Ideologi Pancasila dan Tekanan Zaman...

Sebelas tahun reformasi, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) senantiasa dinamis, termasuk tarikan elemen-elemen tertentu yang berkeinginan eksklusif dan sektarian—tanpa memedulikan cita-cita dan tujuan bersama sebagai bangsa.

Siswono Yudhohusodo, mantan aktivis mahasiswa, pernah menuliskan realitas itu sebagai tekanan zaman yang layak dicermati bersama, karena bisa menjadi ancaman bagi rasa kebangsaan dan dasar negara, Pancasila. Manifestasinya? Pertama, kita melihat secara jelas masih adanya gerakan separatisme seperti di Maluku dan Papua.
Kedua, tak diindahkannya konsensus nasional dan adanya hidden agenda untuk mengubah NKRI menjadi entitas negara yang betul-betul lain. Ketiga, berkembangnya etnosentrisme sejalan pelaksanaan otonomi daerah, sekaligus dibarengi terjadinya desentralisasi korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Keempat, iklim demokratisasi pasca-Orde Baru dimanfaatkan kelompok tertentu untuk mengembangkan sektarianisme. Kelima, hadirnya kelompok-kelompok spesifik mempromosikan ideologi di luar Pancasila.
Realitas semacam itu ditanggapi mantan Presiden BJ Habibie, Megawati dan Presiden incumbent Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), nyaris senada, sekaligus prihatin. Mereka menegaskan Pancasila sebagai ideologi nasional dan dasar NKRI sudah final—tanpa mesti harus menyakralkan secara membabi buta. ”Pemikiran untuk mengganti Pancasila dengan ideologi dan dasar negara lain atau pun mengubah Pembukaan UUD 1945 yang merupakah ruh dan jiwa konstitusi kita, tentulah tidak akan kita berikan tempat dalam kehidupan bernegara (dan berbangsa),” tandas Presiden SBY dalam pidato kenegaraan 16 Agustus 2007 di hadapan Rapat Paripurna DPR, di Gedung DPR Jakarta.
Negeri ini, ditegaskan ulang Wapres Jusuf Kalla, memiliki sedikitnya empat pilar yang tak sepatutnya diotak-atik, jika menghendaki bangsa dan negeri ini utuh. Empat pilar utama itu adalah Pancasila, UUD 1945, NKRI dan prinsip Bhineka Tunggal Ika. “Itu semua perlu dijaga bersama-sama,” kata Habibie dalam Save Our Nation di Metro TV, belum lama ini.
Mereka perlu menegaskan ulang soal itu karena adanya “sinyal-sinyal nyalawadi” dalam euforia kebebasan di negeri ini. Apalagi, menurut mereka, peneguhan itu berlandaskan hukum—Ketetapan MPR RI No XVIII/MPR/1998 yang mencabut TAP MPR No II/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4), yang sekaligus secara tegas dan jelas menetapkan Pancasila tetap sebagai dasar negara. Pembukaan UUD 1945, yang diamanatkan ketetapan itu pula, mutlak harus dipertahankan karena memuat cita-cita, tujuan nasional, dan dasar negara (Pancasila).
Oleh karena itu, peringatan Hari Kelahiran Pancasila 1 Juni ini, seyogianya dijadikan momentum introspeksi dan retrospeksi bahwa Pancasila, itu tetap dan masih menjadi dasar negara dan bangsa Indonesia! Kami juga perlu menegaskan bahwa nilai-nilai Pancasila itu harus terus diaktualkan, sesuai dengan perkembangan zaman. Jangan khawatir kita akan terjebak seperti yang berlangsung pada zaman Orde Baru, saat ada penafsiran tunggal terhadap nilai-nilai Pancasila. Di tengah masyarakat yang kian kritis serta alam demokrasi yang sehat, hal itu tidak akan terjadi. Yang akan terjadi adalah dialog demi kebaikan kehidupan bersama.