Berdemokrasi Secara Elegan

Demokrasi membutuhkan kehadiran kaum demokrat sejati: yaitu orang yang paham dan memiliki kemauan untuk memegang teguh prinsip-prinsip demokrasi itu di ranah kehidupan sosio-politik bagi kepentingan bangsa. Demokrasi akan mati suri manakala kaum demokrat semakin tak tegas dalam mengembang misi demokrasi itu sendiri. Ada banyak fakta sebagai landasan argumen untuk mengatakan bahwa demokrasi dan kaum demokrat adalah dua sejoli. Tak terpisahkan.
Hingga hari ini, belum ada alternatif lain yang mengungguli prestasi dan prestise demokrasi. Atau dengan lain perkataan, sulit melihat ada model lain selain demokrasi dalam membangun tatanan kebangsaan di modern bahkan era postmodernisme seperti saat ini. Tidak ada negara di muka bumi ini menjadi hancur berkeping-keping hanya karena mempertahankan demokrasi.
Demokrasi adalah kebersahajaan. Demokrasi pengelolaan yang beretika. Frans Magnis Suseno dalam bukunya Etika Politik, mengatakan bahwa etika sangat perlu dibangun dalam dunia perpolitikan dan demokrasi kita. Menurutnya etika itu terbagi atas dua bahagian besar, yaitu etika individu dan etika sosial. Etika individu sangat mengedepankan bisikan suara hati nurani, sementara etika sosial sangat bergantung kepada kaidah-kaidah moral. Kedua hal inilah yang membaluti setiap naluri, emosi, dan pola sikap dan tingkah laku elit politik dalam menjalankan agenda-agenda politiknya.
Muncul pertanyaan, mengapa praktik demokrasi (utamanya dalam penyelenggaraan Pilkada) sering dibaluti oleh tindakan anarkhi? Mengapa para kandidat tak saling menyapa manakala pertarungan politik sudah usai? Adakah jaminan bahwa pilpres 2009 akan berlangsung dengan jujur, damai dan berkualitas?
MEMAKNAI DEMOKRASI
Pilpres 2009 akan segera kita selenggarakan. Itu amanah konstitusi sebagai buah dari pohon demokrasi kita. Pemilu adalah anak kandung demokrasi. Namun, kelihatannya kita harus banyak lagi untuk mengimbangi usia demokrasi kita. Sikap elegan layak dipertontonkan oleh mereka yang menyebut diri sebagai politisi. Elegan untuk, elegan juga untuk menerima kekalahan.
Apa yang dipertontonkan oleh Amerika Serikat merupakan contoh yang teramat berharga bagi kita semua. Amerika adalah negara dengan penduduk ragam: multietnis, multiras, multi agama, dan multi budaya. Namun, pemilihan presiden lalu terlihat sangat elegan. Prinsip siap menang dan siap kalah yang ditunjukkan oleh elit politik dan sang kandidat, patut ditiru. Kemenangan salah satu dari sekian banyak petarung adalah kemenangan bersama.
Apa yang ditunjukkan John McCain dan Sarah Palin, kandidat yang kalah, yang setelah perhitungan awal memastikan kemenangan menjadi milik Obama, dengan menggelar pernyataan sikap yang elegan. Ajakan untuk menerima kekalahan dan mendukung pemerintahan yang Obama, merupakan obat mujarab dalam menghindarkan rakyat dari sikap politik yang tak cerdas. Sikap ini menjadi bukti penghargaan atas pilihan rakyat. Padahal kampanye kemenangan dan kekalahan tidak diatur dalam konstitusi AS.
Sikap seperti itulah yang kiranya masih sangat mahal dalam pelaksanaan pemilihan kepala daerah di beberapa daerah dan agenda-agenda demokrasi kita. Alangkah indahnya bila demokrasi tercermin dari sikap legowo dan berjiwa besar. Memang, umur demokrasi di Indonesia teramat jauh dari Amerika Serikat. Namun jangan lupa, bangsa kita amat terkenal dengan budaya ketimuran yang menjunjung tinggi makna sopan santun dan nilai-nilai keberagamaan.
