Pers, Penekanan Penghancuran Moral

Ketua Umum PB NU, Hasyim Muzadi, beberapa waktu lalu, mengatakan bahwa Pemilu telah menghancurkan sistem nilai dan moral yang ada di masyarakat. Di Papua dan Sumatra Utara, kerukunan hidup antarmarga dan antarsuku tergerus oleh perbedaan politik akibat Pemilu.

Tentu saja, penghancuran sistem nilai dan moral dalam masyarakat itu juga tidak hanya secara langsung dipengaruhi oleh Pemilu. Bisa jadi, jurang semakin menganga karena berbagai informasi yang didapat masyarakat kurang lengkap. Dalam hal ini, pers sebagai lembaga, tak jarang dituduh sebagai biang kerok.
Memang, pers seringkali diklaim sebagai lembaga yang bisa ikut mengipas-ngipasi sebuah perbedaan dalam masyarakat yang akhirnya menjadi konflik. Dalam kurun waktu lama pula, pers disebut sebagai narcotizing dysfunction (racun pembius). Tetapi, mengingkari pers sebagai penekan dan penentu utama kemajuan masyarakat juga sangat naif.
Dalam kompetisi politik, pers sekadar mengungkap berbagai fakta-fakta yang tersaji dalam setiap peristiwa. Pers memberitakan, menginterpretasikan pesan kemudian menyodorkan pada masyarakat apa yang perlu dilakukannya. Efeknya, kembali pada kualitas individu dalam menyikapi setiap peristiwa yang disajikannya. Dalam hal ini, pers adalah faktor antara dari semua sebab yang terjadi.
Pertanyaannya adalah bagaimana jika di dalam masyarakat telah terjadi penghancuran moral bangsa akibat berita-berita yang disajikan oleh pers itu sendiri? Sebagai media penyampai informasi, pers punya tugas mulia untuk memulihkannya.
Pertama, meskipun diklaim sebagai narcotizing dysfunction, pers punya tugas sebagai contributing to social cohesion. Karenanya, pers sebenarnya punya potensi besar dalam menciptakan kesatuan dan integrasi dalam masyarakat. Dalam melihat sebuah konflik misalnya, pers yang berusaha untuk selalu melihat dan tidak terlibat dalam konflik menjadi potensi untuk menciptakan integrasi sosial di masyarakat. Ini juga berarti, wartawan yang meliput kejadian juga berada di luarnya.
Ini dimungkinkan terjadi, jika pers memang tidak punya kepentingan atas sebuah peristiwa. Masalahnya adalah apakah pers benar-benar tidak punya kepentingan atas sebuah peristiwa? Katakanlah pers tidak punya kepentingan, bagaimana dengan wartawannya?

Independen
Dalam pandangan Kovach dan Rosenstiel (Nurudin, 2009), wartawan harus independen dari yang mereka liput. Independensi yang dimaksud di sini adalah independensi pikiran, dari kelas atau status ekonomi, dan independen dari ras, etnis, agama dan gender. Ini berarti wartawan dalam menulis berita melepaskan semua yang ada pada dirinya. Ia bertugas melaporkan dan menunjukkan fakta apa adanya, tanpa takut kepada sebuah kelompok.
Kedua, memberikan upah layak pada wartawan. Ini memang relatif. Meskipun juga tidak ada jaminan dengan gaji layak, mereka bisa layak dalam melakukan peliputan. Tetapi, gaji layak akan bisa menekan mereka mencari ”objekan” di luar gaji, entah amplop, perjalanan dinas dan entah fasilitas lain dari narasumber. Ini memang ideal dan tak mudah dilaksanakan. Tetapi tanpa ada usaha ke arah itu, semua hanya omong kosong. Niat wartawan untuk tak menerima fasilitas narasumber akan sia-sia manakala media juga mendiamkan saja.
Dengan gaji layak, mereka tidak akan tergantung pada nara sumber. Selama ini, berbagai konflik di masyarakat akibat pemberitaan pers yang berat sebelah karena wartawan sudah ”dibeli” oleh narasumber. Bisa dikatakan penghancuran sistem nilai dan moral bangsa akarnya juga dari sini pula.
Ketiga, media harus selektif dalam memilih kata-kata dalam medianya. Kata-kata itu bukan kata-kata yang bisa memicu konflik. Beberapa contoh kata-kata yang justru ikut menghancurkan sistem nilai dan moral masyarakat pernah dilakukan media di Kalimantan berkaitan dengan konflik Sampit. Dua media massa di sana pernah menulis berita sebagai berikut, ”Malam itu, setelah dua hari etnis Madura ”menjajah” Sampit, Panglima Dayak merangsek masuk kota”. Lihat juga, ”Aparat siaga dan berlapis-lapis menjaga sarang kaum begal bergundal etnis Madura di sana” (Eriyanto, 2004).
Tak terkecuali yang pernah ditulis media dalam konflik Ambon (2000) sebagai berikut, ”Kepulauan Maluku bagai ladang penjagalan. Nyawa manusia tidak lagi memiliki nilai. Satu per satu terbunuh dengan sia-sia....Wajah Kepulauan Maluku porak-poranda, karut-marut tak terbentuk lagi. Agaknya ini pula yang menggugah nurani umat Islam untuk memberikan bantuan kepada saudaranya di Maluku.”
Contoh di atas adalah perilaku pers dengan kata-kata yang ditulis dan bisa menimbulkan keresahan, pemicu konflik, sampai ikut menghancurkan sistem nilai dan moral masyarakat. Pers ikut menentukan arah, ke mana masyarakat dan bangsa ini akan dibawa di masa datang. Hal demikian perlu diperhatikan pers sebelum kambing hitam selalu ditimpakan kepadanya.