Prita & kriminalisasi konsumen

Keramaian di dunia maya itu akhirnya meledak. Berita mengenai represi hukum yang diterima seorang ibu dari dua bocah Balita mengundang simpati banyak orang.

Prita Mulyasari sempat ditahan karena dituduh mencemarkan nama baik RS Omni Internasional Tangerang. Dia dijerat dengan UU No 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) karena mengirim surat elektronik atau email tentang keberatannya atas diagnosis RS itu.
Kasus pencemaran nama baik tersebut berawal ketika Prita menuliskan keluhannya melalui email tentang pelayanan RS Omni untuk kalangan terbatas. Namun, isi surat elektronik itu tersebar hingga ke sejumlah mailing list sehingga RS mengambil langkah hukum.
Prita dijerat pasal berlapis, yaitu Pasal 310 KUHP tentang pencemaran nama baik dengan ancaman hukuman 1,4 tahun penjara, Pasal 311 KUHP tentang pencemaran nama baik secara tertulis dengan ancaman 4 tahun penjara, serta Pasal 27 Ayat (3) UU No 11/2008 dengan ancaman enam tahun penjara dan denda Rp 1 miliar.
Selanjutnya, pada 11 Mei 2009, PN Tangerang memenangkan gugatan RS Omni. Hakim memutuskan Prita membayar kerugian materiil Rp 161 juta sebagai pengganti uang klarifikasi di koran nasional dan Rp 100 juta untuk kerugian immateriil.

Kebebasan berpendapat
Ada beberapa hal yang patut mendapat perhatian dari kasus Prita. Pertama, bagaimana mungkin seorang konsumen yang mengeluhkan pelayanan salah satu lembaga harus masuk penjara. Padahal, jelas-jelas konsumen punya hak untuk melayangkan keluhan jika merasa dirugikan. Berdasarkan Pasal 52 UU No 29/2004 tentang Praktik Kedokteran, hak pasien yaitu mendapatkan penjelasan secara lengkap tentang tindakan medis, meminta pendapat dokter atau dokter gigi lain, mendapatkan pelayanan sesuai dengan kebutuhan medis, menolak tindakan medis, dan mendapatkan isi rekam medis.
Bahkan, pasien berhak memperoleh hak informasi yang benar, jelas, dan jujur (Pasal 4 huruf c UU No 8/1998 tentang Perlindungan Konsumen). Lebih jauh lagi, keluhan yang dilakukan Prita itu, bahkan klaim untuk rehabilitasi atas kerugian konsumen oleh kesalahan produk dan layanan juga merupakan hak konsumen.
Kedua, di zaman dunia komunikasi dan teknologi Internet ini, individu bisa bersuara lebih terbuka. Hak bersuara ini harus tetap dijamin. Maka, kita melihat bahwa para penyusun UU ITE ini tidak menangkap semangat transparansi dan keterbukaan. Mengeluhkan pelayanan di media cetak saja tidak dianggap sebagai tindak kriminal. Bagaimana mungkin menulis keluhan memakai email dianggap satu kejahatan. Ini jelas kemunduran, sebuah pemasungan kebebasan berpendapat gaya baru berlindung kepada UU ITE.
Mengacu pada prinsip kebebasan mengemukakan pendapat—apalagi dalam konteks hubungan penyedia jasa dan konsumen—penulis sepakat dengan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) yang melihat indikasi pelanggaran HAM dalam kasus Prita.
Ketiga, dari kejanggalan yang dilakukan jaksa, jelas ada persoalan hati nurani. Pasal 27 ayat (3) UU ITE ini merupakan pasal kontroversial. Penegak hukum mestinya berhati-hati menerapkan pasal ini. Jangan sampai timbul kesan penegak hukum ingin mencari celah, agar ibu muda ini masuk bui. Maka, publik pun bertanya-tanya niat penegak hukum ini. Jaksa Agung Hendarman Supandji berjanji melakukan eksaminasi terhadap aparatnya yang dia nilai tidak profesional ini.
Dengan adanya kasus Prita, kebebasan mengeluarkan pendapat atau opini mulai dipasung. Sebagai pasien dan konsumen layanan kesehatan, Prita teraniaya. Padahal kalau mau dilihat dan kemudian dianggap ada persoalan hukum, harus dibatasi pada ranah perdata. Yang lebih penting lagi, email maupun Internet adalah salah satu sarana mengemukakan pendapat bagi warga negara yang dilindungi konstitusi dan piagam HAM dunia. Tidak pada tempatnya tindakan hukum pidana dalam persoalan ini.
Untuk itu, UU ITE perlu direvisi atau dilakukan judicial review (uji materi) sehingga tidak ada korban hanya karena memberikan informasi dengan sebenar-benarnya. Dan, kasus Prita berikut vonis pidana yang bakal dijatuhkan pengadilan nantinya bisa menjadi yurisprudensi terkait dengan UU ITE. Mendesak pula, pemerintah segera mengesahkan UU tentang Rumah Sakit yang mengatur sanksi bagi penyedia layanan kesehatan dan dokter yang tidak memberikan hak seorang pasien.
Sekali lagi, jika media massa berteriak tentang kebebasan pers dan kebebasan informasi, semuanya ini bukan untuk kepentingan media, tetapi untuk kepentingan publik. Jangan sampai ada Prita-Prita lainnya. - Oleh : Indriyani Mahasiswi STMIK Duta Bangsa Solo