Buku Tuhan Terpenjara


“Kami Cita Damai, tapi Lebih Cinta Kemerdekaan”

Oleh Mohammad Nurfatoni
Penulis buku “Tuhan yang Terpenjara”

Genjatan senjata sepihak telah berlangsung di Gaza. Sehari sebelum presiden ke-44 Amerika Serikat Barack Husain Obama dilantik (20/1/09), Israel menarik mundur pasukannya ke perbatasan. Setelah itu Hamas memutuskan genjatan senjata pula. Genjatan senjata sepihak ini, meskipun dinilai positip, namun berpotensi dilanggar secara sepihak pula. Terbukti, sepuluh hari setelah genjatan senjata, saling serang kembali terjadi. Gaza kembali dibombardir Israel dengan alasan sebagai balasan atas serangan roket ke Israel. Padahal, selama hampir sebulan terjadinya serangan Israel ke Gaza, telah membukukan korban yang begitu banyak di pihak Palestina: 1330 tewas, 5500 terluka. Infrastrktur Gaza pun terkoyak. Dibutuhkan sedikitnya US$ juta 1,9 untuk merekontruksi Gaza.

Akankah perang asimetris ini akan kembali terjadi? Banyak pihak menginginkan terjadi perdamaian antara Israel dengan Palestina, khususnya Hamas. Tapi bisakah tercapai perdamaian abadi? Untuk menjawab pertanyaan ini, marilah kita sekilas menengok sejarah konflik Israel Palestina ini.

Negara Cangkokan
Israel bukanlah negara asli di Timur Tengah, melainkan—secara keagamaan, ras, kebudayaan, dan di atas semuanya, secara politis—adalah unsur asing, yang dicangkokkan di Timur Tengah semata-mata sebagai kemauan politik dan militer sewenang-wenang dari pihak Barat, yakni Eropa Barat dan Amerika Serikat (Fazlur Rahman, “Sikap Islam Terhadap Yudaisme” dalam Islam: antara Visi, Tradisi, dan Hegemoni Bukan Muslim, peny. Mochtar Pabiottinggi, Yayasan Obor Indonesia).

Tujuan pencangkokkan itu, menurut Roeslan Abdulgani ialah untuk memecah-belah nasionalisme Arab, dan untuk menahan kebangkitan Islam. Sebab kawasan Timur Tengah adalah kawasan yang tidak hanya strategis—vital sekali, tetapi juga ekonomis—sangat penting karena kekayaan minyak di dalam tanah dan lautnya. Minyak adalah sumber energi pokok Dunia Industri Barat … (Roeslan Abdulgani, “Kata Pengantar” dalam Mereka Berani Bicara, Paul Findley, Mizan).

Mulanya, (sebagian) tanah Palestina menjadi klaim Negara Israel berkat konsensi yang diberikan oleh Inggris (Lord Balfour) sebagai penjajah negara-negara Arab, atas dukungan dana yang diberikan oleh Golongan Yahudi Zionis pada Inggris dalam Perang Dunia I melawan Jerman (Deklarasi Balfour 1917). Inilah yang dikatakan Rahman bahwa Israel, dalam kelahirannya, adalah suatu gejala kolonial dalam arti yang sesungguhnya. Dasar kelahiran Israel itulah yang salah. la diciptakan lewat kebatilan dan agresi, dan asal usul itulah yang menentukan sifatnya [Israel].

Modal “politis-yuridis” itulah yang membuat orang Yahudi yang mulanya hanya 50.000 bertambah banyak dengan kedatangan orang-orang Yahudi dari Eropa sejumlah 500.000 jiwa. Rakyat Palestina sendiri yang semula berjumlah 600.000 jiwa didesak, diintimidasi dan diteror. Ini semua terjadi pada tahun-tahun 1920-1940.

Negara Israel akhirnya berdiri tahun 1948, dan melakukan agresi lanjutan pada tahun 1967 lewat perang Arab-Israel, sehingga memiliki wilayah “jarahan” semakin luas yang meliputi Palestina, Lebanon Selatan, Dataran Tinggi Golan (Syria), dan Gurun Sinai (yang akhrinya diserahkan lewat Perjanjian Camp David).

Tindakan agresi Israel ini telah dikecam oleh berbagai pihak, tetapi berbagai resolusi DK PBB, diantaranya No. 242 dan 338, yang memerintahkan Israel keluar dari wilayah yang didudukinya itu, tidak membuahkan hasil. Kebandelan Israel ini, tentu tak lepas dari stereo¬type Amerika Serikat, negara yang oleh banyak pihak disebut dikuasai oleh lobi Yahudi. Secara langsung maupun tidak langsung, Amerika Serikat adalah pelindung Israel. Berbagai perjanjian perdamaian, selalu dilanggar oleh Israel dengan dukungan Amerika Serikat.

Memahami Hamas
Berlandaskan sejarah itu, kita bisa memahami mengapa Palestina, khususnya Hamas, bersikeras menolak perdamaian dengan Israel. Sebab dengan melakukan perdamaian, bukan saja mengakui negara (palsu) Israel, melainkan pada prakteknya semakin menguntungkan Israel. Oleh karena itu populer sebuah slogan di kalangan Hamas “Dengan perdamaian kita tak mendapat apa-apa tetapi dengan perang kita mendapat Gaza.” Dalam imajinasi saya, Hamas terinspirasi slogan Indonesia dalam mengusuir penjajahan: “Kami Cita Damai, tapi Lebih Cinta Kemerdekaan.”

