Tadabbur surah al-‘Ashr

Demi waktu. Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yangberiman, beramal shaleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan menetapi kebenaran.
(QS al-‘Ahsr [103]:1-3)


Adalah kewajiban bagi kita untuk mengingat dan merenungkan nikmat yang diberikan Allâh SWT. Diantara nikmat tersebut adalah waktu. Tanpanya kita tidak akan mampu menata dan melaksanakan apa yang diperintahkan (taklif) Allah Swt, karena ibadah yang diperintahkan kepada kita selalu berkaitan dengan waktu. Contohnya shalat fardhu, dengan mengetauhi waktu kita tahu kapan wajibnya shalat itu dikerjakan dan kapan berakhirnya. Begitu juga dengan pondasi (rukun) Islam yang lainnya, puasa, zakat dan haji, semuanya menggunakan waktu dalam melaksanakannya. Jadi, waktu merupakan hal yang paling berharga bagi kita setelah iman. Namun, jarang sekali kita merasakan bahwa waktu sesungguhnya sesuatu yang sangat berharga sehingga kita kadang-kadang membiarkannya berhamburan sia-sia, tanpa merasa berdosa ketika mengisinya dengan hal-hal yang tidak bermanfaat.

Surat al-‘Ashr merupakan kalam Allah yang berisi pelajaran yang sangat penting untuk manusia, pelajaran bagaimana menjadi manusia produktif atau kebalikannya menjadi manusia yang gagal. Wal ‘ashr, ‘ demi waktu’, Innal Insana lafi khusrin, ‘ sesungguhnya setiap manusia itu tambah hari tambah merugi, tambah tua tambah merugi, Illadzina amanu wa’amilushalihati, ‘kecuali orang-orang yang produktif, yang menjadikan bertambahnya umur maka bertambah meningkat mutu keimanannya, semakin meningkat kualitas ibadahnya, Wa Tawa Shawbil haqqi Wa Tawa Shawbish shabri, ‘ setiap waktu semakin meningkat kemampuan dirinya, sehingga kehadirannya di dunia ini menjadi jalan nasehat bagi orang lain, tutur kata dan perilakunya selalu mencerminkan pribadi seorang muslim yang selalu dihiasai dengan kebenaran dan kesabaran. Setiap malam dia tanya dirinya, apakah hari ini aku ada menyakiti orang lain?, adakah hari ini aku membuat saudaraku kecewa?, sehingga setiap hari dia olah dirinya untuk menjadi manusia yang berakhlak mulia. Bahkan, dia sangat merindukan nasehat-nasehat temannya jika dalam dirinya terdapat kesalahan atau perilaku yang tidak baik. Hal ini membuat dirinya semakin rindu akan nasehat sehingga mudah buatnya untuk menasehati orang lain. Sebaliknya, orang-orang tidak memanfaatkan waktunya menurut Allâh Swt. tergolong orang yang merugi sekalipun berumur panjang.

Sejatinya, menurut keterangan al-Qur ‘an, untuk menjadi manusia yang produktif kita harus mengisi waktu itu hanya dengan empat perkara:

pertama, meningkatkan mutu keyakinan kita kepada Allâh Swt. Iman merupakan rujukan dasar kita dalam melakukan aktivitas, sehingga semakin tinggi tingkat keyakinan kita kepada Allah Swt. maka kita akan semakin teliti terhadap aktivitas yang akan kitya lakukan, adakah aktivitas ini dibenarkan Allah Swt.?, apakah aktivitas ini menzolimi orang lain?. Pertanyaan ini akan muncul bagi orang yang memiliki keyakinan yang mantap terhadap Allah Swt. Dan orang yang memiliki sifat seperti ini akan tahu dan paham betapa pentingnya menggunakan waktu dengan baik, yang didalamnya tidak ada hal yang menzolimi orang lain. sebaliknya, jika tingkat keyakinan kita merosot maka yang akan timbul perbuatan (aktivitas) yang tidak lagi memiliki tolak ukur dalam melakukannya, tidak pernah memikirkan akankah perbuatannya tersebut menzolimi orang lain atau tidak?, sehingga dirinya akan dihantui kecemasan, dan kewas-wasan jika telah selesai melakukan aktivitas tersebut. Akhirnya, dia akan terus-menerus dikejar dosa. Alangkah beruntungnya jika kita memiliki mutu keyakinan yang tinggi terhadap mengenal Allah Swt. yang memiliki langit dan bumi, yang memiliki kekuasan yang tidak dapat menghalanginya ketika ingin mencipatakan sesuatu. Yang mampu memlihara kita dari hal-hal yang dapat mencelakakan.

Seorang muslim jika telah memiliki tingkat keyakinan yang tinggi terhadap Allah Swt. maka ia akan selalu menjaga dan menata waktu-waktu yang akan dilaluinya. Karena waktu merupakan amanah yang diberikan Allah Swt. kepada manusia untuk di isi dengan aktivitas-aktivitas yang dapat mengandung manfaat buat manusia itu sendiri.

