“Say No to…”, “Say Yes to…”

Dampak kasus Prita Mulyasari, seorang ibu rumah tangga yang dijebloskan ke penjara gara-gara menulis keluh kesah atas pelayanan RS Omni Internasional melalui surat elektronik (email), kembali membuktikan betapa digdayanya kemajuan teknologi informatika.

Ruang maya publik alias Internet kini telah menjadi andalan sebagian masyarakat kita sebagai wahana untuk berbincang, bergosip, bersilaturahmi, berdiskusi bahkan sebagai tempat Curhat atau sekadar rasan-rasan serta mengungkapkan perasaan sehari-hari di dinding situs jejaring sosial semacam Facebook.
Internet sekaligus menunjukkan betapa besar dan ampuh pengaruhnya di dalam ranah kehidupan sosial, politik, ekonomi dan budaya manusia masa kini. Lihatlah, betapa hebat dan cepat reaksi masyarakat ketika seorang Prita diperlakukan tidak adil oleh sistem hukum negeri ini.
Ratusan ribu pengguna Internet langsung menggalang “kekuatan” mendukung Prita. Lebih dari 100.000 orang mendukung Prita lewat Internet. Sebagian lainnya bergegas membuat kelompok “penghujat” RS Omni Internasional dengan nama grup “Say No to RS Omni Internasional…” di Facebook. Sampai Minggu (7/6), jumlah anggotanya telah mencapai 33.000 lebih. Mereka yang bergabung dalam grup ini pun menumpahkan segala unek-unek, kejengkelan, kemarahan bahkan hujatannya kepada RS Omni Internasional.
Begitulah. Internet telah menjadikan pola komunikasi manusia di dunia ini melompat sangat jauh ke depan sekaligus memberi tingkat kepraktisan yang sangat tinggi. Dunia maya telah mengambil alih fungsi ruang publik konvensional seperti pasar, gedung parlemen, mal atau taman kota.

Agora
Kawan saya, Kang Yusran Pare, seorang wartawan senior kelompok penerbitan koran milik Kompas dalam blognya malah mengibaratkan dunia maya kini layaknya agora (pasar) dalam sistem demokrasi di Athena. Internet, kata dia, tidak saja merupakan tempat berjualan, melainkan berfungsi ganda sebagai wahana masyarakat untuk bertemu, berdebat, mencari berbagai kebutuhan, membuat konsensus atau menemukan titik-titik lemah gagasan politik dengan cara memperdebatkannya.
Perubahan pola komunikasi masyarakat kita itu sesuai benar dengan teori determinisme teknologi yang dipaparkan Marshall McLuhan. Dalam tulisannya The Guttenberg Galaxy: The Making of Typographic Man (1962), McLuhan secara umum menyebut bahwa perubahan yang terjadi pada berbagai macam cara berkomunikasi akan membentuk pula keberadaan manusia itu sendiri.
Dalam teori itu, McLuhan mengatakan teknologi membentuk individu bagaimana cara berpikir, berperilaku dalam masyarakat dan teknologi tersebut akhirnya mengarahkan manusia untuk bergerak dari satu abad teknologi ke abad teknologi yang lain. Misalnya dari masyarakat suku yang belum mengenal huruf menuju masyarakat yang memakai peralatan komunikasi cetak, ke masyarakat yang memakai peralatan komunikasi elektronik (Nurudin, Pengantar Komunikasi Massa, Rajawali Pers, Jakarta, 2007).
McLuhan berpikir bahwa budaya kita dibentuk oleh bagaimana cara kita berkomunikasi. Paling tidak, ada beberapa tahapan yang layak disimak. Pertama, penemuan dalam teknologi komunikasi menyebabkan perubahan budaya. Kedua, perubahan di dalam jenis-jenis komunikasi akhirnya membentuk kehidupan manusia. Ketiga, sebagaimana yang dikatakan McLuhan bahwa, ”Kita membentuk peralatan untuk berkomunikasi, dan akhirnya peralatan untuk berkomunikasi yang kita gunakan itu akhirnya membentuk atau mempengaruhi kehidupan kita sendiri.”
Internet memang telah mengubah sebagian pola komunikasi kita. Dia juga memberikan dampak pada kehidupan sosial, ekonomi, politik bahkan bisa jadi menyentuh pula pada sisi perubahan budaya kita. Budaya tatap muka, suba-sita, ewuh-pekewuh, kegotong-royongan dalam bentuk pertemuan secara nyata mungkin secara berangsur hilang. Yang terjadi kemudian adalah hubungan asosial. Ini tentu akan mengkhawatirkan.
Mengutip Yusran Pare, Internet memang telah menjadi ruang yang betul-betul terbuka dan bebas — dimasuki atau ditinggalkan– siapa pun. Bebas bicara dan tidak bicara apa pun. Bebas digunakan –dan tidak digunakan– untuk keperluan apa pun, termasuk kepentingan politik.
Dalam wacana politik, kondisi itu memberikan optimisme bahwa peran besar teknologi dunia maya merupakan alternatif kekuatan baru yang dapat menciptakan iklim demokrasi yang lebih baik. Jelas, ia pun merupakan saluran komunikasi yang potensial dalam menyalurkan berbagai opini dan gagasan politik yang sering kali tersumbat atau terkendala kesungkanan.
Karena itu pula, tak heran jika para politisi, calon anggota legislatif, Capres-Cawapres beserta tim suksesnya memanfaatkan kedigdayaan media alam maya ini untuk mencari simpati, berorasi, menggalang kekuatan serta ”menjatuhkan” lawan politik.
Sekalipun demikian, keterbukaan dan kebebasan alam maya yang bisa dimasuki siapa saja tersebut mestinya tetap memberi kesadaran moralitas, etika dan sopan santun bagi penggunanya. Setiap orang bisa membuat grup ”Say No to...” atau ”Say Yes to...” siapa dan apa saja di Facebook, yang penting koridor hukum, moral, etika, sopan santun, membangun sikap politik yang matang, jujur, jernih atau apapun namanya harus tetap dikedepankan.
Saya sependapat dengan orang yang mengatakan bahwa penyaluran informasi yang baik dan jernih adalah salah satu syarat utama demokrasi yang sehat. Sebab informasi yang jelas, jujur dan baik, pasti berasal dari kejernihan pikiran dan ketulusan hati. Tanpa pikiran jernih dan ketulusan, demokrasi hanya akan bermakna sebagai kebebasan mutlak yang mendorong pada tindak anarkisme.