KDRT kerdilkan peran Pencipta

Beberapa hari terakhir, kita disuguhi fakta sosial yang cukup mencengangkan. Yaitu tindak kekerasan yang dilakukan oleh Tengku Fachry, putera Raja Kelantan, Malaysia, kepada isterinya, Manohara Pinot.

Beberapa bukti kekerasan berupa sayatan benda tajam, suntikan dan bekas pemukulan dibuka di muka publik oleh pengacara Mano. Selang beberapa waktu, giliran penyanyi Cici Paramida, ditabrak menggunakan mobil suaminya sendiri. Cici mengalami luka di pelipis sebelah kanan karena peristiwa itu. Lalu seorang jaksa senior dilaporkan menganiaya dua isteri dan seorang anaknya.
Pertanyaan yang muncul kemudian adalah mengapa tindak kekerasan yang dilakukan oleh suami kepada isteri begitu marak. Apakah ini ada hubungannya dengan konsepsi keagamaan yang dipeluk seseorang.
Menurut Komisi Nasional Perlindungan Perempuan, hingga Desember 2008, kekerasan terhadap perempuan mencapai lebih dari 48.000 kasus. Sedangkan yang dilaporkan oleh isteri hanya sekitar 6.600 kasus.
Menurut data Poltabes Solo, hingga November 2008, setidaknya sudah ada 101 kekerasan terhadap perempuan dan anak. 62 kasus di antaranya adalah kekerasan dalam rumah tangga. Sementara pada 2007, mencapai 80 kasus.
Peran penciptaan
Kekerasan terhadap perempuan dengan alasan perempuan merupakan kanca wingking dan ia makhluk lemah hanya akan mengerdilkan peran penciptaan Tuhan. Artinya, Tuhan tentunya menciptakan makhluknya dengan kelebihan dan kekurangan. Manusia diciptakan oleh Tuhan dengan jenis kelamin laki-laki dan perempuan pada dasarnya adalah untuk saling melengkapi dan meneruskan garis keturunan, bukan untuk saling menyakiti.
Manusia juga tidak boleh superior terhadap manusia lain. Laki-laki tidak boleh superior terhadap perempuan atau sebaliknya. Perempuan maupun laki-laki juga tidak boleh merasa inferior karena keterbatasan dan kekurangannya.
Lebih dari itu, dalam khasanah keilmuan Islam misalnya, Tuhan tidak membedakan antara laki-laki dan perempuan, yang menjadikan berbeda di hadapan Tuhan adalah kualitas takwanya (QS al-Hujrat/49:13). Secara religius maupun sosial, laki-laki dan perempuan menurut Alquran memiliki kesamaan penuh (QS Ali Imran/4: 124). Dengan demikian, tidak ada alasan untuk mengerdilkan peran perempuan baik di wilayah domestik maupun publik.

Dapat dicegah
Tindak kekerasan terhadap perempuan pada dasarnya dapat dicegah atau ditanggulangi dengan beberapa hal. Pertama, dari intern kehidupan rumah tangga. Yaitu adanya kesepakatan atau kesepahaman bersama antara laki-laki dan perempuan bahwa mereka adalah makhluk Tuhan yang berdaulat. Artinya, kelebihan dan kekurangan antara keduanya harus dapat saling ditutupi dan didayagunakan. Laki-laki dapat melakukan pekerjaannya sebagai pemimpin rumah tangga yang baik. Perempuan pun juga harus dapat mengelola rumah tangga dengan baik, mendidik anak-anak dengan baik dan membantu urusan suami lainnya.
Akan tetapi, keadaan ini tidak selamanya mutlak dan saklek. Perempuan pada dasarnya dapat menjadi “pemimpin” rumah tangga dan laki-laki dapat menjadi manajer rumah tangga yang baik. Hal tersebut dilakukan atas dasar kesepakatan bersama.
Kedua, kesadaran dan keberanian perempuan untuk melapor ke polisi. Karena kasus kekerasan terhadap perempuan bukanlah aib keluarga, melainkan masalah pidana.
Ketiga, dari pihak ekstern, yaitu peran serta tokoh masyarakat dan penegak hukum. Tokoh masyarakat sebagai panutan atau pamong sudah saatnya mewartakan kebenaran tentang relasi laki-laki dan perempuan. Pandangan miring tentang perempuan yang tidak berdaya sudah saatnya dipulihkan dengan memberikan peran aktif perempuan dalam masyarakat.
Perempuan adalah manusia mandiri dan independen. Ia ada bukan karena adanya makhluk lain (laki-laki). Ia ada sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan laki-laki. Lebih dari itu, membenarkan kekerasan terhadap perempuan dengan dalil-dalil agama merupakan bentuk pelecehan terhadap agamanya sendiri.
Penegak hukum pun demikian. Dengan diundangkannya UU No 9/2005 tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), pihak-pihak yang melakukan kekerasan sudah saatnya dihukum. Hal ini bisa menimbulkan efek jera bagi orang lain agar tidak melakukan tindak kekerasan.
Keberanian penegak hukum ini perlu didukung oleh keberanian perempuan sebagai korban tindak kekerasan untuk melaporkannya kepada pihak yang berwenang. Dengan demikian, akan terjadi sinergi antara pelapor dan penegak hukum.
Tindak kekerasan terhadap perempuan dapat kita cegah dengan menciptakan hubungan perempuan dan laki-laki secara baik, tanpa harus saling merendahkan satu dan lainnya.
Perempuan adalah makhluk mandiri dan independen. Ia ada bukan sebagai pelengkap semata. Lebih dari itu, perempuan adalah sebagai bagian yang tak terpisahkan dari kelangsungan hidup manusia di muka bumi. - Oleh : Benni Setiawan Mahasiswa Program Pascasarjana UIN Kalijaga. Solopos, Jum'at, 19 Juni 2009