan didesain untuk mengabdi dan tunduk pada kepentingan penguasa. Mereka dididik untuk menjadi robot-robot peradaban yang mesti tunduk pada “remote control” yang dikendalikan oleh penguasa. Sementara itu, para guru ditampung dan ditempatkan di dalam “rumah kaca” yang gampang dikontrol dan dikendalikan. Mereka yang tidak taat komando langsung kena semprit dan dihambat kariernya.

Pendidikan Agama dan PPKn yang idealnya mampu “mencerahkan” jiwa dan rohani siswa didik pun dinilai telah gagal dalam menaburkan nilai-nilai luhur hakiki. Pembelajaran lebih bersifat dogmatis dan penuh indoktrinasi seperti orang berkhotbah. Siswa tidak didik untuk menjadi kritis, tetapi di-drill seperti pelatihan binatang dalam sirkus.

Yang lebih memprihatinkan, para pelajar masa kini makin jauh bersentuhan dengan buku-buku sastra. Taufiq Ismail pernah melakukan survei sederhana, yakni dengan mewawancarai tamatan SMU dari 13 negara. Apa yang dilakukan Taufiq hanya semacam snapshot, potret sesaat, untuk menangkap gejala yang muncul ke permukaan. Pertanyaan diarahkan pada persoalan seputar kewajiban membaca buku sastra, bimbingan menulis, dan pengajaran sastra di SMU tempat mereka belajar. Hasilnya? Jika siswa SMU di Amerika Serikat menghabiskan 32 judul buku selama tiga tahun, sementara di Jepang dan Swiss 15 buku, serta siswa SMU di negara tetangga seperti Singapura, Malaysia, Thailand dan Brunei Darussalam menamatkan membaca 5-7 judul buku sastra, siswa SMU di Indonesia-setelah era AMS Hindia Belanda-adalah nol buku. Padahal, pada era Algemeene Middelbare School (AMS) Hindia Belanda, selama belajar di sana siswa diwajibkan membaca 15-25 judul buku sastra.

Sedemikian parahkah minat baca kaum muda kita terhadap buku-buku sastra hingga mereka tak pernah bersentuhan dengan buku-buku sastra meski bertahun-tahun menuntut ilmu di bangku pendidikan? Apakah fenomena ini merupakan potret gagalnya pengajaran apresiasi sastra di sekolah?

Ya, setelah masyarakat gagal menjadi kekuatan kontrol terhadap meruyaknya berbagai perilaku seks bebas, permanisme, dan kriminalitas, institusi pendidikan idealnya mampu menjalankan fungsinya sebagai benteng terakhir terhadap serbuan segala macam bentuk pembusukan dan anomali sosial. Namun, tampaknya institusi pendidikan kita pun dinilai telah gagal menjalankan fungsinya dengan baik. Pengajaran sastra yang seharusnya lebih banyak mengajak siswa didik untuk mengapresiasi teks-teks sastra, ruang-ruang kelas pun telah berubah menjadi ruang untuk menghafalkan teori sastra dan nama-nama pengarang. Para siswa tidak pernah diajak untuk “menikmati” keindahan dan keagungan nilai luhur yang tersirat dalam teks sastra.

Dalam kondisi pengajaran sastra yang semacam itu, bagaimana mungkin siswa bisa terlatih memiliki kepekaan terhadap segala macam nilai luhur hakiki? Padahal, di dalam teks sastra terdapat banyak kandungan “gizi batin” yang mampu menjadi santapan rohaniah anak-anak bangsa negeri ini sehingga bisa menjadi media “katharsis” dan pencerah peradaban. Bisa jadi, kaum muda kita yang doyan mengumbar selera purba dan nafsu-nafsu primitif, seperti seks bebas, pesta pil setan, tawuran, dan ulah-ulah tak terpuji lainnya itu lantaran mereka tak pernah membaca karya sastra. Demikian yang pernah dilontarkan oleh sastrawan Danarto beberapa tahun yang silam.

Kini, sudah saatnya ada upaya serius untuk membumikan karya-karya sastra di segenap lapis dan lini kehidupan masyarakat. Perpustakaan sekolah dan umum yang menjadi “pusat peradaban” dan “jantung” ilmu pengetahuan perlu direvitalisasi dan dihidupkan dengan menyediakan buku-buku ilmu pengetahuan dan buku-buku sastra berkualitas bagus. Jangan sampai terjadi anak-anak bangsa negeri ini telanjur “rabun” sastra dan “pincang” menulis yang bisa menyebabkan mereka jadi kehilangan kepekaan terhadap berbagai macam persoalan yang dihadapi masyarakat dan bangsanya. Dengan kata lain, perilaku seks bebas dan maraknya ulah premanisme yang melanda kehidupan kaum muda kita bisa diminimalkan apabila mereka akrab bersentuhan dengan buku-buku ilmu pengetahuan dan karya sastra berkualitas bagus. Nah, bagaimana? ***