Malu

Dalam sebuah riwayat, Rasulullah SAW memberi nasihat kepada para sahabat dengan ungkapan, ”Sesungguhnya Allah Azza wa jalla, apabila ingin membinasakan seorang hamba, Dia akan mencabut dari dirinya rasa malu.

Apabila sudah dicabut dari dirinya rasa malu, maka engkau tidak mendapatkannya kecuali sebagai seorang pembenci lagi dibenci. Apabila engkau tidak mendapatkannya kecuali sebagai seorang pembenci lagi dibenci, maka akan dicabut dari dirinya amanah. Apabila dicabut dari dirinya amanah, maka engkau tidak akan mendapatkannya kecuali sebagai seorang pengkhianat lagi dikhianati. Apabila engkau tidak mendapatkannya kecuali sebagai seorang pengkhianat lagi dikhianati, maka akan dicabut dari dirinya rahmah.
Apabila dicabut dari dirinya rahmah maka engkau tidak mendapatkannya kecuali sebagai orang yang terkutuk lagi mengutuk. Apabila engkau tidak mendapatkannya kecuali sebagai orang yang terkutuk lagi mengutuk, maka akan dicabut dari dirinya Islam”.
Lalu dalam sebuah kesempatan, Nabi bersabda, ”Malulah kalian kepada Allah dengan sebenar-benarnya!
Nasihat Rasulullah SAW kepada para sahabat itu pada hakikatnya juga kepada kita, bahwa kita harus memiliki rasa malu. Hendaknya kita menjaga lidah, menjaga mata, menjaga telinga dan menjaga akal pikiran dari hal-hal yang dilarang oleh Allah SWT. Kita harus memelihara perut kita dengan menghindarkan diri dari makanan dan minuman yang haram, baik haram karena jenisnya maupun cara memperolehnya. Kita juga harus menjaga diri dari dorongan nafsu serakah, kita seharusnya malu jika diri ini melanggarnya.
Dewasa ini, budaya malu kurang mendapat perhatian orang. Orang tenang-tenang saja walau melanggar hukum-hukum Allah. Malu (al-hayaa’) dalam pandangan Islam adalah sifat atau perasaan yang menimbulkan keengganan melakukan sesuatu yang rendah atau tidak baik. Orang rasa malu apabila melihat apalagi melakukan sesuatu yang tidak baik, tidak patut dan rendah. Sebaliknya kalau orang sudah tidak merasa malu maka akan menganggap hal-hal terlarang itu sebagai sesuatu yang lumrah. Rasa malu adalah sumber utama kebaikan dan unsur kemuliaan dalam setiap pekerjaan. Dalam sebuah hadis, Rasulullah SAW bersabda, ”Kekejian itu membuat segala sesuatu menjadi jelek, sebaliknya malu itu selalu membuat segala sesuatu menjadi bagus.”
Bahkan dalam sebuah kesempatan, Rasulullah SAW menerangkan kepada para sahabat tentang sifat malu, ”Andaikata malu itu digambarkan sebagai manusia, dia akan tampil sebagai seorang yang saleh, sebaliknya sifat keji itu digambarkan sebagai manusia, maka dia akan tampil sebagai orang yang jahat.”
Rasa malu dan iman itu sebenarnya berpadu menjadi satu, bilamana lenyap salah satunya, hilang pulalah yang lainnya. Rasa malu berfungsi sebagai pengontrol dan pengendali seseorang dari segala sikap dan perbuatan yang dilarang oleh agama. Tanpa kontrol, seseorang akan merasa bebas melakukan apa saja yang diinginkannya meski melanggar hukum.
Dalam kehidupan sehari-hari banyak kita jumpai kebenaran makna pesan Rasulullah SAW di atas. Betapa banyak orang melanggar hukum tanpa rasa rikuh sedikit pun. Pedagang tidak malu-malu membohongi konsumen, pegawai tidak malu-malu meminta pelicin kepada masyarakat yang sedang membutuhkan jasanya, pelajar tidak malu-malu menyontek ujian, pemuda tidak malu-malu berduaan dengan gadis yang bukan mahramnya, suami tidak malu-malu membohongi isterinya, pejabat tidak malu-malu menyalahgunakan jabatannya. Muncul pertanyaan apakah orang yang tidak punya rasa malu mendapatkan peluang untuk menikmati kehidupan wajar? Jawabnya tentu tidak, kecuali di masyarakat yang juga sudah kehilangan rasa malu.
Semoga dalam kondisi bangsa yang semakin kurang menentu ini kita semua mau introspeksi, jangan-jangan kondisi ini dipicu oleh hilangnya rasa malu dari bangsa kita. - Oleh : Drs H Teguh MPd Wakil Ketua PD Muhammadiyah Solo