Rivalitas Yang Beretika


Rivalitas atau persaingan politik antara presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan wakil presiden Jusuf Kalla, yang kini sama-sama maju sebagai kandidat presiden pada Pilpres 2009 ini, tidak terelakkan lagi. Keduanya terlibat dalam suatu kompetisi dengan posisi yang berseberangan. Langkah politik pun sedang dilakukan keduanya berikut tim kampanyenya untuk menjadi pemenang. Segala macam cara pun digagas. Itulah konsekuensi bila incumbent (presiden dan wapres) kemudian sama-sama tampil dengan pasangan yang berbeda.


Memang kelihatannya agak janggal. Sebab sangat jarang sekali satu pasangan presiden dan wakil presiden yang sudah bersama-sama memerintah selama lima tahun, kemudian harus bertarung setelah masa pemerintahannya hampir selesai. Lazimnya, hanya satu di antara keduanya yang kemudian maju. Bahkan di negara kampium demokrasi, seperti Amerika Serikat pun, demikian adanya. Tetapi, di Indonesia, tampil lain. Presiden dan wakil presiden sama-sama tampil sebagai kompetitor pilpres.


Jelas, tidak ada yang membatasi seseorang untuk kemudian maju sebagai presiden dan wakil presiden, termasuk mereka-mereka yang kini masih menyandang jabatan itu. Hak azasi menjamin penggunaan hak tersebut. Namun, persoalannya adalah bagaimana menata agar kompetisi politik, khususnya oleh mereka yang masih menjabat, dapat berlangsung dengan cantik, fair, mendidik, serta tidak memunculkan intrik yang bisa menciderai keelokan politik itu sendiri.


Politik adalah seluk beluk meraih dan mempertahankan kekuasaan. Bilamana kekuasaan masih dalam genggaman, maka, satu langkah yang paling memungkinkan dilakukan adalah menyampaikan kepada rakyat keberhasilan-keberhasilan yang dicapai. Disamping itu, gagasan ke depan pun layak disampaikan. Namun, model penyampaiannya harus tertata dengan baik. Tidak menimbulkan kegusaran bagi salah satu pihak. Inilah realitas politik yang sedang dialami oleh SBY dan JK.


Dalam berbagai kesempatan, kedua pemimpin bangsa ini sering melontarkan kesiapannya untuk berkompetisi secara damai dan bersahaja. Namun, seiring dengan meningkatkan tensi politik, kesepakatan itu pun sedikit terciderai. Salah satu contohnya adalah langkah saling klaim dalam proses perdamaian di Aceh.


Oleh Jusuf Kalla disebut, bahwa dirinyalah dalam kapasitas sebagai wapres yang paling banyak berperan. Dan statemen ini kemudian dikembangkan oleh tim suksesnya. Akan tetapi, tim kampanye SBY pun membantahnya. Politik saling mengunggulkan diri sendiri, serta memojokkan lawan pun merebak seketika.


Sesungguhnya klaim keberhasilan, dalam bentuk apapun itu, sah-sah saja dilakukan oleh rezim pemerintah saat ini, tak terkecuali presiden, wakil presiden dan juga para menteri. Sebab itu adalah kerja kolektif. Sebab yang disebut pemerintah adalah seluruh perangkat pemerintahan, mulai dari pusat hingga ke tingkat bawah. Namun dalam hal mengklaim itu, tidak boleh dan tidak wajar menonjolkan pribadi.


Jika pun ide atau gagasan itu muncul dari seorang pribadi, namun ketika itu menjadi kesepakatan dan keputusan, merupakan milik bersama. Prinsipnya, keberadaan individu akan sedikit berkurang ketika sudah bicara pemerintah. Pemerintahan adalah wujud kebersamaan yang terdiri dari banyak orang.


Adanya politik saling klaim, jelas tidak sesuai dengan etika politik yang sehat dan santun. Dan inilah yang sejak semula dikhawatirkan banyak pihak. Bagaimana pun, presiden dan wakil presiden merupakan pemimpin bangsa. Pemerintahan ada dalam kendali mereka. Prestasi pemerintah adalah prestasi mereka. Demikian juga dengan kegagalan.


Rakyat mengharapkan agar kompetisi politik dapat berjalan dengan bijak. Para kandidat penting sekali menunjukkan etika politik yang sehat, khususnya oleh mereka yang kini sedang memangku kekuasaan. Langkah yang saling memojokkan dan mengagungkan diri sendiri, harus disingkirkan. Dalam hal ini, SBY dan JK semestinya bisa menata sikap politik dan sekaligus mengarahkan para tim kampanyenya untuk mengelola persaingan dengan baik. (*)