Makna Puasa

Bila diperhatikan, ketika Ramadhan datang, tiba-tiba semua orang disekeliling kita berubah jadi alim. Orang-orang yang biasanya tidak pernah datang ke masjid untuk shalat jama’ah, bergegas ke masjid. Bahkan bukan pemandangan asing kalau di awal-awal puasa, apakah itu shalat tarawih atau shalat shubuh setelah sahur pertama, masjid penuh sesak, bahkan sering tak bisa menampung jama'ah.


Mengapa itu bisa terjadi di bulan Puasa? Bisa jadi karena puasa Ramadhan adalah ibadah wajib yang paling mendalam bekasnya pada jiwa seorang Muslim. Pengalaman selama sebulan dengan berbagai kegiatan yang menyertainya seperti berbuka, tarawih, dan makan sahur selalu membentuk kenangan yang mendalam akan masa kanak-kanak di hati seorang Muslim. Dalam pandangan saya ibadah puasa merupakan bagian dari pembentuk jiwa keagamaan seorang Muslim, dan menjadi sarana pendidikannya di waktu kecil dan seumur hidup. Sebagai contoh, di Jonggrangan Klaten, tepatnya belakang terminal, magnet puasa demikian kuat, sehingga orang-orang yang telah ‘keluar’ dari Jonggrangan, sadar atau tidak, sangat bisa merasakan bahwa berpuasa ketika bulan Ramadhan di Jonggrangan akan berbeda dengan tempat tinggal saya sekarang.

Pokok amalan puasa (lahiriah) puasa adalah pengingkaran jasmani dan ruhani secara sukarela dari sebagian kebutuhannya, khususnya kebutuhan yang menyenangkan. Pengingkaran yang dilakukan itu semata-mata adalah bentuk kepasrahan diri manusia kepada Khaliq-Nya seperti dalam hadits Qudsi berikut “Semua amal seorang anak Adam (manusia) adalah untuk dirinya kecuali puasa, sebab puasa adalah untuk Ku dan Aku-lah yang akan memberinya pahala”. Jadi hakikat puasa ialah sifatnya yang pribadi dan personal, bahkan merupakan rahasia antara seorang manusia dan Tuhannya. Kerahasiaan ini merupakan letak dan sumber hikmahnya, yakni kerahasiaan berkaitan erat dengan keikhlasan dan ketulusan. Antara puasa yang asli dan palsu hanyalah dibedakan oleh, misalnya seteguk air yang dicuri minum ketika seseorang sedang sendirian atau bahkan ketika mengambil air wudlu.

Dalam pandangan diri saya, puasa benar-benar merupakan latihan dan ujian kesadaran akan adanya Allah yang Maha Hadir dan yang mutlak tak pernah lengah sedikitpun dalam pengawasan-Nya, dalam segala tingkah laku hamba-hamba-Nya. Kesadaran ini akan melandasi ketaqwaan atau merupakan hakikat ketaqwaan itu, dan yang membimbing seseorang ke tingkah laku yang lebih baik dan terpuji. Dengan begitu diharapkan pribadi-pribadi yang tampil sebagai seseorang yang berbudi pekerti luhur dan berakhlak mulia (akhlaqul karimah). Dalam dimensi kerahasiaan itu, dapat ditarik pengertian bahwa puasa adalah sarana pendidikan tanggung jawab pribadi. Puasa bertujuan mendidik kita mendalami keinsyafan akan Allah yang selalu menyertai dan mengawal kita pada setiap saat dan setiap tempat. Dengan dasar keinsyafan itu, hendaknya kita tidak menjalani kehidupan ini dengan santai, enteng, dan remeh, melainkan dengan penuh kesungguhan dan keprihatinan. Sebab apapun yang kita perbuat akan kita pertanggungjawabkan nantinya di hadapan Allah.

Ketika hikmah puasa menguliti aspek tanggung jawab, ada dimensi sosial dalam kehidupan nyata. Tanggung jawab sosial adalah sisi lain dari uang logam yang sama, yang satu sisinya adalah tanggung jawab pribadi. Ini artinya bahwa dalam kenyataannya kedua jenis ini tidak dapat dipisahkan, sehingga tiadanya salah satu dari keduanya akan mengakibatkan peniadaan yang lain. Karena itu, di setiap puasa para ulama selalu mengingatkan penanaman solidaritas sosial. Tindakan menolong sesama yang kurang beruntung dalam bentuk sedekah, infak, dan zakat adalah contoh dari tanggung jawab sosial itu. Zakat fitrah yang dikeluarkan ketika bulan Puasa tiba semestinya juga harus fleksibel dengan pergerakan dan perubahan jaman, sehingga zakat fitrah tidak saja dimaknai sebagai aturan yang masih tertera di kitab, tetapi juga sebuah sistem yang harus selalu disempurnakan dari waktu ke waktu. Kalau dalam pemahaman ukuran zakat fitrah adalah satu sha’, yang kemudian di Tanah Air menjadi 2,5 liter beras atau setara 20 ribu-an rupiah, adalah ukuran jumlah rata-rata orang makan waktu itu, yaitu Arab pada 15 abad lalu, bukan Indonesia abad 21. Dalam pandangan saya, bila unsur dinamisnya yang dipegang, sebetulnya zakat fitrah itu harus senilai jumlah jatah kita makan sehari. Bagi orang yang tingkat hidupnya sangat makmur, yang barangkali makan seharinya bisa 100 ribu, maka wajib zakat fitrahnya adalah 100 ribu bukan 2,5 liter beras.

Nah, dalam konteks puasa sebagai ajang melatih tanggung jawab pribadi dan sosial itu, sebenarnya makna puasa yang sejati bisa dibangun. Bisakah kita –sebagai orang yang yakin adanya Allah melakukan dengan sebaik-baiknya? Mudah-mudahan.

Akhir kata, Selamat Hari Puasa 1430 H. Selamat mereguk kenikmatan di bulan penuh hikmah ini.