Ali Akbar Navis, H

1. Riwayat Hidup

Haji Ali Akbar Navis atau lebih dikenal A.A. Navis (Sastrawan), dilahirkan di Kampung Jawa, Padangpanjang, Sumatera Barat (Sumbar), Indonesia pada tanggal 17 November 1924. Ia adalah salah seorang kritikus yang ceplas-ceplos sehingga dijuluki “Sang Pencemooh.” Kritik-kritik sosialnya senantiasa mengalir untuk membangunkan kesadaran setiap pribadi agar hidup lebih bermakna. Sosoknya menjadi simbol energi sastrawan yang menjadikan tulisan sebagai alat dalam kehidupannya.

A.A. Navis pernah mengenyam pendidikan formal di INS Kayutanam (tahun 1932-1943). Setelah itu, ia pun aktif dalam berbagai aktivitas termasuk keterlibatannya dalam organisasi. Ia pernah mengabdi di INS Kayutanam sejak tahun 1968 sebagai Kepala Bagian Kesenian Jawatan Kebudayaan Provinsi Sumatera Barat di Bukittinggi (1952-1955), pemimpin redaksi harian Semangat di Padang (1971-1972), dosen part timer Fakultas Sastra Universitas Andalas Padang, jurusan Sosiologi Minangkabau (1983-1985), Ketua Yayasan Badan Wakaf Ruang Pendidik INS Kayutanam (tahun 1968), dan Ketua Umum Dewan Kesenian Sumatera Barat.

Kegiatan tulis-menulis mulai dijalani A.A. Navis sejak tahun 1950. Namun, hasil karyanya baru mendapat perhatian dari pimpinan media cetak sekitar lima tahun kemudian. Kumpulan cerpen berjudul “Robohnya Surau Kami” merupakan salah satu karya monumentalnya yang pertama kali dipublikasikan di sebuah media cetak tahun 1955. Dari sini, nama A.A. Navis menjulang tinggi di dunia sastra Indonesia. Karyanya ini terpilih menjadi salah satu cerpen terbaik majalah sastra Kisah tahun 1955. Sebuah kisah yang menjungkirbalikkan logika awam tentang bagaimana seorang alim justru dimasukkan ke dalam neraka, karena dengan kealimannya, orang itu melalaikan pekerjaan dunia sehingga tetap menjadi miskin. Karya ini mencerminkan perspektif pemikiran yang jauh ke depan, roboh yang dimaksud bukan pengertian fisik, tapi hilangnya tata nilai.

Di kalangan budayawan, A.A.Navis dikenal sebagai sosok budayawan besar, kreatif, produktif, konsisten dan jujur pada dirinya sendiri, serta menguasai berbagai kesenian, seperti seni rupa dan musik. Selain itu, ia juga dikenal sebagai sastrawan intelektual yang telah banyak menyampaikan pemikiran-pemikiran di pentas nasional dan internasional. Telah banyak karya yang dihasilkan dalam berbagai bidang, meskipun sebagian besar adalah karya sastra. Karyanya mencapai ratusan, mulai dari cerpen, novel, puisi, cerita anak-anak, sandiwara radio, esai mengenai masalah sosial budaya, hingga penulisan otobiografi dan biografi.

Sampai usia senja, A.A. Navis terus menulis dan berkarya, karena baginya menulis harus dijadikan kebiasaan dan kebutuhan dalam kehidupan. Baginya, tak pernah merasa tua untuk menulis. Buku terakhirnya, berjudul Jodoh, diterbitkan oleh Grasindo, Jakarta atas kerjasama Yayasan Adikarya Ikapi dan The Ford Foundation, sebagai kado ulang tahun pada saat usianya genap 75 tahun.

A.A.Navis wafat dalam usia hampir 79 tahun, pada hari Sabtu 22 Maret 2003, di Rumah Sakit Yos Sudarso. Jenazahnya dimakamkan di Taman Pemakaman Umum (TPU) Tunggul Hitam, Padang. Ia meninggalkan seorang isteri bernama Aksari Yasin yang dinikahi tahun 1957 dan tujuh orang anak yakni Dini Akbari, Lusi Bebasari, Dedi Andika, Lenggogini, Gemala Ranti, Rinto Amanda, dan Rika Anggraini.

