Me-Neoliberalisasi-kan Jilbab

Neoliberalisme sebagai sebuah isme telah menyusup ke semua aspek kehidupan kita, tanpa kita sadari dan bahkan tanpa sempat kita memikirkannya. Tentu saja, penerapan filsafat transaksi ekonomi dalam semua relasi sosial dari gagasan neoliberalisme ini memiliki implikasi dan dampak yang sangat jauh dan mendalam dibidang ekonomi-politik dan keadilan sosial dalam tata kemasyarakatan.

Praktek neoliberalisme tak sekedar terbatas pada tataran sektor ekonomi, keuangan, perdagangan, industri, pertambangan, energi, dan migas saja. Sektor pertanian, pangan, kesehatan, pendidikan, sumber daya air, dan sektor-sektor publik lainnya pun sudah mulai dirambahnya.

Bahkan saat ini sudah merambah pula ke sektor politik. Politik pun menjadi mengikuti model ekonomi yang hanya mendasarkan analisa politik menjadi sekedar analisa tentang biaya dan manfaat dari suatu transaksi ekonomi semata.

Begitulah hakikat neoliberalisme, tidak ada satupun di ranah kehidupan masyarakat yang tidak bisa dijadikan komoditas ekonomi belaka. Bahkan fungsi relasi sosial kemasyarakatan yang sejatinya merupakan nilai dasar manusia bisa direduksi sedemikian rupa. Sehingga tidak lebih dari urusan demand and supply belaka dan diperlakukan seperti komoditas biasa yang bisa diperjualbelikan.

Suka atau tak suka, setuju atau tak setuju, kita telah terhisap masuk kedalam sebuah tatanan dunia yang baru. Seolah-olah tak ada lagi pilihan kebijakan lainnya, hanya ada satu pilihan saja yaitu neoliberalisme.

Berkenaan dengan penerapan neoliberalisme di tatanan politik, ada yang menuliskan dengan amat menarik. Miftah Sabri Mangkudun menuliskan sebuah pendapatnya dengan diberinya judul ‘Neoliberalisme Kerudung ala PKS’. Pendapatnya tersebut dipostingkan olehnya di tempointeraktif.com, isi tulisannya tersebut adalah sebagai berikut :

Neoliberalisme bertujuan untuk mengembalikan kepercayaan kepada pasar. Fondasi utamanya adalah kebebasan seluas-luasnya sehingga menciptakan keadaan di mana kehidupan publik tunduk pada logika pasar.

Tidak ada ranah kehidupan yang tidak bisa dijadikan komoditas. Semua bisa diperjualbelikan. Fungsi sosial masyarakat yang merupakan nilai dasar manusia direduksi sedemikian rupa sehingga tidak lebih dari komoditas ekonomi belaka.

Pada kondisi seperti inilah politik tidak lagi memiliki makna. Politik seharusnya merupakan keputusan-keputusan yang menawarkan nilai-nilai. Sedangkan dalam konsep neoliberalisme, hanya satu cara rasional untuk mengukur nilai, yaitu pasar.

Polemik seputar masalah neoliberalisme pada hari-hari belakangan ini masih berkutat pada masalah kebijakan ekonomi. Masyarakat terjebak pada perdebatan yang mengawang-awang. Kita pun berpikir seolah-olah tidak terjebak dalam neoliberalisme.

Pendakwa dan terdakwa dalam polemik menahbiskan diri sebagai bukan bagian dari neoliberalisme. Sehingga pada titik tertentu perdebatan ini berujung pada pencitraan diri yang berlebihan.

Tapi apakah benar kita belum terjebak dalam neoliberalisme ?.

Apakah kita belum mereduksi nilai sosial kemasyarakatan sekaligus masih mengejawantahkan fungsi politik yang hakiki ?.

Sebelum pertanyaan-pertanyaan ini menjadi polemik jilid kedua dari neoliberalisme, Mahfudz Sidik, salah seorang Ketua DPP Partai Keadilan Sejahtera, telah menjawabnya. Sebagaimana diberitakan dalam situs mediaindonesia.com (Selasa, 26 Mei 2009).

Mahfudz memberi pernyataan, “…sentimen semacam ini (mengenakan kerudung) akan dimanfaatkan oleh kandidat lainnya. Memang (penampilan) istri JK dan Wiranto bagus. Kalau Ibu Ani dan istri Boediono memakai kerudung akan memunculkan efek positif bagi publik terhadap dukungannya untuk SBY-Boediono.”

