Meniscayakan keluarga tanpa kekerasan

Kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) rupanya masih berlanjut, dari kasus Manohara Odelia Pinot sampai Cici Paramida.

Bahkan kasus yang menimpa pelantun lagu Wulan Merindu tersebut membuktikan bahwa kekerasan tidak hanya terjadi di rumah, melainkan bisa juga di jalanan. Meski, tentu saja segala sesuatunya akan melalui pembuktian di persidangan.
Hak dan kewajiban setiap warga negara adalah sama. Hal ini secara tegas diungkapkan dalam UUD 1945 bahwa; Setiap warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung tinggi hukum dan pemerintahan itu tanpa kecuali.
Pasal ini sekaligus menjustifikasi bahwa antara laki-laki dan perempuan mempunyai kedudukan yang sama di hadapan hukum. Perempuan adalah mitra sejajar bagi laki-laki, mempunyai hak, kewajiban, dan kesempatan yang sama dengan laki-laki dalam setiap lapangan kehidupan termasuk dalam rumah tangga
Kekerasan terhadap isteri dalam suatu rumah tangga, sering oleh para ahli, dianggap sebagai hidden crime. Meskipun telah memakan cukup banyak korban dari berbagai kalangan masyarakat, KDRT masih merupakan masalah sosial serius yang kurang mendapat perhatian masyarakat, karena KDRT memiliki ruang lingkup yang relatif tertutup (pribadi) dan terjaga privasinya karena persoalannya terjadi dalam rumah tangga (keluarga), KDRT sering dianggap wajar karena adanya keyakinan bahwa memperlakukan isteri sekehendak suami adalah hak suami sebagai pemimpin dan kepala dalam rumah tangga dan KDRT terjadi dalam lembaga yang legal yaitu perkawinan.
Secara ringkas, pengertian KDRT sebagaimana tertuang dalam rumusan Pasal 1 Deklarasi Penghapusan Tindakan Kekerasan terhadap Perempuan (isteri) PBB dapat disarikan sebagai setiap tindakan berdasarkan jenis kelamin yang berakibat kesengsaraan atau penderitaan perempuan secara fisik, seksual, atau psikologis, termasuk ancaman tindakan tertentu, pemaksaan atau perampasan secara sewenang-wenang baik yang terjadi di depan umum atau dalam kehidupan pribadi (keluarga).
Dalam konteks Indonesia, kondisi dari budaya yang timpang sebagaimana disebutkan di atas telah menyebabkan hukum, dan sistem hukum (materiil hukum, aparat hukum, budaya hukum) yang ada kurang responsif dalam melindungi kepentingan perempuan.
KUHAP sangat minim membicarakan hak dan kewajiban isteri sebagai korban, ia hanya diposisikan sebagai saksi pelapor atau saksi korban. Begitu pula yang tercantum dalam UU No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Pasal 31 ayat (3): “Suami adalah kepala rumah tangga dan isteri adalah ibu rumah tangga.”
Meski demikian, KUHP juga memuat peluang isteri untuk mendapat keadilan. Kekerasan dan penganiayaan terhadap isteri dalam KUHP merupakan tindak pidana yang sanksinya lebih besar sepertiga dari tindak pidana penganiayaan biasa atau dilakukan oleh dan terhadap orang lain, sebagaimana diterangkan dalam Pasal 351-355 KUHP.
Pernyataan dalam KUHP tersebut dipertegas lagi dengan keluarnya UU No 23 Tahun 2004 tentang KDRT pada tanggal 22 September 2004 yang merupakan hasil kerja cukup panjang dari berbagai elemen bangsa, baik dari pemerintah, parlemen, dan tentu saja masyarakat luas yang dalam hal ini diwakili oleh lembaga-lembaga yang mempunyai perhatian serius terhadap penyelesaian kekerasan dalam rumah tangga dan pembangunan hukum yang adil bagi seluruh lapisan masyarakat.
Kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga, terutama terhadap isteri, merupakan fenomena gunung es, yang hanya kelihatan puncaknya sedikit tetapi tidak menunjukkan fakta yang valid sebagai akibat masih kuatnya anggapan bahwa masalah suami-isteri adalah urusan internal dalam sebuah keluarga.
Penerapan UU KDRT di lapangan pun menghadapi berbagai kendala dan reaksi dari pelaku KDRT. Pertama, ditemukan bahwa aparat penegak hukum memiliki pemahaman yang beragam tentang kekerasan dalam rumah tangga. Ada aparat hukum menganggap kekerasan fisik berat jika korban tidak dapat menjalankan aktivitas rutinnya, sehingga korban yang masih dapat beraktivitas secara rutin dianggap sebagai kekerasan fisik ringan.
Kedua, aparat penegak hukum kesulitan menerapkan ketentuan UU KDRT tentang perlindungan sementara dan penetapan perlindungan. Tidak adanya acuan atau petunjuk teknis pelaksanaan menjadi alasan mengapa perlindungan sementara belum ditempuh.
Ketiga, adanya status perkawinan yang hanya dilaksanakan di gereja atau secara adat dan tidak tercatat di kantor catatan sipil atau KUA seperti yang terjadi di berbagai daerah seperti di Medan, Semarang dan Yogyakarta. Hal ini menyulitkan penindaklanjutan proses hukum KDRT.
Keempat, kesulitan pembuktian kasus KDRT. Sulitnya pembuktian kekerasan pada perempuan adalah sekitar 70% perbuatan kekerasan dilakukan oleh orang terdekat. Tempat kejadiannya pun membuat sulit orang lain ikut campur seperti rumah, sekolah dan tempat-tempat pribadi.
Melihat pentingnya penghapusan KDRT, maka pemerintah dan masyarakat harus bekerja sama dalam mewujudkan kehidupan rumah tanggga tanpa kekerasan. Berbagai upaya masih harus diperhatikan dan dilakukan pemerintah dengan berkolaborasi dengan masyarakat peduli KDRT.
Perlu adanya kesamaan persepsi tentang kekerasan fisik entah berat atau ringan di kalangan aparat penegak hukum, diadakannya kerangka acuan atau petunjuk teknis tentang pelaksanaan perlindungan sementara dan penetapan perlindungan bagi KDRT, pentingnya sosialisasi pencatatan perkawinan entah di kantor catatan sipil atau KUA. Dengan demikian proses hukum dan perlindungan korban kekerasan makin dipermudah dan pentingya kampanye keluarga bahagia hidup tanpa kekerasan. Kampanye ini selain berlaku di tengah publik, para pemuka agama diharapkan menyuarakan hidup keluarga menjadi bahagia tanpa kekerasan. Hidup keluarga tanpa kekerasan merupakan nilai-nilai yang pasti diajarkan oleh semua agama.
UU KDRT harus lebih disosialisasikan dan diterapkan para penegak hukum, bahkan melalui pendekatan teori hukum kritis. Masyarakat luas semakin sadar bahwa KDRT bukan lagi melulu ranah pribadi tetapi sudah menjadi ranah publik KDRT sudah disikapi masyarakat sebagai isu global dan pelanggaran hak asasi manusia.
Kita mensyukuri atas upaya negara dalam mewujudkan hidup keluarga tanpa kekerasan. Namun masih banyak tugas dan tanggung jawab baik pemerintah maupun publik dalam mewujudkan cita-cita bersama dan publik yaitu hidup keluarga tanpa kekerasan. Inilah tanggung jawab kita bersama. Mari kita bertanggung jawab dan peduli pada kehidupan keluarga tanpa kekerasan di rumah dan di sekitar kita. - Oleh : Wahyudo Tora Hananto SH MH Praktisi hukum