Kedua, jangan menunda amal. Sebagai seorang muslim, kita seharusnya selalu merenung kenapa Allâh Swt. menciptakan kehidupan dan kematian? Jawabannya tidak lain agar kita dapat mengisi kehidupan ini dengan amaliah yang terbaik (QS.al-Mulk [67]:2) , sehingga ketika kita menghadap Allah Swt. memiliki bekal. Nah, bekal yang akan kita bawa itu tentu berkaitan dengan waktu. Ketika mampu menata dan menggunakan waktunya dengan baik, maka semakin banyak amal yang akan kita bawa menghadap Allâh Swt. Begitu banyak amal yang bisa kita jadikan bekal, contohnya belajar, makan, mandi dan sebagainya selama aktivitas ini kita niatkan untuk Allâh Swt.

Penyebab seorang menunda-nunda amal biasanya adalah ia terlalu mencintai dunia sehingga urusan akhirat disepelekan, dan ini merupakan kerugian besar baginya. Hilangknlah kata-kata “sebentar lagi” atau “nanti saja” ketika kita mendengar suara azan, cepat-cepatlah bersiap-siap untuk shalat berjamaah. jangan pernah meninggalkannya. Karena, jika amal semudah ini saja kita terlambat atau jarang melakukannya, bagaimana kita bisa melakukan amal-amal yang berbentuk sunnah (nawafil) lainnya tepat pada waktunya? Mari kita hilangkan sifat bersantai-santai dahulu, tidak ada yang tahu kapan umurnya berakhir. Bisa saja Allah Swt mencabut nyawanya ketika terbesit dihatinya kata-kata “sebentar lagi”, sehingga ketika dicabut nyawanya belum melaksanakan shalat. Na’uzubillah min dzalik.

Ketiga, gemar menasehati dan siap untuk dinasehati. Seorang muslim yang baik adalah yang selalu memperhatikan dirinya dari segala yang dapat merusak amal ibadahnya. Untuk mencapai target ini, muslim tersebut harus selalu bertanya kepada orang lain tentang dirinya dan siap menerima keburukan yang dipaparkan. Jarang sekali kita mengetauhi perilaku kita yang buruk jika tidak bertanya kepada adik, orang tua dan sahabat kita. Makanya,manusia yang terbaik adalah manusia yang siap dinasehati dan siap untuk merubah perilakunya kearah yang lebih baik. Nah, bisakah kita menasehati orang lain jika perilaku kita sendiri masih buruk? Sekalipun bisa, hal ini sangat jarang sekali terjadi. Karena orang yang dinasehati akan selalu memperhatikan diri orang yang menasehati. Tidak akan mungkin seorang itu kelihatan indah ketika bercermin kalau cermin yang digunakan tidak bersih. Bagaimana kita bisa menasehati orang lain kalau perilaku kita sendiri masih buruk? Dengan selalu merubah sifat dan perilaku kita kearah yang baik maka hal ini juga akan menimbulkan cerminan bagi orang yang ada disekitar kita, yang otomatis menjadi langkah untuk bisa menasehati orang lain. Jika kita tidak bisa menasehati dengan lisan paling tidak kita bisa menasehati dengan perbuatan. Cobalah menasehati dengan perbuatan yang kecil-kecil. Ketika kita melihat rumah kotor segara untuk dibersihkan dengan tanpa harus marah-marah. Kita ingin menasehati sahabat kita untuk tidak merokok, jika kita tidak dapat menasehatinya dengan lisan minimal kita sendiri tidak merokok. Manusia yang produktif akan selalu melakukan perbuatan yang dapat memberi manfaat bagi orang yang ada disekitarnya.

Keempat, gemar melakukan kebenaran dan siap menerima kebenaran. Manusia yang produktif tidak akan melakukan hal-hal yang mengandung dosa, menzolimi orang lain, dan akhirnya membawa kepada amaliyah yang tidak memiliki kebenaran (legalitas) dari syara’. Bahkan lebih dari itu, dia siap menerima kebenaran jika perilaku atau ibadah yang dilakukannya tergolong hal yang salah dalam pandangan agama. Kritikan perilaku dan amaliyah merupakan suatu hal yang sangat ditunggu-tunggu oleh manusia yang produktif, selama kritikan tersebut mempunyai dasar (bukti) yang jelas. Dengan gemar menerima kebenaran otomatis akan menimbulkan sifat selalu melakukan kebenaran.

Walhasil, manusia produktif adalah manusia yang selalu melaksanakan pesan saidina Ali ra, “seseungguhnya umurmu adalah waktu dimana engkau menggunakannya”. Ia tidak akan pernah menyia-nyiakan waktunya untuk hal yang tidak ada manfaat ataupun yang tidak dapat membawa dirinya kearah yang lebih baik. Marilah kita menjadi manusia yang produktif dengan selalu merenungi surat al-‘Ashr. Shadaqallahul’azdim

Tulisan ini diintisarikan dari kitab “al-Lu’lu’ al-Maknun FîTafsir juz “’amma yatasaalun”, karangan Dr. ‘Aid bin Abdullah al-Qurni.
Rahmat Hidayat Nasution*