Demokrasi Kita Mengkhawatirkan

SOEKARNO menggugat Indonesia soal nasionalisme, Hatta dengan ekonomi berdikarinya, dan Syahrir tentang filosofi ekonomi sosialisnya. Mungkin, kaum muda pada era sekarang bakal menggugat bangsa ini dengan fenomena kegagalan demokrasinya, yang sudah berada di titik meragukan. Apakah bangsa ini bisa melanjutkan revolusi demokrasi hingga di titian akhir riwayatnya atau menjadi onggokan sejarah yang terkapar di tengah-tengah labirin perebutan kekuasaan?

Jared Diamond (Viking, 2005) pernah memotret salah satu indikator negara yang demokrasinya gagal. Yakni, parpol sudah terjebak dalam orientasi puritan, memperoleh kekuasaan politik (seize political power) semata ketimbang memberikan pendidikan budaya politik masyarakat. Senada dengan itu, ketiadaan kesadaran dan kritisisme parpol dalam menyingkap persoalan social, mau tak mau, telah mengekalkan doxa (ide absolut) parpol kepada kekuasaan.

Terkait itu, Paulo Freire dengan mengutip Fransisco Weffers (2000) telah menggugat bahwa kekuasaan tanpa kesadaran kritis mengungkap tabir penindasan yang dialami rakyat merupakan pertanda kematian sebuah bangsa.

Indonesia merupakan sebuah etalase kekhawatiran yang paling telak untuk menjelaskan fenomena tersebut ketika revolusi demokrasi sejak tumbangnya Orde Baru justru menuai paradoks lanjutan. Kematian rezim Soeharto di satu sisi memberikan kepastian kepada jalan baru demokrasi. Namun, di sisi lain kapasitas untuk itu tidak tersedia, bahkan kian meretas pesimisme baru; apakah konsolidasi demokrasi yang ditempuh lewat dua kali pemilu pada era reformasi ini bisa memberikan sebuah perubahan politik?

Kekecewaan publik atas demokrasi yang dijalankan tidak secara matang memang bukan monopoli Indonesia. Negara-negara di Amerika Latin (Kolombia, Ekuador, Venezuela, Argentina) bahkan dengan politisi sayap kirinya pun mempraktikkan demokrasi yang masih amat superficial (Ellen Wood, 1996; Hollinger, 1996; Bowles & Gintis, 1987). Demokrasi yang memopulerkan keadilan, kesejahteraan, dan kesetaraan hanyalah sloganisme di siang bolong yang mengisi ruang hampa fatalisme rakyat setelah dilibas krisis sebelumnya.

Politik Tituler

Apa pun bentuk dan kekurangannya, demokrasi dalam perspektif pemilu yang sedang dijalani republik ini setidaknya diharapkan memberikan solusi bagi kedangkalan demokrasi yang menempatkan spirit dan visi bangsa sebagai kekuatan moral institusional. Hanya, sebelum itu tercapai, kita lalu sekejap dihadapkan pada musim semi pengelolaan politik-kekuasaan tituler.

Istilah itu saya gunakan untuk disandangkan di bahu elite-elite politik kita yang pintar lagi lihai memanfaatkan kata demokrasi dan kebebasan untuk membereskan kepentingan pribadinya dan kelompoknya, jauh dari langgam demokrat sejati

Bayangkan, dalam 10 tahun otonomi daerah ini, kita asyik mengisi kognisi publik dengan logika, kita tak kekurangan demokrat. Dengan desentralisasi kekuasaan, diniscayakan munculnya para elite lokal yang paham dan mampu menjelaskan otonomi politik secara nyata kepada masyarakat. Namun, nyatanya sejumlah friksilah yang dituai, baik itu dalam rupa otonomi yang kebablasan maupun makin intensifnya praktik korupsi.

Selain itu, kita menyaksikan bagaimana NKRI ini perlahan-lahan dikoyak dengan pro-konta amandemen UUD 1945 yang gagal menempatkan kepentingan dan aspirasi masyarakat sebagai dasar konstitusi. Belum lagi pemraktikan syariat khusus di daerah yang sesungguhnya mengangkangi prinsip Indonesia yang satu itu.

Pada dasarnya, demokrasi bukan saja dijadikan sebagai sesuatu yang bebas nilai, namun juga telah diterjemahkan menjadi proyek pragmatis yang bisa mematikan seluruh harapan substansial berdemokrasi di tangan para politisi tituler tersebut.

Pada kerisauan ini, kita patut menyesalkan bahwa ada yang terpenggal dan tertunggak dari pelaksanaan tahap dua revolusi demokrasi ini. Meminjam istilah Fadjroel Rachman, tahap pertama revolusi demokrasi adalah saat tumbangnya kekuatan Orde Baru dan tahap revolusi kedua merupakan momentum paling strategis dalam mengonsolidasikan politik kekuasaan ke dalam agenda dan praksis yang terinternalisasi sebagai budaya kekuasaan yang terukur. Baik dalam komitmen maupun cita-cita hingga kinerja nyata.

Sayangnya, di revolusi terakhir ini pelaksanaan demokrasi telah melewatkan koridor penting dalam institusionalisasi kepemimpinan nasional. Yakni, tidak terakomodasinya alternatif kepemimpinan dalam pemilu pasca putusan Mahkamah Konsitusi yang menetapkan parpol sebagai satu-satunya embrio organik politisi. Itu sebabnya Pemilu 2009 dan pilpres gagal menunjukkan kegengsian dramaturgis politiknya. Yakni, pemain-pemain politik merupakan hasil political laundry dari sisa-sisa elite lama yang mampu menjelmakan dirinya secara lebih apik dan populis. Termasuk diuntungkan pula oleh bentuk pencitraan politik yang lebih modern dan mekanisme survei yang ''sistematis'' (Kompas,26/5/2009).

Berikutnya, gagalnya kepemimpinan muda (main political leadership) masuk bursa pencapresan setidaknya karena dua hambatan yang didesain secara konspiratif, yakni jaringan dan finansial. Kedua hal itu terlegalisasi dalam mekanisme penentuan kriteria intern di parpol.

Maka, bisa disimpulkan, meski kita sudah berada di panggung demokrasi terbuka selama belasan tahun, karakter demokrasi kita masih menerapkan sebuah ideologi yang tertutup (closed ideology), yang gagal membuka kemungkinan dan alternatif dalam mengelola sirkulasi kepemimpinan secara bertanggung jawab. Dua hal itulah yang mendefisitkan seluruh pekerjaan demokrasi bangsa ini. (*)