Vastenburg, antara ada dan tiada

Solo termasuk kota yang sedang menata diri menjadi kota multifungsi yang mampu mewadahi berbagai macam kegiatan mulai perdagangan, industri, pariwisata, pendidikan, maupun pengendali pembangunan ekonomi.

Terkadang hal itu menimbulakan masalah. Salah satunya pengembangan situs budaya Benteng Vastenburg yang sampai saat ini masih menjadi polemik.
Benteng yang dulu bernama Grootmoedigheid ini didirikan oleh Jenderal Baron Van Imhoff, seorang gubernur jenderal Belanda, pada 1745 sebagai benteng pertahanan tentara Hindia Belanda di Jateng pada masa pemerintahan Paku Buwana III. Benteng ini sengaja didirikan di pusat kota, dekat dengan Keraton Kasunanan agar memudahkan pemantauan terhadap keraton.
Benteng yang dikelilingi oleh tembok batu bata setinggi enam meter yang didukung dengan konstruksi bearing wall ini pernah mengalami beberapa alih fungsi. Di antaranya sebagai kawasan militer dan asrama bagi Brigif-6 /Trisakti Baladaya /Kostrad. Pada masa itu, bangunan di dalam benteng sengaja dipetak-petak untuk rumah tinggal para prajurit dan keluarganya (SoloNet 1998 ). Benteng ini juga pernah dijadikan sebagai markas Batalyon IV/Pulanggeni Divisi V TNI.
Namun, kondisi masa lampau sangatlah bertolak belakang dengan kondisi saat ini. Kondisi fisik bangunan yang tidak terawat kini telah beralih fungsi menjadi tempat penggembalaan kambing. Ditambah lagi dengan keadaan parit di sekeliling benteng yang ditumbuhi rumput liar semakin memunculkan gambaran kumuh.
Benteng yang berlokasi di ujung Jalan Jenderal Sudirman ini memang terletak di kawasan strategis dalam sektor bisnis dan perdagangan. Belum lagi pusat-pusat kegiatan perekonomian yang kini telah menjamur di sekitar benteng turut memaksa pengalihfungsian benteng menjadi kawasan yang mampu mendatangkan profit. Apalagi setelah kepemilikan benteng berpindah ke tangan perorangan/swasta, merupakan potensi bagi investor untuk menjadikan kawasan sarat sejarah tersebut sebagai ladang bisnis yang menggiurkan.
Di mata para penanam modal, jika dikembangkan lebih baik, kawasan itu merupakan lahan yang mampu mendatangkan devisa bagi Pemkot maupun keuntungan bagi swasta. Sangat disayangkan jika tanah seluas dua hektare lebih yang terletak di kawasan segitiga emas Kota Solo tersebut hanya menjadi lahan kosong nonfungsi.
UU No 5 Tahun 1992 tentang Perlindungan Cagar Budaya yang menjadi payung hukum bagi benda–benda peninggalan sejarah dianggap kurang mampu melindungi Benteng Vastenburg dari lirikan para penanam modal yang berniat mengubah benteng ini menjadi kawasan komersial. Pada dasarnya, segala bentuk perusakan situs melanggar UU ini. Namun, hal ini sangatlah disayangkan karena lemahnya kekuatan hukum UU No 5 Tahun 1992 yang hanya mengenakan denda senilai Rp 100 juta bagi pelaku perusakan situs. Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa kemungkinan pengambilalihan situs dari kawasan konservasi menjadi kawasan bisnis sangatlah besar.
SK Walikota No 646/116/1/1997 yang mengatur penetapan bangunan-bangunan dan kawasan kuno bersejarah Kota Solo menyebutkan bahwa kawasan Benteng Vastenburg termasuk kawasan perdagangan dan jasa, walau masih menjadi kawasan cagar budaya. Hal ini didasarkan pada banyaknya lingkungan perdagangan dan jasa yang berkembang di daerah tersebut sehingga daerah ini dikelompokkan menjadi kawasan perdagangan dan jasa daripada kawasan cagar budaya. Namun secara keseluruhan, Solo nantinya akan diarahkan menjadi kota yang mempunyai banyak fungsi dengan skala pelayanan yang beragam.

Jalan tengah
Pemkot sebagai penguasa wilayah hendaknya jangan hanya terpaku dengan ketentuan-ketentuan hukum yang hanya mampu menghambat laju pergerakan pihak swasta yang berkeinginan menjadikan kawasan cagar budaya ini menjadi kawasan bisnis. Idealnya, Pemkot mampu melakukan proses lobi terhadap pemilik sah benteng untuk sama-sama mengambil jalan tengah terhadap permasalahan ini. Jalan tengah yang dapat diambil antara lain dengan penerapan Mix Used Planning Concept, yaitu konsep rencana tata guna tanah yang menetapkan adanya beberapa daerah yang bersifat campuran bagi beberapa jenis kegiatan yang saling menunjang ataupun Flexible Zonning Consept, yaitu konsep tata guna tanah yang memberikan toleransi bercampurnya kegiatan lain pada daerah peruntukan tertentu. Dengan catatan, kegiatan lain tersebut tidak boleh mengganggu kegiatan utama, dan bahkan saling menunjang.
Diharapkan dengan bercampurnya kedua kegiatan antara kawasan konservasi dan kawasan bisnis ini mampu memunculkan citra kota Solo yang multifungsi serta mendukung terciptanya kota Solo yang mampu menghidupkan suasana kota lama di tengah-tengah modernisasi kota, sama halnya seperti Kota Paris, Prancis, yang mampu menyandingkan bangunan-bangunan serta budaya warisan leluhur dengan gedung - gedung pencakar langit yang berkonsep modern dan high class. Keberagaman inilah yang justru menjadikan kota ini termasuk dalam daftar kota tujuan wisata yang banyak diminati oleh wisatawan. - Oleh : Linawati Mahasiswa Teknik Arsitektur UNS