Kasus Prita, kafilah itu (sejenak) berhenti

Nama Prita Mulyasari mungkin takkan pernah menasional apabila tidak mengalami peristiwa yang menyedihkan ini. Ibu dua anak yang masih kecil ini dijemput dari rumahnya oleh pihak Kejaksaan Negeri Tangerang pada 13 Mei lalu dan dimasukkan ke tahanan.

“Dosa” yang dituduhkan kepadanya adalah pencemaran nama baik sebuah rumah sakit internasional karena Prita mengirimkan email berupa sharing pengalaman pribadinya yang mendapat pelayanan kurang baik dari RS itu.
Email pribadi yang semula hanya dikirimkan kepada beberapa teman itu kemudian tersebar dari satu milis ke milis yang lain sehingga cukup banyak anggota komunitas dunia maya yang membaca kisahnya. Setelah pihak RS melaporkan Prita, pihak berwajib menggunakan pasal pencemaran nama baik KUHP dan UU No 11/20008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) untuk menjeratnya.
Penahanan Prita mendapat reaksi yang sangat panas dari publik—terutama anggota komunitas dunia maya, yang kemudian diamplifikasi oleh media konvensional, baik cetak maupun elektronik. Nada yang disuarakan seragam: Prita diperlakukan dengan sangat tidak adil.
Sebenarnya, Prita bukanlah orang pertama yang dipidanakan karena menyatakan opininya melalui media massa. Khoe Seng Seng, pada 4 Juni lalu menghadapi sidang tuntutan di Pengadilan Negeri Jakarta Timur. Khoe dikenai pasal-pasal pencemaran nama baik terkait surat pembacanya pada 26 September 2006 di Harian Kompas dan pada 21 November 2006 di Suara Pembaruan tentang status bangunan di ITC Mangga Dua yang dikelola oleh PT Duta Pertiwi, sebuah perusahaan properti. Khoe dituntut dengan kurungan penjara setahun penjara dengan masa percobaan dua tahun.
Setahun sebelumnya, tepatnya 6 Mei 2008, Khoe sudah dinyatakan bersalah secara perdata untuk kasus yang sama oleh Pengadilan Negeri Jakarta Utara. Majelis hakim menjatuhkan hukuman kepada Khoe berupa denda Rp 1 miliar tapi melalui LBH Pers, Khoe menyatakan banding terhadap putusan itu. Nasib yang sama juga dialami oleh Pan Esther. Ia dinyatakan bersalah telah mencemarkan nama baik PT Duta Pertiwi, karena mengirim perasaan tidak puasnya melalui surat pembaca beberapa media. Esther dihukum dengan kewajiban membayar ganti rugi senilai Rp 1 miliar.
Baik Khoe maupun Esther diseret ke pengadilan oleh perusahaan properti yang sama. Dan, mungkin nasib mereka yang lagi apes, mereka berdua diadili di pengadilan negeri yang sama dan oleh majelis hakim yang sama pula.
Syukurlah, pepatah ”Anjing menggonggong, kafilah berlalu” tidak berlaku dalam kasus Prita. Kejaksaan akhirnya mengubah statusnya menjadi tahanan kota setelah ada tekanan publik. Lebih jauh lagi, Kejaksaan Agung mengeluarkan instruksi untuk memeriksa jaksa yang menjebloskan Prita ke tahanan. Tidak bisa dipungkiri, bahwa peran media massa—baik konvensional maupun alternatif (kebanyakan melalui internet)—memiliki andil yang cukup besar sebagai kelompok penekan bagi peninjauan kembali kasus Prita ini.

Penjaga demokrasi
Dalam tradisi studi komunikasi massa, selain mengumpulkan dan menyebarkan informasi, media massa memiliki fungsi kontrol sosial. Dalam menjalankan fungsi kontrol ini, media massa sering diibaratkan sebagai watchdog (anjing penjaga) demokrasi; di mana melalui laporan peristiwa dan opininya, media massa memberikan warning (peringatan) kepada publik mengenai something wrong (sesuatu yang salah) yang sedang terjadi di dalam masyarakat.
Media massa (konvensional) sendiri tidak memiliki otoritas untuk melakukan penindakan karena itu wewenang lembaga lain. Yang dilakukan oleh media massa adalah mengungkap fakta-fakta yang ada dalam rangka membangunkan publik (termasuk lembaga dan pejabat publik) yang bisa jadi sedang dininabobokan oleh kondisi yang mapan.
Dalam teori Agenda Setting, ketika media massa mengangkat isu-isu tertentu baik melalui pemberitaan maupun tulisan opini, ia sedang membangun apa yang disebut sebagai agenda media. Lebih lanjut teori ini mengatakan bahwa agenda media pada gilirannya akan menjadi agenda publik—di mana isu-isu yang semula “hanya” dilansir oleh media massa kemudian menjadi bahan diskusi publik.
Memang media massa mungkin tidak lagi memiliki kekuatan kuat untuk mempengaruhi pikiran (pendapat) publik mengenai suatu isu. Namun, ia masih memiliki kekuatan cukup besar untuk mempengaruhi publik mengenai isu apa yang penting untuk dipikirkan. Salah satu ungkapan yang sangat dikenal dalam teori Agenda Setting adalah the media aren’t always successful at telling us what to think, but they are quite successful at telling us what to think about (Media tidak selalu berhasil mengarahkan kita untuk berpikir tapi cukup berhasil untuk mengarahkan kita berpikir tentang apa).

Menjaga momentum
Hal yang kemudian harus diwaspadai adalah bagaimana menjaga agar momentum yang telah diperoleh itu tidak menjadi lemah dan akhirnya hilang. Publik yang berkepentingan dengan kasus Prita (dan kasus ketidakadilan yang lain) harus menyadari bahwa media massa memiliki attention span (rentang perhatian) yang pendek atas satu isu. Agenda media akan cepat sekali berubah seiring dengan perkembangan peristiwa yang terjadi di masyarakat.
Hal kedua, isu yang menjadi agenda media sepatutnya terus dijaga agar tetap terfokus kepada masalah penegakan keadilan dan rasa keadilan. Jangan sampai liputan maupun ulasan oleh media massa hanya berkutat pada eksploitasi sisi dramatik yang mengaduk-aduk emosi dari kasus-kasus semacam Prita—lalu melewatkan isu yang lebih penting tentang penegakan kebenaran dan keadilan.
Apabila kepentingan untuk menegakkan keadilan memang dipandang sebagai sebuah keharusan, publik harus memiliki komitmen untuk terus-menerus mengawal agar kasus ini terus menjadi agenda media. Ini merupakan perjuangan jangka panjang, mirip lomba lari maraton. Boleh jadi saat ini, kasus Prita sedang menjadi hot commodity bagi media massa maupun para Capres yang sedang berkampanye.
Namun apabila tidak ada komitmen untuk menjaga momentum, dalam hitungan hari, kasus ini bisa tidak lagi mendapat tempat di dalam agenda media, dan dengan demikian secara berangsur-angsur akan hilang pula dari agenda publik.
Semestinya komitmen seperti ini tidak hanya untuk Prita, namun juga untuk semua something wrong yang tengah marak di masyarakat. Jangan biarkan anjing penjaga itu berhenti menyalak, sebab apabila itu terjadi maka mungkin saja kafilah akan diam-diam kembali berjalan dan berlalu, sehingga akhirnya lagi-lagi keadilan dipecundangi di negeri ini.