2. Pemikiran

Dalam konteks kesusastraan, A.A.Navis mengemukakan sebuah pandangan bahwa kurikulum pendidikan nasional saat ini, mulai dari tingkat SD sampai perguruan tinggi siswa ataupun mahasiswa hanya diajarkan untuk menerima, tidak diajarkan untuk mengemukakan pemikiran. Dalam hal ini, siswa tidak diajarkan agar pandai menulis, karena menulis itu membuka pikiran. Siswa tidak diajarkan membaca, karena membaca itu memberikan perbandingan-perbandingan. Di perguruan tinggi, mahasiswa tidak pandai membaca dan menulis. Oleh karena itu terjadi pembodohan terhadap generasi akibat tingkah-polah kekuasaan. Oleh karena itu, strategi pembodohan ini harus dilawan dan dibenahi. Menurut A.A. Navis, salah satu caranya yaitu dengan memfungsikan pelajaran sastra dalam kurikulum pendidikan nasional. Pelajaran sastra adalah pelajaran orang-orang yang mau berpikir kritis dan memahami konsep-konsep tentang kehidupan. Membaca sebuah karya mana pun yang baik, itu berarti menyuruh orang berpikir berbuat betul.

3. Karya-karya

Sebagai sosok seniman dan sastrawan, A.A. Navis telah melahirkan sejumlah karya monumental dalam bidang kebudayaan dan kesenian, yaitu:

1. Robohnya Surau Kami (1955)
2. Hudjan Panas (1963)
3. Bianglala: Kumpulan Cerita Pendek (1963)
4. Kemarau (1967)
5. Saraswati: Si Gadis dalam Sunyi: sebuah novel (1970)
6. Dermaga dengan Empat Sekoci: Kumpulan Puisi (1975)
7. Dialektika Minangkabau - editor (1983)
8. Di Lintasan Mendung (1983)
9. Alam Terkembang Jadi Guru: Adat dan Kebudayaan Minangkabau (1984)
10. Pasang Surut Pengusaha Pejuang: Otobiografi Hasjim Ning (1986)
11. Hujan Panas dan Kabut Musim: Kumpulan Cerita Pendek (1990)
12. Cerita Rakyat dari Sumatra Barat (1994)
13. Surat dan Kenangan Haji (1994)
14. Otobiografi A.A. Navis: Satiris dan Suara Kritis dari Daerah (1994)
15. Filsafat dan Strategi Pendidikan M. Sjafei: Ruang Pendidik INS Kayutanam (1996)
16. Cerita Rakyat dari Sumatra Barat 2 (1998)
17. Yang Berjalan Sepanjang Jalan (1999)
18. Jodoh: Kumpulan Cerpen (1999)
19. Dermaga Lima Sekoci (2000)
20. Kabut Negeri Si Dali: Kumpulan Cerpen (2001)
21. Cerita Rakyat dari Sumatra Barat 3 (2001)
22. Bertanya Kerbau Pada Pedati: Kumpulan Cerpen (2002)
23. Gerhana (2004)
24. Antologi Lengkap Cerpen A.A. Navis (2005)

4. Penghargaan

Atas karya dan jasa-jasanya bagi dunia sastra, seni dan budaya, A.A.Navis telah dianugerahi beberapa penghargaan, yaitu:

1. Pemenang I Sayembara Kincir Emas, Radio Nederland Wereldemroep (tahun 1975).
2. Pemenang Penulis Cerpen, dari Majalah Femina (tahun 1979).
3. Hadiah Seni, dari Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI (tahun 1988).
4. Lencana Kebudayaan, dari Universitas Andalas Padang (tahun 1989).
5. Lencana Jasawan di bidang seni dan budaya dari Gubernur Sumbar (tahun 1990).
6. Hadiah Sastra, dari Mendikbud (tahun 1992).
7. Hadiah Sastra Asean/Sea Write Award (1994).
8. Anugerah Buku Utama, dari Unesco/IKAPI (tahun 1999).
9. Satya Lencana Kebudayaan, dari Pemerintah RI.