Penegak hukum berkacamata kuda

Akibat menyatakan pendapatnya melalui email, seorang ibu rumah tangga asal Tangerang, Prita Mulyasari, harus mendekam di Lapas Wanita Tangerang. Prita berstatus tahanan Kejaksaan Negeri Tangerang dalam kasus pencemaran nama baik terhadap RS Omni Internasional Alam Sutera, Serpong, Tangerang.

Meskipun akhirnya Prita dibebaskan dan statusnya kini tahanan kota, setelah kasus yang dialaminya membuat heboh dan menjadi isu nasional.
Terlepas dari muatan politis tersebut, berita penahanan Prita Mulyasari memang amat kontroversial mengingat sangat berkaitan dengan dunia teknologi informasi dan sejumlah kejanggalan dalam penanganan kasusnya. Dengan kejadian itu, dikhawatirkan akan mengganggu iklim demokrasi dan kebebasan berekspresi melalui Internet.
Kebebasan berpendapat merupakan ranah publik yang tidak selayaknya diberangus dan dijerat dengan hukum positif. Berpendapat adalah salah satu bagian dari hak asasi manusia. Di sisi lain, kasus ini akan memicu gelombang penolakan terhadap UU No 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) yang kelahirannya sempat memicu kontroversi.
Dari aspek penegakan hukum, kasus Prita harus menjadi pelajaran berharga sekaligus tamparan keras terhadap kinerja para penegak hukum negeri ini. Begitu kerasnya tindakan represif terhadap orang yang tak berdaya sehingga harus diperlakukan seperti penjahat ”hanya” gara-gara laporan rumah sakit dengan dakwaan pencemaran nama baik melalui Internet. Sementara terhadap pelaku kejahatan yang lebih membahayakan atau para koruptor justru sering mendapat privilese.
Seperti diketahui, Prita Mulyasari dijerat oleh jaksa penuntut umum dengan Pasal 310 dan 311 KUHP tentang pencemaran nama baik dan Pasal 27 ayat (3) UU No 11/2008 tentang ITE pasal 27 (3). Pasal 27 ayat (3) menyatakan, ”Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.” Sanksi pelanggaran pasal disebutkan pada Pasal 45 ayat (1) UU ITE adalah pidana penjara paling lama enam tahun dan atau denda paling banyak Rp 1 miliar.
Keluhan yang disampaikan Prita melalui email sebenarnya bersifat pribadi dan bahkan hanya disampaikan kepada teman-temannya lalu menyebar ke dunia maya. Dalam kasus ini, sebenarnya Prita mengirimkan opininya dalam email pribadi. Sementara email pribadi tidak dimaksudkan untuk umum.
Seandainya memang harus diminta pertanggungjawaban, seharusnya orang yang menyebarluaskannya kepada publik yang dimintai pertanggungjawaban, bukan yang menulis email pribadi.

Kacamata kuda
Karena sudah disidangkan, kasus Prita tidak dapat dihentikan begitu saja. Harapannya tinggal ada pada majelis hakim yang mengadili dengan memutus melepaskan yang bersangkutan dari tuntutan hukum. Artinya, Prita terbukti menulis email, tapi perbuatan tersebut bukan tindak pidana.
Dari sisi kinerja aparat penegak hukum kasus Prita menunjukkan kepada publik betapa sempitnya pemahaman hukum penyidik dan penuntut umum. Tampaknya hukum dan penggunaan otoritas penegak hukum hanyalah dipahami secara legalistik dogmatik sebagaimana kalimat tekstual normatif dalam pasal-pasal UU. Sehingga, hukum terpisah dengan nilai-nilai keadilan, kemanusiaan dan moralitas.
Tindakan jaksa menahan Prita, konon semata-mata karena alasan ancaman sanksi pidana enam tahun, sehingga tindakan itu telah sesuai KUHAP. Padahal penahanan itu bukan hal wajib, karena KUHAP hanya menyatakan ”dapat”, sementara urgensi penahanan dalam kasus ini sangat tidak signifikan. Di sisi lain, sebenarnya Mahkamah Agung (MA) sendiri menilai Pasal 310 KUHP tentang pencemaran nama baik sudah tidak bisa lagi digunakan pada era sekarang, karena pasal itu dibuat untuk melindungi kepentingan kolonial Belanda.
Yang lebih memprihatinkan, konon tindakan represif terhadap Prita karena jajaran jaksa di Kejaksaan Negeri (Kejari) Tangerang diduga menerima suap dari RS Omni Internasional. Bahkan Jaksa Agung Muda Pengawasan (Jamwas) Hamzah Taja membenarkan tim eksaminasi Bidang Pengawasan Kejakgung tengah mengusut dugaan suap itu (SOLOPOS, 5/6).
Dalam menjalankan tugas, sudah selayaknya para penegak hukum mulai menerapkan paradigma penegakan hukum yang progresif, sebagaimana pernah digagas oleh Satjipto Rahardjo. Tanpa penegakan hukum yang progresif maka aparat penegak hukum ibarat zombie yang menakutkan bagi rakyat kecil dan marginal. Betapa tidak, mereka hanyalah aparat berseragam yang menggunakan kacamata kuda yang hanya bisa melihat satu arah yaitu rumusan undang-undang secara tekstual normatif tanpa ada kepedulian dan sensitivitas terhadap situasi lingkungan sosial di sekitarnya.
Penegakan hukum yang progresif dibangun atas asumsi bahwa hukum dibuat bukanlah untuk hukum, tetapi hukum dibuat untuk masyarakat. Penegakan hukum progresif menempatkan keadilan dan kebenaran di atas peraturan atau undang-undang. Untuk itu, keputusan yang dibuat tidak boleh hanya atas konstruksi-konstruksi logis yang ada dalam hukum positif formal, sehingga penegak hukum hanya menjadi mulut UU (labouche de la loi). Penegak hukum yang progresif dituntut melepaskan diri dari kungkungan pola berpikir positivistik yang kaku dan tidak membumi.
Penegak hukum diharapkan mampu menangkap rasa keadilan masyarakat itu untuk ditransfer ke dalam setiap putusan yang dibuat, sehingga dapat memberikan substantial justice dan bukan hanya formal juctice. Tepatlah kata Taverne, ”Berikan saya jaksa dan hakim yang baik, maka dengan peraturan yang buruk pun saya bisa membuat putusan yang baik!”