TAKUT


Adakah yang lebih menguasai hidup manusia daripada rasa takut? Barangkali takut itu adalah motif – motif yang paling berkuasa. Umurnya sama dengan umur hidup, yang selamanya dan dimana saja menjadi sebab – sebab pokok keaktifan manusia. Sedangkan pola dan corak keaktifan itu dikendalikan oleh satu sifat lagi yang bernama “ meniru ” (renungan tentang meniru telah dimuat pada terbitan yang lalu)

Itulah dua sifat fitrah manusia. Selain kedua sifat itu, masih ada sifat-sifat fitrah yang lain, seperti ; setiap orang butuh/ingin (ingat teori kebutuhan Maslow), setiap orang percaya, setiap orang berpikir, setiap orang punya kebiasaan, setiap orang bercita-cita, dll). Tetapi sepertinya kedua sifat itulah yang paling mendominasi hidup manusia.

Seperti meniru, sifat takut juga bermata dua; positif dan negatif. Kalau kita bisa mengendalikan kearah yang positif maka berbahagia dan selamatlah hidup kita. Tetapi kalau yang terjadi sebaliknya, kita terseret ke sisi negatifnya, maka sengsara dan celakalah kita.

Sifat takut bila dikendalikan secara benar akan membentuk situasi psikis yang positif seperti ; tawakal, hati-hati, teliti, hemat, siap siaga, optimis, giat belajar, aktif berupaya, proaktif, dsb. Sehingga menghasilkan aktifitas yang konstruktif, maju dan berkembang seperti ditemukannya obat (karena orang takut sakit), ditemukannya pupuk (karena orang takut produksi berkurang), ditemukannya komputer (karena orang takut kesulitan/repot menyimpan dan mencari dokumen), dst.

Sebaliknya, kalau kita tidak waspada, rasa takut bisa menyeret kita pada situasi psikis yang negatif seperti ; kikir, serakah, apatis, pesimis, rasa tak berdaya, risau, cemas, sesak dada, gundah gulana, agresif, marah, frustasi (rasa kecewa, gagal, kalah) dst. Sehingga terjadilah aktifitas yang destruktif, seperti membuat kerusuhan dan melakukan demonstrasi anarkis (karena kalah pilkada, misalnya), melakukan perusakan lingkungan, dsb. Semua ini tak lepas dari campur tangan setan, firman Allah SWT : Syaitan menjanjikan (Menakut-nakuti) kamu dengan kemiskinan dan menyuruh kamu berbuat kejahatan (kikir), sedangkan Allah menjanjikan untukmu ampunan daripada-Nya dan karunia dan Allah maha luas (karunia_Nya) lagi maha mengetahui (Qs 2:268)

Kalau dikelompokkan, takut itu ada dua bentuk, yaitu takut terhadap sesuatu yang akan terjadi (namannya’khawatir’) dan takut terhadap sesuatu yang telah terjadi (bersedih hati). Kalau direnungkan kedua bentuk ini bersumber dari satu substansi, yakni rasa kehilangan.

Jadi, agar rasa takut itu tidak menggerogoti psikis kita, obat penangkalnya adalah ; jangan merasa “punya”. Bahkan kalau bisa jangan pernah merasa “berhak”. Semua yang kita peroleh dan kita capai, pada hakekatnya adalah milik Allah dan sepenuhnya dalam genggaman kekuasaan Allah.

Bukankah kita dilahirkan dalam keadaan tidak punya apa-apa. Kalau kemudian kita memperoleh harta kekayaan, pangkat dan jabatan, dst, patutkah kita mengklaim bahwa itu semua adalah milik kita dan hak kita? Sehingga kalau semua itu lepas dari gengggaman kita, lalu kita merasa kehilangan?! Bukankah itu semua semata-mata karunia, titipan, dan amanah dari Allah?

Untuk kesadaran itulah kiranya kita diperintahkan mengucap do’a : “wahai Tuhan yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki, dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. Ditangan Engkaulah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu”. (QS 3 : 26)

Kesadaran bahwa kita bukanlah ”pemilik” akan mengantarkan kita menjadi orang yang sabar, yang tahan terhadap cobaan dan segala sesuatunya dikembalikan kepada Allah dengan ungkapan kalimat ” Istirjaa ” (pernyataan kembali kepada Allah) sebagaimana firmannya : ” Dan sesungguhnya akan Kami berikan cobaan kepadamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah – buahan. Dan berilah kabar gembira kepada orang – orang yang sabar. Yaitu orang –orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan ” Innaalillahi wa innaa ilaihi raaji’uun ”, Sesungguhnya kami adalah milik Allah dan kepada-Nya-lah kami kembali. (QS 2 : 155-156).

Kemampuan melepaskan diri dari rasa ’ke-aku-an’ atau rasa ’ke-pemilik-an’ inilah kiranya merupakan salah satu indikator keimanan yang benar sehingga segala aktifitas yang dilakukan lillahi ta’ala, semata-mata untuk mencari ridho-Nya tanpa pamrih apapun sehingga bernilai amal saleh.

Apabila hal itu mampu realisasikan dalam kehidupan sehari-hari, kita akan terbebas dari rasa takut. Firman Allah : ” Sesungguhnya orang –orang Mukmin, orang – orang Yahudi, orang – orang Nasrani, dan orang – orang Sabiin, siapa saja diantara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian dan beramal saleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. Oleh : Djumadi Ramelan, SH.