Keinginan memenangi pemilihan acap kali membuat calon, tim sukses, dan pendukungnya melakukan sesuatu yang tidak diperbolehkan, baik secara tidak disengaja maupun disengaja.

Realitas demikian ditemukan baik di dalam pemilihan kepala daerah (pilkada), pemilihan umum legislatif (pileg) maupun pemilihan presiden (pilpres).

Menurut laporan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), sampai 30 Juni terdapat 38 kasus pelanggaran dalam pilpres. Sebagian besar pelanggaran berupa kampanye di luar jadwal, penyalahgunaan fasilitas negara, dan politik uang. Secara riil, jumlah pelanggaran itu bisa jadi jauh lebih besar. Hanya saja, mengingat besarnya jangkauan wilayah, keterbatasan tenaga, dan masih belum aktifnya anggota masyarakat di dalam pengawasan, pelanggaran-pelanggaran itu acap kali tidak diketahui atau tidak dilaporkan.

Upaya mengantisipasi pelanggaran di dalam pilpres sebenarnya sudah dilakukan. Hal-hal yang tidak boleh dilakukan oleh pasangan calon presiden-calon wakil presiden (capres-cawapres) beserta tim suksesnya sudah disebut dan dijelaskan. Begitu juga kategori pelanggarannya, apakah termasuk pidana atau administrasi.

Perangkat lembaga pengawas dan prosedur penegakan hukumnya juga sudah ada. Hanya saja, semangat untuk menang sering kali telah membuat terbentuknya perilaku yang dikatagori pelanggaran. Yang menyedihkan, perilaku ini bisa jadi dilakukan secara sengaja, dengan harapan tidak diketahui atau tidak dilaporkan. Kesengajaan melakukan pelanggaran itu mungkin saja berdasarkan pertimbangan bahwa sebagian besar kasus-kasus pelanggaran dalam pemilu selama ini tidak ditindaklanjuti secara serius.

Di samping itu, semangat untuk melakukan pengawasan dalam pilpres tidak sebesar di dalam pileg. Hal ini terjadi karena pileg diikuti oleh banyak partai dan puluhan ribu calon legislator (caleg), sedangkan Pilpres 2009 ini hanya diikuti tiga pasangan calon.

Terlepas dari itu, pelanggaran tetaplah pelanggaran. Apalagi dari 38 pelanggaran yang dilaporkan itu, 33 di antaranya berkategori pidana. Artinya, pelanggaran yang dituduhkan itu cukup serius. Dengan demikian, laporan yang dikeluarkan Bawaslu juga harus ditanggapi secara serius.

Bagaimanapun, adanya pelanggaran di dalam pilpres bisa mengurangi makna pemilu jujur dan adil yang seharusnya dijunjung tinggi. Pemilu yang jujur dan adil akan melahirkan pemenang yang lebih kredibel dan legitimate. Implikasinya, pengakuan dan dukungan dari masyarakat juga akan lebih besar lagi.

Hanya saja, untuk menciptakan pemilu semacam itu memang tidak mudah. Satu argumentasi utama yang harus dijadikan rujukan adalah bahwa di dalam memperoleh dan mempertahankan kekuasaan, orang kerap kali bertindak apa saja. Mengingat argumentasinya demikian, seperangkat kelembagaan untuk mengantisipasinya harus dilakukan.

Di antaranya, uraian tentang yang tidak boleh dilakukan harus lebih mendetail dan eksplisit. Lembaga pengawasan harus diberi otoritas lebih besar untuk memproses pelanggaran-pelanggaran itu. Dimikian pula yang mengadilinya, mereka harus memahami pelanggaran pemilu sebagai bagian dari pelanggaran serius, bukan pelanggaran sumir.

Betapa pun di dalam benak calon dan pendukungnya terdapat pikiran untuk melakukan apa saja, di dalam benak mereka juga ada sisi yang lain. Mereka ingin menang di dalam pilpres secara kesatria tanpa dinodai oleh pelanggaran-pelanggaran. Semoga.***Oleh: Kacung Marijan Guru Besar FISIP Universitas Airlangga Surabaya