Dewasakan Dalam Berdemokrasi

BANYAK kasus yang muncul dari panggung politik nasional merefleksikan betapa kita belum dewasa dalam berdemokrasi. Ada sisi yang menampakkan betapa sebagian dari masih begitu kekanak-kanakan. Sisi lainnya memperlihatkan perilaku sekelompok elemen masyarakat yang setengah-setengah dalam mengimplementasikan prinsip dan asas demokrasi. Banyak juga yang tampak bodoh karena mengaktualisasi dan merefleksikan demokratisasi dengan uang. Tak sedikit juga yang kebablasan, karena beranggapan bahwa demokrasi sama dengan boleh melakukan apa saja, termasuk melanggar peraturan atau bertindak semau gue tanpa menghiraukan perlunya menjaga ketertiban umum. Di beberapa tempat, elite lokal merasa harus mengerahkan massa demi menegakkan demokrasi.

Maka, di beberapa provinsi, pelaksanaan pemilihan kepala daerah (pilkada)/pemilihan gubernur (pilgub) tak jarang justru menjadi momen yang menakutkan warga setempat. Persiapan dan pelaksanaan pilkada/pilgub yang sudah begitu dinamis kadang berakhir dengan ketidakpastian, bahkan ricuh. Kubu yang kalah mengklaim panitia pelaksana tidak becus bekerja sehingga terjadi salah penghitungan. Tak jarang mereka yang kalah juga mengaku punya bukti tentang kecurangan yang dilakukan lawan politiknya. Dalam beberapa pilkada/pilgub, kita memang menemukan adanya kubu yang hanya siap untuk menang. Dan, sebaliknya, sama sekali tidak siap untuk kalah. Maka, terjadilah kericuhan di Maluku Utara. Sedangkan di kota Bandung, Selasa (22/4) kemarin, sekelompok massa yang protes nyaris bentrok dengan polisi. Mereka kecewa karena calon mereka dinyatakan kalah pilgub setempat.

Semula, beberapa ekses dari demokratisasi yang sedang berproses sekarang ini bisa kita maklumi. Pertama, karena demokratisasi masih seumur jagung. Kedua, masih banyak dari kita yang sedang belajar berdemokrasi. Jadi, tak usah terkejut jika terjadi ekses di sana sini. Setelah demokratisasi menjejaki usia satu dasawarsa, kita seharusnya bisa memperkecil ekses karena kelemahan atau kekurangan kita berdemokrasi. Setidaknya, kita boleh semakin memahami dan dewasa tentang demokratisasi dengan segala konsekuensinya. Agar proses demokratisasi terus berkembang dan merasuki semua aspek kehidupan, harus ada toleransi atas kesalahan kecil akibat keterbatasan atau kelemahan. Toleransi itu, antara lain, adalah siap kalah.

Kita bisa belajar sendiri untuk menjadi kekuatan yang siap kalah. Dalam arti, tak perlu belajar dari mana-mana. Namun, pengalaman orang lain nun jauh di sana kadang bisa memberi kita inspirasi. Maka, adalah menarik menyimak hasil akhir pemilihan umum di Paraguay, serta bagaimana para kandidat presiden menyikapi hasil akhir pemilu presiden dan parlemen yang berjalan dengan tenang dan damai itu. Pemilu itu dimenangi Fernando Lugo (56), sekaligus mengakhiri 61 tahun kekuasaan tunggal Partai Colorado.

Segera setelah Lugo resmi dinyatakan sebagai pemenang, Presiden Nicanor Duarte menyerukan semua elemen di Paraguay membantu presiden terpilih agar transisi berlangsung lancar dan damai. Sedangkan pesaing Lugo, calon presiden Blanca Ovelar dari Partai Colorado, langsung memberi selamat kepada Lugo. "Hasil pemilu sudah tak mungkin berubah," ujarnya.

Sikap dua figur elite Paraguay yang kalah dalam pemilu itu mencerminkan betapa kepentingan negara dan rakyat harus berada dan ditempatkan di atas segala-galanya, bukan kepentingan pribadi atau kelompok. "Pertama kali dalam sejarah politik Paraguay, akan berlangsung transisi dari partai ke partai tanpa pertumpahan darah, tanpa kudeta, tanpa kekerasan," ujar Duarte. Pernyataan yang amat sederhana namun begitu strategis, refleksi cinta tulus terhadap bangsa dan rakyatnya.

Mulai sekarang, para elite kita yang akan maju ke panggung pemilihan presiden, harus mau belajar dan berusaha untuk legowo atas dasar cinta tulus kepada rakyat yang memilih maupun tidak memilihnya.***