Bila semua masyarakat politik sadar akan praktik demokrasi adalah agenda rakyat untuk melahirkan pembaharuan bagi kehidupan bersama, maka tidak ada alasan untuk bertindak anarkhi. Bila semua kita paham betul bahwa agenda politik, termasuk pemilu dan pilkada adalah hajatan bagi setiap anak bangsa untuk memilih dan mengajukan diri menjadi pemimpin, maka tidak ada setitik pun celah bagi pertikaian.
KAIDAH-KAIDAH DEMOKRASI
Berdemokrasi dengan elegan bisa tercermin pada seberapa tangguh kita dalam memahami kaidah-kaidah demokrasi itu sendiri. Demokrasi mengisyaratkan betapa pentingnya kesadaran hukum. Oleh karena itu, demokrasi harus beriringan dengan penegakan hukum. Membangun demokrasi sekaligus juga nomokrasi.
Betul, konstitusi kita terkait dengan penyelenggaraan pemilu dan pilkada bukan suatu produk hukum yang sempurna. Namun ketidaksempurnaan itu bukanlah berarti kesempatan untuk membatalkan hasil pemilu atau pilkada. Kita menaruh hormat bagi warga negara yang mengajukan judicial review atas beberapa produk perundang-undangan yang dianggap menciderai hak konstitusinya.
Demokrasi membuka ruang bagi kompetisi calon pemimpin. Dan demokrasi bukan sesuatu yang berada di ruang hampa. Ada dalam sentuhan beragam dimensi. Misalkan nilai-nilai kultural, primordialisme, dan lain sebagainya. Maka, menjadi penting memeriksa ulang pemikiran kita dalam menempatkan nilai-nilai kultural, termasuk juga agama, dalam bangunan demokrasi kita.
Saya berprinsip, pendirian partai politik yang berusaha membawa simbol-simbol agama justru tidak membawa kebaikan pada demokrasi kita. Yang utama dan yang paling penting adalah bagaimana mendorong orang-orang yang saleh dan taat beragama masuk ke ranah politik praktis dan menjadi bahagian dari proses menjadi yang terbaik.
Kalau di Amerika Serikat dulunya isu-isu primordialisme sering dijadikan sebagai jualan politik, tetapi perlahan namun pasti mereka meninggalkan cara-cara itu. Perbedaan warna kulit tidak menjadi alasan untuk menolak kepemimpinannya. Sebab, perbedaan warna kulit dan keturunan suku bangsa sesungguhnya tidak berkaitan dengan kemampuan kepemimpinan. Rasisme tidak pula untuk diperdebatkan dan dijadikan sebagai isu politik, melainkan fakta yang harus diterima sebagai anugerah Tuhan.
Perlu dipahami bahwa pergolakan rasisme sudah lama terjadi di AS. Namun, kesadaranlah yang kemudian memangkas isu-isu yang tak produktif tersebut. AS telah membuktikan bahwa minoritas bisa menjadi presiden. Pergerakan Martin Luther King yang meneriakkan betapa rasisme di AS dan dunia, kini sudah terjawab.
Bagi bangsa Indonesia, hendaknya menerima fakta ini sebagai satu pelajaran yang cukup bermakna khususnya ketika kita selama ini sering mengedepankan isu-isu lain dalam mencari sosok pemimpin. Kita tidak berpedoman pada pengutamaan kemampuan dan kesanggupan serta kemauan seseorang dalam menjalankan fungsi kepemimpinan. Maka, tak heran ketika suksesi kepemimpinan terjadi di negeri ini, isu SARA selalu mencuat.
Isu SARA memang menjadi jualan politik yang cepat saji. Ketika isu ini ditiupkan, dapat seketika muncul reaksi dari kelompok-kelompok pendukung. Dengan demikian akan cepat tercipta friksi politik. Padahal, isu politisasi SARA tidak akan mampu membawa kebaikan apapun, selain perpecahan.
Demokrasi yang paripurna akan terwujud bila seluruh kaum demokrat bersatu dan konsisten menjalankan UU. KPU, Bawaslu, elit partai, calon legislative, calon presiden dan wakil presiden, calon kepala daerah, dan rakyat harus mempertontonkan bahwa kita mampu membangun demokrasi yang cerdas. (Penulis adalah Pengamat Politik KDAS Medan. Aktif di DPD LIRA Tobasa/c)**Oscar Siagian