Politisasi agama & perang citra

Perang citra antarcalon Presiden-calon wakil presiden (Capres-Cawapres) dalam Pemilu Presiden 2009 nyaris tak terelakkan. Slogan-slogan keberpihakan, kerakyatan, kedaulatan dan kemerdekaan ekonomi, keberimanan, kesalehan, dan lain-lain menyeruak masuk ke ruang-ruang publik.

Pesona Jilbab pun tak luput dari perhatian elite-elite politik sebagai strategi pemenangan. Publik diajak menggugat sisi negatif atau kekurangan dari masing-masing Capres-Cawapres.
Masifnya politisasi simbol-simbol agama, sedikit banyak, menjadi preseden buruk dalam pembangunan citra personal Capres-Cawapres yang akan bertarung di tengah pemilih yang mayoritas Islam. Status haji misalnya, secara tidak langsung, kesan yang ditimbulkan berarti ia (salah satu pasangan Capres) tak diragukan keberimanannya. Begitu pun dengan jilbab. Para isteri kandidat atau kandidat perempuan yang tidak berjilbab diasosiasikan sebagai pribadi yang tidak memenuhi ketentuan dalam Islam.
Beragam pendapat muncul dalam menangkap wacana politisasi agama itu. Ada yang cuek, dingin dan tapi tidak sedikit pula menaruh sikap tidak bersahabat. Pertanyaannya, dari kacamata apakah yang pas dalam menjernihkan penilaian terhadap politisasi simbol-simbol agama seperti haji atau jilbab?
Bukan jilbab ideologis
Jika diteropong dari kacamata ideologi, tentu tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Jilbab dalam konteks ini bukanlah ”jilbab ideologis” yang berpotensi membangunkan kesadaran fanatik Islam versus ideologi negara Indonesia saat ini.
Jamak dipahami, Indonesia bukanlah negara sekuler yang secara absolut memisahkan agama dari urusan kenegaraan atau politik. Juga bukan negara yang mendasarkan pada salah satu agama. Jelasnya, Indonesia merupakan negara Pancasila yang tak bisa dilepaskan dari semangat agama walau tidak dalam bentuk formal dan skriptural. Benang merah yang ditarik dari pesan agama dalam hidup berbangsa dan bernegara adalah aspek moralitas, keadilan, kecintaan, kemanusiaan, amanah (seperti tidak korupsi), keberpihakan pada aspirasi umat, dan lain-lain.
Atas dasar konsepsi itulah, isu politisasi jilbab tentu bukanlah suatu pelanggaran norma, tata aturan atau kode etik hidup bernegara. Negara ini bukan laiknya negara-negara sekuler di Barat yang memisahkan secara tegas antara urusan agama yang privat dan urusan-urusan sosial yang tempatnya di ruang publik. Singkatnya, publik sekuler bersepakat pintu-pintu publik ditutup serapat-rapatnya tanpa diberi ruang dan celah bagi keluarnya urusan-urusan agama dari pikiran, hati, rumah maupun keluarga.
Kendati demikian, menyeruaknya jilbab ke ruang-ruang politik publik yang sekaligus dijadikan siasat membangun citra untuk pemenangan kekuasaan politik patut diresahkan dan diberi catatan kecil. Sebab, selain juga merongrong kesucian, kemuliaan, dan keagungan agama, politisasi jilbab seolah memosisikan perempuan sebagai objek eksploitasi.
Jilbab merupakan fenomena yang kehadirannya sudah berusia purba yang kaya akan makna dan nuansa. Sebagai misal, jilbab bisa berfungsi sebagai bahasa penyampai pesan sosial budaya. Dalam Kristen Protestan, jilbab merupakan simbol bermuatan ideologis. Di kalangan Katolik, jilbab menandai pandangan tentang kewanitaan dan kesalehan. Bahkan dalam sejarah masyarakat Islam sendiri, jilbab bisa menjadi alat resistensi dan perlawanan (Fadwa El Guindi, 2003).
Secara normatif-doktriner, dalam Islam, anjuran jilbab didasarkan pada suatu visi tentang Islam yang dibangun secara bertahap untuk komunitas muslim awal pada abad ke-7. Sebagian kalangan mendefinisikan jilbab merujuk pada pakaian panjang dan longgar. Biarpun demikian, ada pula yang mengartikan pakaian ini tidak selalu dikonotasikan sebagai tutup kepala dan muka.
Adalah menarik dalam kaitan ini bahwa dalam gerakan Islam di Indonesia, jilbab lebih umum digunakan untuk merujuk pada corak pakaian Islam tertentu, walaupun maknanya juga tidak konsisten—ada yang menggunakannya untuk merujuk penutup kepala itu sendiri (Kamus Indonesia-Inggris).
Sedangkan yang lain penggunaannya merujuk pada pakaian komplet, yakni, pakaian bercorak baru yang diimpor dari Timur Tengah, dipakai oleh kebanyakan wanita muda sebagai kebalikan dari pakaian tradisional sarung, kebaya, dan selendang kepala longgar atau topi penenun yang dipakai oleh wanita dewasa di Indonesia.
Memang kehormatan, kemuliaan dan kebaikan berakar dari hati dan merupakan asal dari kesucian, bukan berasal atau ditampakkan oleh pakaian komplet yang menutup dan terhampar dari kepala hingga kaki. Namun demikian, anjuran jilbab dalam Islam berkait erat dan kerap dihubungkan dengan perilaku sosio-moral, ruang sakral, kehormatan, seksualitas, erotisme, privasi dan lain-lain. Paling tidak, wanita muslim yang berjilbab secara lahir diasosiasikan sebagai muslimah yang patuh terhadap kode etik-moral dan merealisasikan visi profetik Islam tentang cara-cara berpakaian.

Komoditas politik
Tanpa disadari, dalam konteks politisasi jilbab, sosialisasi atau kampanye memilih calon pemimpin yang secara lahir berbusana muslimat, memperjualbelikan agama untuk komoditas politik. Kesalehan, kehormatan, kesucian, dan ketaatan simbolik dipasarkan kepada konsumen atau calon pembeli.
Simbol-simbol keyakinan, keimanan, dan kesalehan diperjualbelikan dengan harga sangat murah dan untuk tujuan-tujuan sesaat. Padahal jilbab, dalam makna substansial, bersifat absolut, transendental, sakral dan terpaut dengan yang ilahi. Sementara politik bernilai temporal, lokal, partikular dan berdiri di atas kepentingan duniawi.
Meminjam istilah Syafi’i Ma’arif, terjadi penjungkirbalikan logika antara politik dengan agama yang seharusnya tidak disejajarkan. Agama merupakan risalah yang berasal dari ilahi, sementara politik sarat dengan kepicikan, kecongkakan, dan tidak jarang berseberangan dengan kebaikan-kebaikan universal yang diajarkan oleh agama itu sendiri.
Alih-alih politisasi agama lewat jilbab mendatangkan kemaslahatan, kesadaran solidaritas sosial, ataupun alat resistensi ketidakadilan, yang terjadi dikhawatirkan malah sebaliknya. Yaitu polarisasi keberimanan dan makna kebaikan antara perempuan berjilbab dengan yang tidak.
Padahal, mengutip ungkapan Nazira Zein-ed-Din (1995), seorang muslimat pemikir asal Libanon, bahwasanya kehormatan berakar dari hati dan merupakan asal dari kesucian, bukan berasal dari sehelai kain transparan atau jilbab yang dihamparkan di wajah. - Oleh : Nur Aisyah, Alumni Ponpes Muhammadiyah Shobron Sukoharjo, Mahasiswa Pascasarjana UMS