Seni Ke-fasilitator-an

”...Good is not enough if better possible (terj)” Mario Teguh Golden Way

Sulit mencari padanan kata yang pas, penulis jadi mengambil kata yang aslinya untuk menjelaskan kalimat Seni Memfasilitasi (the Art of Fasilitation) sebagai aktivitas yang sangat popular sepuluh tahun terakhir ini seiring faham humanisme yang manusiawi. (Paulo Friere dengan penolakan pendidikan “gaya bank”). Mengapa demikian? Mengapa perlu fasilitator dan bukan lagi instruktur atau system komando dalam sebuah aktifitas pembelajaran kekinian. Tentu ini inovasi yang efektif dan harapan hasil yang lebih baik. Kenyataanya metode ini jauh lebih cocok dari pada sistem yang terlalu menonjolkan pendidikan satu arah, ketat dan menindas. Ada beberapa alasan mengapa terminologi fasilitator lebih laku pasca munculnya ide dan kebebasan berekspresi di Indonesia termasuk di organisasi dakwah/agama seperti IPM. Pertama, memang banyak konflik yang tidak selalu bisa diselesaikan dengan tindakan kekerasan sehingga butuh medium atau seoarang fasilitator untuk membantu memecahkan masalah yang ada. Kedua, munculnya proses pembelajaran yang “memanusiakan manusia” sebagai tindakan yang kritis dan lebih bersahabat. Secara sederhana memfasilitasi itu merupakan seni mengelola sumberdaya manusia dengan cara yang beragam akan tetapi tidak merendahkan derajat manusia bahkan lebih menimbulkan kreatifitas. Bagaimana penjelasannya silakan dibaca berikutnya.

Dalam seni memfasilitasi dibutuhkan kecerdasan yang multiintelegsia, mampu mengelaborasikan antara idealisme dengan realitas, antara egoisme dan solidaritas dan sebagainya. Keahlian ini harus dimiliki oleh seorang fasilitator (yang memfasilitasi) dalam sebuah proses belajar. Ada beberapa fungsi utama seorang fasiliatator. Pertama, memberikan semangat atau menggairahkan peserta/warga belajar. Serorang fasilitator harus mengetahu dengan siapa berhadapan dan gaya komunikasi dan bahasa apa yang cocok untuk konteks ini. Ketika berhadapan dengan temen-temen SMA jangan menggunakan bahasa yang terlalu tinggi misalnya atau jangan memakai kisah yang sangat jadul yang tidak menarik. Kedua, mampu menjembatani beberapa gagasan menjadi satu kesatuan yang sistemik untuk dijadikan pemahaman bersama. Disini seorang fasilitatartor harus bijak dalam mengelola konflik ide dan gagasan dalam kelas. Disinilah dibutuhkan cara berfikir yang mederat, menghargai pendapat dan mengajak berfikir logis dan rasional. Ketiga, mampu memberikan isnpirasi bagi peserta belajar akan cara pandang tertentu. Tigas yang paling penting seorang fasilitator adalah menginspirasi, memberikan kail dan bukan ikan kepada peserta sehingga peserta muncul kreatifitas. Seorang fasilitator tidak dibenarkan menjadi penguasa, menjadi sumber yang memonopoli kebenaran. Kebijakan fasiliator dan kemampuan membuat ilustrasi adalah kekayaan yang paling dicari oleh peserta warga belajar. Keempat, memberikan tawaran cara berfikir yang alternative dalam memecahkan atau melihat sebuah permasalahan. Sesekali memang perlu, peserta dikenalkan dengan cara berfikir yang baru yang keluar dari meantream (umumnya) misalnya untuk menjawab pertanyaan: mengapa murid tidak lulus ujian nasional? Pada umumnya akan menjawab karena malas. Maka seorang fasilitator bisa mengajark peserta untuk menganilisis lebih detail. Misalnya melihat faktor keluarga, faktor ekonomi, system pembelajaran, metode guru mengajar, dan juga melihat fasilitas buku yang terbatas. Hal ini dimaksudkan agar tumbuh cara berfikir yang komprehensif, mempertimbangkan faktor lain yang saling terkait. Ini tida lain, tidak bukan adalah metode berfikir kritis ala anak IPM.

Kemampuan memfasilitasi dengan menggunakan berbagai seni komunikasi secara emosional memberikan sentuhan yang cukup kuat antar personal atau antar warga belajar dalam sebuah pelatihan. Ada pun kegunaan praktis di masyarakat atau dilingkungan sehari-hari misalnya untuk aktivitas belajar dalam komunitas, biasanya dapat memudahlan menyelesaikan konflik antar teman, pembelaan teman sebaya, memediasi pertengkaran antar kelompok, dan dalam skup yang lebih luas ketangguhan dalam seni fasilitatir akan mempermudah mengelola konflik secara damai dan menghasilkan apa yang disebut win-win solution. Semua menang dan bukannya menang-kalah. Karena dalam seni memfasilitasi ini akan dihasilkan mental yang positif, tidak merasa ada yang kalah dan yang merasa menang pun secara rendah hati membawa kelompok atau sahabat lain untuk saling mendapatkan manfaat. Konsep ini adalah tumbuh dan berkembang bersama. Partsipasi dan kreatifitas jauh dihargai dan saling memberikan motivasi dan pengetahuan antar pembelajar. Karena itu tida terjadi menang jadi arang, kalah jadi abu. Wallahu a’lam bisshowab.