Selanjutnya, masih mengutip portal berita yang sama, Mahfudz menyatakan, jika saran memakai kerudung dilaksanakan, PKS akan lebih mudah mengarahkan kader dan simpatisannya agar memilih SBY-Boediono. Dalam media yang sama, hal ini didukung oleh Ketua DPP PPP Lukman Hakim Syaifudin.

Dalam iklim demokrasi kita yang sangat menjunjung tinggi kebebasan ini, bahasa politik semakin gampang dicerna. Ini bukan lantaran pesan-pesan politik semakin mengakar dengan permasalahan masyarakat, melainkan disebabkan oleh penyederhanaan politik itu sendiri.

Mengenakan kerudung yang merupakan sebuah nilai spiritual, yang dalam kaidah Islam arus utama wajib hukumnya bagi setiap wanita, telah direduksi oleh Mahfudz Sidik sekadar menjadi sentimen.

Sehingga seolah-olah kerudung yang dikenakan oleh istri Jusuf Kalla dan Wiranto hanya katalisator untuk meningkatkan sentimen positif pasar (pemilih) terhadap pasangan JK-Wiranto.

Memperdagangkan kerudung sebagai sebuah ‘barang’ tentu tidak salah, banyak rakyat kita yang hidup dari usaha itu.

Tapi memperdagangkan “nilai” memakai kerudung sebagai sebuah komoditas politik bukan hanya mereduksi nilai spiritual agama, tapi juga secara tidak langsung mempertanyakan otoritas hukum agama.

Bukankah pernyataan di atas itu juga seolah-olah mempertanyakan otentifikasi pemakaian kerudung oleh istri JK dan Wiranto; apakah karena Allah atau sekadar untuk menciptakan sentimen positif ?. Saya tidak seberani Sidik menjawab pertanyaan itu.

Bila Ibu Ani dan Ibu Herawati mengenakan kerudung, Mahfudz menyatakan akan lebih mudah mengarahkan kader dan simpatisan PKS.

Kerudung, yang pada konsepnya merupakan wujud ketundukan kepada Yang Maha Kuasa, dalam politik kita saat ini tunduk pada kehendak pasar.

Penutup aurat itu adalah sentimen yang bisa dimainkan di tengah-tengah pemilih yang dalam asumsi para politikus kita lebih mementingkan simbol daripada nilai.

Kader dan simpatisan PKS pun berubah menjadi angka statistik di mana aspirasinya tecermin dalam kurva-kurva yang akan bereaksi terhadap sentimen simbol-simbol keagamaan, seperti kerudung.

Bila nilai memakai kerudung saja bisa direduksi sedemikian rupa menjadi sentimen, kita bisa mempertanyakan simbol-simbol agama yang menjadi platform partai-partai Islam, seperti PKS dan PPP.

Maka semakin kuat saja kecurigaan bahwa simbol-simbol agama yang selama ini diusung tidak lebih dari bentuk neoliberalisme politik, reduksi nilai menjadi komoditas untuk meningkatkan jumlah kursi dan menaikkan tawaran politik.

Pada saat nilai-nilai telah direduksi menjadi sentimen, kepemimpinan menjadi komoditas dan rakyat cuma dianggap sebagai pasar, maka kita tidak lagi perlu berdebat tentang apakah neoliberalisme itu telah hadir di Indonesia ini.

Kita tidak bisa lagi mensimplifikasi polemik seputar neoliberalisme sekadar masalah kebijakan ekonomi. Sebab, yang menakutkan dari neoliberalisme bukanlah pasar bebas yang akan terus memperlebar jurang antara orang yang berpunya dan yang tidak, melainkan pada saat politik tidak lagi mampu memberi keputusan-keputusan yang menghasilkan nilai-nilai. Politik menjadi parade kepalsuan, nilai menjadi sentimen, kepemimpinan jadi komoditas, rakyat jadi pasar, dan tentu saja semua kepalsuan butuh konsep pencitraan diri yang sempurna.

Para kandidat bisa menghabiskan berhari-hari waktunya untuk memoles diri, sedikit hari yang tersisa digunakan untuk menyambangi konstituen.

Kita perlu berterima kasih kepada Mahfudz Sidik dan PKS, yang lewat pernyataannya memberi kita gambaran tentang neoliberalisme politik yang tengah menggurita.

Pernyataan ini memberi terang kepada kita tentang anomali politik yang terjadi belakangan ini.

Kerudung untuk Ibu Ani dan Ibu Herawati, demikianlah cara PKS menerapkan neoliberalisme politik di Indonesia.
Allahu a’lamu bish-shawab.