Evolusi Muslim Demokrat

Dalam dunia imajiner Barat, Nusantara lama dikenal sebagai negeri harmonis di tengah perbedaan agama dan budaya. Unik, karena ia negara dengan jumlah penduduk muslim terbesar di dunia. Ketimbang dunia Islam-Arab yang mudah gelisah dan saling tuduh, dalam lingkungan Islam yang damai, Indonesia sungguh menenteramkan.

Kalau ditimbang secara geopolitik, muslim Indonesia tentu relatif jauh diperhitungkan. Peradaban Barat lama melihat episentrum keislaman ada di lingkaran Timur Dekat (Proche-Orient) dan Timur Tengah (Moyen-Orient), di sepanjang semenanjung Mediterania hingga wilayah Asia Tengah. Meski Islam Melayu sempat mulai dikaji pada abad XIX di Prancis dan Barat secara umum, ia meredup dan baru mulai dilirik kembali seusai Perang Dunia II. Itu pun imbas dari kepentingan Barat terhadap rumpun utama wilayah Timur Jauh (Extrême-Orient) yang kemudian merembet dari Indocina ke kepulauan Nusantara. Simpulnya, Islam-Indonesia ialah peradaban pinggiran.

Berkah corak kedamaian itu yang membikin Indonesia penting diperhatikan. Kendati di tepian, tabiat keagamaan yang sejuk hadir di garis Khatulistiwa ini. Sementara itu, sang pusat peradaban Arab-Islam terus gaduh dengan perbedaan dan perebutan kepentingan. Ini tentu sedikit melegakan. Denys Lombard pernah menulis bahwa tidak ada watak penaklukan dalam model Islam Nusantara. Alih-alih menerapkan Arabisasi, sifat kreatif-radikal yang dimiliki Nusantara mampu mengolah keislaman--selain Hindu, Buddha, dan Cina--menjadi wajah budaya yang teduh.

Maka tak mengherankan jika proyeksi peradaban muslim akan sedikit demi sedikit bergeser ke tepian, dan mengimbangi yang pusat. Fazlur Rahman pernah mengatakan hal serupa pada 1980-an. Pemikir Mesir yang hingga kini jadi eksil ke Belanda, Nasr Hamid Abu Zayd, bahkan pernah bercita-cita ingin mengakhiri sisa hidupnya di musim panen Islam demokratis: Indonesia. Tapi haruskah bergantung di atas impian? Dan benarkah model Islam moderat selalu menjadi realitas? Atau bahkan mitos?

*Fase radikal*

Andrée Feillard dan Rémy Madinier dalam /La Fin de l'Innocence/ (2006) menelaah hal menarik. Kini, menurut mereka, musim semi wajah radikal sedang berkembang. Dua hal yang gampang dibaca dari fenomena Islam radikal sejak akhir Orde Baru hingga sekarang ialah penyederhanaan ideologis dan manipulasi politik. Ia kemudian berkembang menjadi Islam politik dengan pengkaderan yang terorganisasi yang bertumbuh melalui pengajaran praktis doktrin negara dan agama. Sekaligus bisa memanfaatkan wahana kekuasaan untuk merebut pengaruh. Urutannya, setelah tiga kali
pemilu pasca-Reformasi kini, ada yang masih bertahan dalam gerakan radikal, namun ada pula yang kemudian mengubah diri menjadi Islam politik yang mengikuti trayek demokratisasi.

Fenomena yang mengarah ke /succomber à la tentation radicale/ (menyerah kepada godaan radikal) lalu penting diwaspadai. Tak lalu wujud radikal harus terus mengapung di atas negara kepulauan ini. Fase radikal ini memang tak mudah dilemaskan. Salah satu unsur yang bisa menjelaskan ialah arus hilir-mudik jaringan kafilah Islam radikal dari Timur Tengah ke Indonesia (/Joining the Caravan/, Bubalo & Fealy 2007).

Globalisasi dimanfaatkan betul untuk menyebarkan benih-benih kekerasan secara lintas-batas. Kalangan muslim radikal sering kali membenarkan gagasan "benturan antarperadaban" yang ditelan mentah-mentah dan lalu membangun cara pembelaan diri dengan mempertebal identitas politik. Seberapa pun mereka mampu menawarkan dunia alternatif ala penafsiran Islam mereka, namun sifat ketertutupan ideologis telah menutup kemungkinan untuk mengembangkan jembatan antarperadaban. Alih-alih mematahkan ide bentrokan itu, mereka malah mendukungnya.

Implantasi gagasan dan praksis Islam radikal ke Nusantara tak pernah berakhir selama lalu lintas informasi dan komunikasi terus menjadi kuat. Beberapa letupan konflik Islam-Kristen, bom bunuh diri, dan kekerasan atas nama agama tidak bisa memungkiri hal ini. Tak bisa diprediksi kapan ia bisa berakhir. Ia bisa mati dan bertumbuh kapan saja. Muslim yang jatuh pada godaan radikal yang sesungguhnya menawarkan kesemuan itu semakin menggeser citraan wajah Islam yang damai, moderat, dan toleran. Di mata sorotan media, jumlah mereka yang kecil bisa mewakili keseluruhan. Dunia khayali tentang keislaman yang tenteram pun luruh; Indonesia sama saja dengan belahan dunia Islam lainnya.

*Berubah*

Karena itu, proyek demokratisasi yang sedang berlangsung di negeri ini bisa dijadikan momentum tepat untuk mengembalikan fitrah jalan damai. Demokratisasi dalam prakteknya bisa melemahkan tawaran Islam politik menjadi lebih luwes dan berirama dalam sistem yang sebelumnya bahkan bisa jadi diharamkan. Di dalamnya, semua pihak diperdengarkan, ikut berpartisipasi, mengemukakan gagasan, dan ikut bekerja dalam skema kebangsaan. Tentu bukan dalam pemilu yang baru lewat saja, yang terpenting ialah demokrasi mampu menegaskan jalan Islam kewargaan dan semakin menyumirkan jalan Islam kekerasan.

Eksperimentasi Islam dan demokrasi yang terus berlangsung ini menjaga harapan yang baik. Pemikir Swiss yang cucu pendiri Ikhwan al-Muslimun Hasan Al-Banna, Tariq Ramadan (2008), bilang: "/l'absence de démocratie appauvrit l'évolution de l'islam/" (ketiadaan demokrasi mengurangi perkembangan Islam). Itu bisa dibaca bahwa demokrasi merupakan ladang jihad baru yang paling menjanjikan bagi penyemaian nilai-nilai Islam
yang merahmati.

Jika kini wajah Islam politik semakin banyak berpartisipasi dalam demokratisasi, sesungguhnya tak perlu dikhawatirkan. Mereka terus membuka diri terhadap kehadiran "yang lain", dan menyadari bahwa ketertutupan adalah kematian politik. Islam politik tidak akan mengurangi kekuatan garda depan Islam Indonesia, NU dan Muhammadiyah,
dalam menyemai keadaban. Mereka adalah jemaah muslim demokrat yang sedang berjuang untuk keindonesiaan. Dalam konteks itu, mereka akan memilih apakah akan memperbarui pemahaman keagamaan mereka atau intoleran sama sekali. Dan pilihan terakhir tampak tidak cocok bertumbuh dalam ladang demokrasi.