Potret Buram Anak Bangsa

Tanggal 1 Juni kemarin tidak hanya diperingati sebagai Hari Lahir Pancasila, akan tetapi tanggal tersebut juga diperingati sebagai Hari Anak-anak Sedunia. Melihat kondisi anak-anak Indonesia, sungguh miris.

Masih banyak anak-anak Indonesia yang belum merdeka dan belum mendapatkan hak yang seharusnya mereka dapatkan. Padahal sudah jelas, dalam UU No 23/2002 tentang Perlindungan Anak diatur mengenai hak-hak yang seharusnya didapatkan anak.
Anak merupakan investasi bangsa, untuk meneruskan generasi bangsa yang akan datang. Di Indonesia, ada peringatan Hari Anak Indonesia yang jatuh setiap 23 Juli. Indonesia merupakan salah satu negara yang concern terhadap masalah anak. Hal tersebut dapat dilihat dari adanya beberapa produk hukum yang khusus menangani perihal anak, di antaranya UU No 23/2002 hingga UU Peradilan Anak. Selain itu, ada Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) yang diketuai Kak Seto, merupakan bukti adanya keseriusan Indonesia dalam menangani masalah anak-anak Indonesia. Namun, produk-produk hukum tersebut belum optimal memberikan jaminan hak asasi yang seharusnya diperoleh anak-anak Indonesia.
Pada tahun 1999, tepatnya sejak terjadinya krisis ekonomi, jumlah anak jalanan di Indonesia meningkat 85 persen. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), pada 2002, jumlah anak telantar usia 5 tahun-18 tahun di 30 provinsi sebanyak 3.488.309 anak. Sedangkan anak Balita telantar berjumlah 1.178.82 anak, dan anak jalanan tercatat ada 94.674. Lalu anak nakal 193.155, anak yang membutuhkan perlindungan khusus sekitar 6.686.936, dan yang potensial telantar sebanyak 10.322.674 anak. Yang memprihatinkan lagi, sekitar 36,5 juta anak Indonesia masih hidup di bawah garis kemiskinan.
Selain itu, kasus kekerasan terhadap anak juga masih memprihatinkan karena tiap tahun kekerasan terhadap anak cenderung meningkat. Pada 1 Januari hingga Juni 2008, Komisi Nasional maupun 33 lembaga perlindungan anak menerima laporan 21.000 kasus kekerasan terhadap anak. Sebanyak 62,7% atau sekitar 12.000 bocah mengalami kekerasan seksual. Tentunya hal tersebut kontradiksi dengan pasal-pasal yang terdapat dalam UU No 23/2002 tentang Perlindungan Anak. Dalam Pasal 4 UU itu tertulis, ”Setiap anak berhak untuk hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.”
Kenyataannya, banyak anak-anak Indonesia yang menjadi korban kekerasan, kekejaman, ketidakadilan dan eksploitasi. Kerap kali ditemui di sekitar Bangjo (lampu lalu lintas) berjajar anak-anak ataupun seorang perempuan yang menggendong anaknya, meminta-minta para pengendara yang berhenti saat lampu merah. Padahal hal itu juga tegas-tegas menyalahi aturan, mengeksploitasi anak.
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi maraknya kasus kekerasan dan eksploitasi terhadap anak-anak Indonesia. Pertama, faktor ekonomi. Hal yang klise tetapi perlu diakui, faktor ekonomi memang menjadi faktor yang signifikan adanya eksploitasi terhadap anak. Tercermin dari banyaknya fenomena pengemis jalanan, anak telantar dan bahkan terjadinya human trafficking (perdagangan manusia) terhadap anak karena orangtua mereka tak mampu membiayai.
Kedua, faktor pendidikan. Tingkat pendidikan juga mempengaruhi kekerasan dan eksploitasi terhadap anak. Banyak anak yang putus sekolah, sehingga mereka tidak mempunyai soft skill yang memadai untuk mempertahankan hidup. Implikasinya, mereka rentan terlibat kriminalitas.
Ketiga, faktor keluarga. Banyak sekali kasus kekerasan psikis terhadap anak yang terjadi akibat perceraian orangtuanya. Tentunya hal tersebut mengganggu pertumbuhan jiwa si anak sendiri.

Kultur berubah
Di era 1990-an, musik anak masih banyak dijumpai di televisi-televisi maupun radio-radio. Syairnya pun dapat dicerna bagi kalangan anak-anak dan bila dicermati bait-bait lagunya memberikan pesan untuk anak-anak. Jika menengok ke belakang, dulu banyak artis-artis cilik yang meramaikan bursa musik anak-anak. Sebut saja Enno Lerian, Joshua, Trio Kwek Kwek, dan masih banyak lagi artis yang diidolakan para anak-anak.
Berbeda halnya dengan keadaan sekarang, seakan-akan terjadi perubahan kultur di kalangan anak-anak. Mereka kebanyakan mengidolakan lagu-lagu dewasa yang dibawakan oleh penyanyi dewasa. Padahal apabila ditelaah, lagu-lagu tersebut belum pantas didengarkan oleh anak-anak. Masih hangat dibicarakan, salah satu judul lagu dari grup band Wali dicekal karena dirasa judulnya tidak pantas dan tidak pas untuk anak-anak. Jika keadaannya seperti ini, tidak mustahil anak-anak akan tumbuh dewasa sebelum waktunya.
Hal di atas sebagai salah satu renungan, bahwa perlindungan anak-anak urgen dilakukan, tidak hanya perlindungan dari kekerasan, eksploitasi serta diskriminasi, tetapi juga perlindungan terhadap kultur. Menyadari bahwa anak-anak bangsa merupakan aset dan investasi bagi bangsa, perlu ditanamkan pendidikan dan nilai-nilai yang luhur sebagai bekal untuk regenerasi yang lebih baik. Realitas tersebut juga sebagai masukan terhadap calon presiden dan calon wakil presiden, jika terpilih, wajib memberikan perhatian lebih terhadap nasib anak-anak.