Petaka Hercules, Cambuk Bagi Bangsa Indonesia

Bangsa Indonesia kembali disentakkan oleh malapetaka tragis, kali ini berupa jatuhnya pesawat angkut TNI-AU, C-130 Hercules, di Magetan, Jawa Timur. Tragis karena lebih dari 100 nyawa menjadi korban, dan tragis karena baru berselang sekitar dua bulan sebuah pesawat transpor TNI-AU lainnya, F-27 Troopship, juga jatuh dan menimbulkan korban jiwa.

Kedua insiden itu banyak dikaitkan dengan kondisi sebagian besar alat utama sistem senjata atau Alutsista militer kita yang sudah menua. Kenapa sampai menua, itu karena tidak tercukupinya kebutuhan anggaran pertahanan. Kalau dilihat dari tahun ke tahun, secara nominal memang jumlah anggarannya meningkat. Tapi di balik jumlah yang meningkat itu juga ada peningkatan jumlah kebutuhan riil anggaran yang selama ini tak pernah terpenuhi.
Konsekuensinya, anggaran operasional rutin yang salah satunya berupa anggaran perawatan dan perbaikan Alutsista tentu saja jadi makin terbatas. Padahal, seperti halnya kendaraan bermotor biasa yang ketika usia pakainya bertambah maka biaya perawatan dan penggantian suku cadangnya juga makin meningkat, segala peranti perang itu pun begitu pula kebutuhannya.
Sementara itu, peranti pertahanan juga perlu diperbarui dari waktu ke waktu karena teknologi yang terus berkembang. Tak mungkin Radar buatan tahun 1950-an atau 1960-an, atau bahkan tahun 1980-an bisa memenuhi kebutuhan pemantauan udara untuk tahun 2000-an, ketika desain pesawat tempur makin mampu mengelakkan atau memanipulasi pantauan Radar dan ketika aneka peranti untuk perang elektronika makin canggih sehingga alat-alat pengindera bisa dibuat “bisu.” Meriam penangkis serangan udara tahun 1940-an yang biasanya menghadapi pesawat-pesawat berbaling-baling jelas tak berkutik ketika harus menghadang pesawat bermesin jet.
Kondisi seperti ini sayangnya banyak yang menjadi kenyataan di Indonesia. Korps Pasukan Khas TNI-AU masih harus menggunakan meriam triple gun penangkis serangan udara buatan tahun 1950-an. Kendaraan lapis baja Saladin dan Saracen yang dulu dipakai mengangkut peti jenazah para Pahlawan Revolusi hingga kini masih belum dicoret dari daftar inventaris TNI-AD. Korps Marinir TNI-AL hingga kini masih menggunakan tank PT-76 dan BTR-50 yang dibeli saat Presiden Soekarno memproklamirkan Trikora untuk merebut Irian Barat.

