Potres Sang Hercules

Tepat di Hari Kebangkitan Nasional yang ke-101, 20 Mei lalu, sebanyak 101 korban melayang akibat jatuhnya pesawat Hercules C-130 di Desa Geplak, Kecamatan Karas, Kabupaten Magetan. Tragedi tersebut seolah melengkapi daftar kecelakaan yang menimpa alat utama sistem persenjataan (Alutsista) kita.

Sebelumnya, pada 11 Mei 2009, pesawat Hercules mengalami gagal landing karena pecah ban di Bandara Wamena Papua. Lalu pada April lalu, pesawat Fokker 27 TNI AU celaka di Hangar Lanud Husein Sastranegara Bandung.
Menurut data dari sebuah blog tentang dunia militer dan penerbangan, pada tahun 2009 (sampai dengan bulan Mei) terjadi lima kecelakaan pesawat terbang militer. Jika dihitung, rata-rata satu bulan sekali pesawat terbang kita mengalami kecelakaan. Jatuhnya korban jiwa pun tak dapat dihindarkan.
Ada yang berpendapat peristiwa tersebut disebabkan oleh kondisi cuaca yang buruk, human error (kesalahan manusia) dan kondisi pesawat yang tidak laik terbang. Agaknya pendapat yang belakangan ini perlu mendapat perhatian yang serius. Hal itu dapat dilihat dari data mengenai kondisi Alutsista TNI AU yang dikeluarkan oleh Departemen Pertahanan bahwa dari 252 pesawat, yang layak terbang hanyalah 116 pesawat. Di samping itu, dari kebutuhan Rp 6,2 triliun anggaran Alutsista, yang dapat direalisasikan hanya Rp 350 miliar. Hal ini tentu masih sangat jauh dari harapan. Minimnya kondisi pesawat yang layak terbang, bisa jadi menyebabkan pilot kurang berlatih.
Dengan kondisi seperti itu, masihkah kita menyatakan seorang pilot melakukan kesalahan ketika terjadi kecelakaan? Sepertinya kita sepakat menyelesaikan masalah harus pada akarnya. Kesalahan pada pilot bisa saja terjadi, selagi tidak ada hal lain yang sifatnya lebih mendasar yang melatarbelakanginya. Minimnya anggaran untuk pemeliharaan dan peremajaan Alutsista sangat berdampak pada berbagai tugas pokok TNI. Sampai saat ini, pemerintah belum juga memenuhi kebijakan minimum essential force (kekuatan penting minimum). Bagaimana mempertahankan wilayah NKRI seluas 7,7 juta km2 jika standar kekuatan minimum saja tidak terpenuhi?
Sebagai contoh, apa yang dapat dilakukan pemerintah terhadap kasus Military Training Area (MTA) 1 dan 2 oleh Singapura? MTA adalah sebuah perjanjian di mana pemerintah Indonesia memberikan ruang gerak wilayah udaranya untuk kepentingan berlatih militer Singapura. Perjanjian ini sebenarnya telah berakhir September 2001, namun sampai saat ini, Singapura masih saja menggunakan ruang udara MTA selama 24 jam sehingga pesawat terbang kita dilarang memasuki wilayah tersebut. Padahal jelas secara de facto dan de jure, MTA 1 dan 2 merupakan wilayah kedaulatan Indonesia.
Belum lagi kenangan pahit lepasnya Pulau Sipadan dan Ligitan ke tangan Malaysia. Masihkah harus terulang?
Ada baiknya pemerintah segera memenuhi kebijakan minimum essential force jika bangsa ini ingin disegani. Ketika standar kekuatan minimum telah terpenuhi, bolehlah bicara soal bagaimana mempertahankan kedaulatan bangsa dan profesionalisme penerbang kita.

Bukan sekadar musibah
Jatuhnya pesawat Hercules C-130 di Magetan yang banyak merenggut korban jiwa bukan sekadar musibah. Di sisi lain, tragedi tersebut memunculkan sebuah protes keras di tengah ingar-bingar pencalonan presiden dan wakil presiden periode 2009-2014. Sebuah protes nyata di tengah gencarnya janji-janji politik para Capres dan Cawapres.
Namun sayangnya, mereka hanya bisa mengucapkan bela sungkawa untuk para keluarga korban tanpa ada suatu komitmen tegas bagi perbaikan Alutsista kita. Jangankan soal komitmen, saat peringatanMay day beberapa pekan lalu oleh para buruh, tidak ada satu pun Capres-Cawapres yang datang untuk mendengar tuntutan mereka. Belum lagi di sektor-sektor yang lain, seperti budaya, kelautan dan perikanan, lingkungan hidup dan tata ruang, kesehatan dan lain-lain juga segera diperhatikan sesuai porsinya masing-masing supaya tidak terjadi diskriminasi.
Kompleksnya permasalahan bangsa ini sudah seharusnya disikapi secara serius di segala bidang. Perbaikan dan kemajuan di semua lini kehidupan yang secara bersama-sama dilakukan dapat menciptakan akselerasi kebangkitan bangsa ini guna mencapai masyarakat yang adil dan makmur. Realitas politik haruslah beranjak dari realitas masyarakat supaya tidak elitis.
Orang yang bijak adalah orang yang dapat mengambil hikmah dari setiap musibah. Sudah saatnya kita mulai menjadi bangsa yang bijak dengan mengambil hikmah dari semua masalah dan musibah yang menerpa bangsa. Jangan sampai darah, keringat, air mata, serta nyawa yang telah jatuh atas nama bangsa Indonesia menjadi sia-sia.
Semoga tragedi jatuhnya pesawat Hercules C-130 benar-benar menjadi sebuah protes atas kompleksnya permasalahan bangsa ini, serta dapat didengar oleh para Capres dan Cawapres yang akan bertarung.