Refleksi Peringatan Isra Mikraj 1430 H

Isra Sosial dan Mikraj Ritual


Selain sebagai edukasi dan mediasi sederhana kepada Tuhan melalui perintah salat, peristiwa Isra Mikraj merupakan sarana efektif untuk mengajak manusia menuju universalisme dan cakrawala yang luas dalam beragama. Momentum ini mampu mengantarkan kita ke arah mentalitas spiritual yang sehat, mudah, dan mencerahkan. Disebut efektif karena praktik salat yang dilakukan lima kali dalam sehari itu jika dilakukan dengan penghayatan yang baik, magnetis, benar, dan tanpa beban, dampaknya sangat luas terhadap kesehatan fisik dan mental manusia.

***

Samudera pelajaran dan hikmah dapat kita petik dari peristiwa Isra Mikraj. Ia merupakan "iklan" bagi semesta tentang keistimewaan seorang manusia bernama Muhammad, kekasih-Nya, rasul-Nya, teladan dan idola bagi manusia dalam segala aspek kehidupan.

Perjalanan dan petualangan terhebat, terdahsyat, dan terpanjang dalam sejarah manusia ini penuh dengan replika keteladanan bagi kehidupan manusia di dunia dan akhirat. Muhammad disambut oleh Allah Swt di tempat tertinggi dekat arsy atau "singgasana" kebesaran-Nya.

Tidak sembarang makhluk bisa berada di area "sidratul muntaha" sebagai tempat (maqom) tertinggi dari segala pangkat dan martabat kemanusiaan. Jibril sendiri sebagai malaikat istimewa jika berada di tempat ini langsung berubah wujud aslinya sehingga Muhammad SAW dapat melihatnya secara transparan (QS 53:14). Tak heran, jika untuk mencapainya diperlukan kesiapan fisik dan mental.

Referensi sejarah klasik menyebutkan, Muhammad sebelum melakukan "petualangan" Isra Mikraj dibedah terlebih dahulu oleh Jibril agar dapat melintasi tempat tertinggi dan terhormat itu (Sirah Ibn Hisyam 2:143 ).

Dari sudut historis ini dapat ditarik beberapa pelajaran penting. Pertama, Islam adalah agama yang dinamis dan futuristik. Ia bukan sekadar doktrin, teori, dan hujjah, tapi juga amal saleh dan karya nyata.

Dalam ajaran Islam, iman tanpa amal hanyalah pepesan kosong Ia butuh diimplementasikan dalam bentuk karya dan perbuatan. Sebab, Tuhan hanya menerima amal-amal yang baik dan bermanfaat bagi manusia. Instrumen ritual dan seremonial yang khusyuk dan menghanyutkan perasaan sekalipun, bisa sampai kepada Tuhan hanya dengan perantaraan amal saleh (QS 35:10).

Seseorang, sejak dia resmi menjadi muslim, baik secara "kultural" maupun "struktural" secara sadar atau tidak telah mengalami learning by doing secara konstan dan dinamis melalui pilar-pilar agama berupa salat, zakat, puasa, dan haji. Karena pentingnya hal tersebut, kemudian dikenal sebagai rukun Islam yang wajib dipraktikkan. Bukan hanya sekadar keyakinan dan penghayatan.

Oleh karena itu, ritual salat sebagai pilar penyangga Islam terbesar, yang didapat dari peristiwa Isra Mikraj ini, keharusan pelaksanaannya bersifat absolut dan permanen. Artinya, ia tidak boleh ditinggalkan selama hayat masih dikandung badan (QS 15:99). Ini karena dampak salat memang untuk kemaslahatan manusia itu sendiri di dunia dan akhirat.

***

Kedua, terlepas dari peristiwa yang melatari terjadinya Isra Mikraj berupa kesedihan dan duka bertubi yang menimpa Muhammad berupa wafatnya istri dan paman beliau, kiranya dapat ditarik hikmah bahwa untuk melepaskan ketegangan, penurunan mental, dan kesedihan jiwa bisa dilakukan dengan resfreshing dan rekreasi menikmati keindahan dan keagungan alam semesta.

Dalam konteks Isra Mikraj, hal itu terealisasi dengan petualangan mahadahsyat melihat surga, neraka, menembus tujuh lapis langit, bertemu dengan arwah para nabi, naik ke puncak tertinggi sidratul muntaha, dan berkomunikasi langsung dengan Allah.

Karena ini bukan peristiwa ilusi dan metafisik, tapi kejadian nyata yang diabadikan oleh Allah dalam Alquran surah Al-Isra, kita juga dapat menirunya secara riil dengan melaksanakan Isra dan Mikraj sendiri. Dan, karena kita bukan Nabi yang punya mukjizat, cukup dengan isra sosial dan mikraj ritual. Dengan kata lain, isra semantik dan mikraj monolitik.

Isra sosial berupa perjalanan malam hari (kontemplasi) memikirkan dan mengonsep kehidupan ke depan agar bermanfaat di dunia dan akhirat. Hasil renungan personal ini kemudian diaplikasikan dalam amal saleh dengan segala bentuknya, mulai yang paling sederhana sampai kepada yang berdampak luas bagi kehidupan manusia berupa kebijakan dan kekuasaan.

Pemahaman ini berasal dari pemaknaan semantik terhadap kata isra yang berarti 'berjalan di malam hari'. Sedangkan mikraj, yang secara bahasa berarti 'tangga', lebih bertumpu pada makna ritual yang monolitik berupa upaya pencapaian taqarrub kepada Allah dengan (tangga) pujian, zikir, dan munajat. Hal ini merupakan media ampuh untuk menjadi kekasih Allah.

Sebagai ajaran yang dinamis dan futuristik, Islam memacu umatnya agar selalu menjadi yang terbaik dan mampu menjadi jembatan kebaikan antara dua kutub kiri dan kanan, barat dan timur, ekstremis dan liberalis (QS 2:143). Bertolak dari pemaknaan simbolik dan pemahaman substantif ini, diharapkan peristiwa Isra Mikraj dapat memberikan penyegaran wawasan dan pemantapan mentalitas beragama kita dari keterbelengguan taqlid dan kejumudan konflik internal dan kelompok, merasa benar sendiri, sombong dalam ibadah, tidak menghargai keragaman etnis dan budaya. Untuk kemudian menuju kedewasaan dan keleluasaan berpikir dan bersikap terbuka, ramah, maju, dan progresif sebagaimana diajarkan peristiwa Isra Mikraj melalui kesadaran historis dari amsal hikmah yang ada di dalamnya. (*)

*). Abdul Mukti Thabrani, kandidat doktor Universiti Malaya, Kuala Lumpur, pengajar di STAIN Pamekasan.