Tak sempurna
Alutsista yang usianya “lebih muda” pun kebanyakan kondisinya tidak lebih baik. Penulis pernah membaca artikel tulisan seorang pilot F-16 TNI-AU di sebuah majalah kedirgantaraan soal pengalamannya mengikuti latihan tempur bersama dengan AU salah satu negara tetangga. Dia menyebutkan, ketika F-16 baru didatangkan dari AS tahun 1990-an, pesawat itu dengan segala kelengkapan penunjang operasinya mampu mengimbangi kemampuan pesawat negara lain.
Kini, ketika pesawat negara lain itu peranti-perantinya sudah semakin maju, F-16 TNI-AU masih saja memakai peranti yang sama seperti saat baru dibeli, di mana kemampuan peranti itu pun kini sudah tak sempurna lagi.
Dihadapkan pada kondisi ini, memang negara berkembang seperti Indonesia harus lebih cermat berhitung dan menakar pembagian anggarannya. Di tengah meningkatnya kebutuhan untuk pertahanan, kebutuhan untuk bidang lain seperti pembangunan infrastruktur, pendidikan, kesehatan dan kebutuhan pelayanan masyarakat lainnya juga terus bertambah. Kondisi perekonomian global juga turut mempengaruhi kemampuan pemerintah. Di sinilah pemerintah menghadapi apa yang oleh sejumlah pengamat disebut sebagai “dilema antara pedang dan roti,” yaitu memilih apakah harus mengutamakan pedang alias alat pertahanan atau roti alias kebutuhan pokok rakyat.
Memang, mengeluarkan uang untuk memenuhi kebutuhan pertahanan, baik untuk merawat yang lama atau untuk membeli yang baru lebih banyak berkonotasi penghamburan anggaran. Ini karena alat pertahanan itu memang terkesan tak terlihat manfaatnya di masa damai. Jajaran pesawat tempur, tank, Rudal dan kapal perang yang “menganggur” itu seperti tak ada artinya dibandingkan deretan sekolah baru, jalan raya dan jaringan air bersih yang langsung terasa manfaatnya sehari-hari. Sama seperti pemerintah di suatu daerah yang pasti lebih memikirkan membeli mobil dinas baru buat kepala daerahnya atau membangun kantor baru, yang langsung terlihat “manfaat”-nya, dibandingkan membeli mobil pemadam kebakaran yang canggih dan mahal namun sehari-hari hanya diparkir di garasi saja.
Tapi, ketika terjadi kebakaran, mobil pemadam kebakaran itu baru terlihat manfaatnya. Mobil Toyota Camry bupati atau walikota yang harganya hampir sama mahalnya dengan mobil pemadam jelas tak bisa dipakai mengatasi kebakaran. Sama juga dengan peranti militer yang baru terasa manfaatnya ketika ada kondisi darurat.
Kemampuan terbatas
Tak usahlah berpikir soal pecahnya perang. Ketika terjadi bencana dahsyat tsunami di Aceh dan Sumatera Utara, nyata-nyata Indonesia banyak terbantu oleh dukungan peralatan militer dari negara-negara lain yang tak kita punyai. Jumlah helikopter dan kemampuan daya angkut yang terbatas di pihak kita terbantu oleh Singapura yang punya helikopter angkut raksasa Chinook. Wahana pendarat pasukan berbantalan udara (Landing Craft Air Cushion/LCAC) milik militer AS terbukti bisa menembus wilayah pantai yang terisolasi karena dermaga yang hancur.
Kita memang jangan sampai seperti Korea Utara yang bisa menghidupi jutaan tentara dan membangun aneka Rudal jarak jauh, namun di sisi lain rakyatnya kelaparan dan bergantung pada pasokan bahan pangan dari luar negeri. Namun jangan sampai pula negara kita punya tentara yang cuma bisa memajang papan nama kesatuannya, tapi tak punya peranti apa-apa yang menunjukkan fungsinya.
Saat kini TNI dituntut untuk makin profesional setelah melepas semua peran politik dan aktivitas bisnisnya yang dulu sangat dominan di balik tudung “dwifungsi,” maka pemerintah termasuk di dalamnya DPR harus konsekuen dengan memberikan “kompensasi” yaitu ketersediaan anggaran yang memadai untuk menunjang pembangunan dan penerapan profesionalisme TNI itu. Selama ini banyak isu dan cerita soal “komersialisasi” pesawat udara dan helikopter TNI untuk kepentingan pihak lain. Seandainya benar, seharusnya itu tak terjadi jika semua kebutuhan anggaran terpenuhi sehingga kisah tentara ngobyek tak terdengar lagi. Begitu pula, kisah kurangnya anggaran yang membuat para pengguna Alutsista harus bertaruh nyawa di luar medan perang pun harusnya tak lagi ada.
Selama ini, tiap kali kisah terbatasnya anggaran pertahanan ini muncul, para petinggi sipil dan militer biasanya berkata “yang penting daya juang dan semangat juang personel TNI terus terjaga.” Tapi, haruskah daya juang dan semangat juang itu yang terus jadi tumbal keterbatasan?