Jika pun diadakan perdamaian maka tuntutan Hamas adalah dikembalikan seluruh tanah Palestina dari jajahan Israel. Bukan seperti sekarang, Palestina hanya mendapat secuil dari tanahnya sendiri: Tepi Barat dan Jalur Gaza, sementara Israel masih ongkang-ongkang dengan enaknya di sebagian besar tanah rampasan itu. Dalam konsep Hamas, hanya ada satu negara di tanah itu: Palestina dengan penduduk asli Palestina, dan mengakomodasi penduduk Yahudi sebagai warga negara.

Israel tentu saja tetap menginginkan seluruh tanah jajahannya (kembali) dalam genggamannya. Oleh karena itu di samping melanggar berbagai resolusi PBB, Israel juga kerap kali melakukan serangan guna mendapatkan kembali Tepi Barat dan Jalur Gaza. Bukan saja melalui militer, melainkan juga melalui pembangunan pemukiman Yahudi dan pembelian tanah Palestina.

Sementara itu Al Fatah, langsung atau tidak langsung, setuju dengan konsepsi seperti sekarang ini, di mana sebagian tanah Palestina dikembalikan sedangkan sebagian lagi menjadi hak Israel. Konsepsi dua negara inilah yang sebagian besar diinginkan oleh negara-negara lain, termasuk negara-negara Arab dalam hubungan Palestina Israel. Mungkin hanya Iran, Syuriah, Libya (dan Indonesia?) yang menginginkan Israel lenyap dari peta dunia.

Obamaforia
Penarikan militer Israel ke perbatasan, tentu saja disambut Hamas sebagai kemenangannya. Mungkin, Israel dianggap melarikan diri. Memang dalam perspektif perang, Israel gagal mancapai tujuan perangnnya yaitu melumpuhkan kekuatan Hamas. Alih-alih melumpuhkan Hamas, Israel justru melakukan pembantaian warga sipil, yang kemudian menuai reaksi negatip dunia. Hampir seluruh dunia mengutuknya, dan menganggap Israel sebagai penjahat perang.

Tapi, ada yang mengaitkan penarikan pasukan Israel dari Gaza sehari sebelum pelantikan Obama, karena ada kaitannya dengan Obama. Yusuf Kalla bahkan menyebut kewibawaan Obama sebagai faktornya. Benarkah?
Beberapa hari sebelum genjatan sepihak, menlu Israel dan AS menandatangani perjanjian, yang berisi kerjasama kedua negara dalam “melucuti” kekuatan senjata Hamas, di antaranya pencegahan berlangsungnya pasokan senjata pada Hamas. Jadi, memang faktor AS tetap berjalan dalam genjatan senjata itu. Tapi apakah faktor Obama berperan?

Memang, dalam berbagai penyataan saat kampanye, Obama menjanjikan perubahan, di antaranya dalam politik luar negeri yang lebih mengedepankan dialog, khususnya dengan dunia Islam. Termasuk penarikan pasukan AS dari Irak dan penutupan penjara Guantanamo. Maka dunia berharap pada Obama. Bukan saja karena janji perubahaan itu, melainkan Obama kali ini adalah pengecualian (calon) presiden AS. Dia berasal dari ras kulit hitam, sebuah ras yang dalam beberapa puluh tahun sebelumnya menjadi warga kelas sekian di AS. Maka Obama menjadi harapan perubahan itu, apalagi presiden yang akan digantikannya, Geroge W. Bush dikenal dengan pendekatan perang. Maka eforia terpilihnya Obama terjadi hampir di seluruh dunia. Obamaforia begitu kira-kira.

Tapi, tiga pekan penyerbuan Israel ke Gaza berjalan, Obama diam seribu bahasa. Waktu itu alasan yang berkembang karena Obama baru presiden terpilih dan belum presiden resmi AS. Tapi saat pidato pelantikannya yang dihadiri 2 jutaan manusia dan ditonton jutaan lainnya di dunia, Obama sama sekali tidak menyebut Gaza dan berempati pada ribuan korban agresi Israel. Tentu membuat pesimis akan janji perubahan yang diusungnya, terutama dalam penyelesaian masalah Palestina.

Tapi, memang untuk apa berharap pada Obama. Dia bukan presiden Kenya, tempat leluhurnya. Apalagi presiden Indonesia, negera berpenduduk Muslim terbesar dunia, tempat dia pernah 4 tahun bersekolah dasar. Obama adalah presiden AS, negara yang memposisikan dirinya sebagai negara adidaya tunggal dan negara yang sangat dipenggaruhi lobi Yahudi. Jadi, mungkin setali tiga uang. Sama saja. Jika beda, hanya gaya yang berubah!

Sebenarnya, harapan adalah pada persatuan negara-negara Islam atau Arab. Tapi, karena mayoritas mereka adalah cecunguk AS, maka harapan itu juga menjadi sia-sia. Lihatlah Mesir yang sangat takut membuka perbatasan untuk masuknya bantuan kemanusiaan. Lihat juga Saudi Arabia dan negara Arab lainnya yang, jangankan menekan Israel dan AS, untuk memberikan bantuan dana pasca-kehancuran Gaza saja bingung dan takutnya bukan main!

Di tengah pesimitis itu, kemudian kita “dihibur” oleh perang mulut antara PM Turki Recep Tayyib Erdogan dan Presiden Israel Shimon Peres dalam KTT ekonomi di Davos Swiss, yang berakhir dengan walk out-nya Erdogan. Turki, yang dikenal dekat dengan Barat dan Israel, kini kelihatannya mulai muak pada Isarel.

Memang, kita butuh orang semacam Khadafi, Erdogan, dan Ahmadinejad, atau Hugo Chavez dan Evo Morales. Nah, bagaimana SBY dan para calon presiden Indonesia, lebih beranikah? [*]