Bakat Pemimpin

Peternak dan petani menghadap Nabi Daud AS. Petani mengadukan tanamannya yang pada suatu malam, habis dirusak oleh kambing-kambing milik peternak. Nabi Daud AS yang juga raja itu mendalami keterangan kedua pihak dengan cermat.

Keputusan diambil. Peternak harus menyerahkan kambing-kambing miliknya kepada petani sebagai ganti rugi. Demikian para mufasir mengangkat kisah terkait QS Al-Anbiya’: 78.
Peternak tidak puas. Ia mengadukan halnya kepada Sulaiman AS yang saat itu masih muda belia, 12 tahun. Putera Nabi Daud AS ini memberikan pendapat bandingan (dissenting opinion). Sebaiknya, peternak mengganti tanaman dengan cara menanam di ladang milik petani.
Dan kambing-kambingnya dikelola oleh petani untuk diambil manfaatnya baik susu, bulu wol, maupun anak-anak yang lahir selama tanaman pengganti belum membuahkan hasil.
Kedua pihak melapor kembali kepada Nabi Daud AS. Setelah mendapat konfirmasi Nabi Sulaiman AS, Nabi Daud AS menegaskan “Keputusan itu benar, silakan diterapkan.” Peternak dan petani puas. Semula bersaing, kemudian berseteru, dan akhirnya mereka bekerja sama. Keadilanlah yang memayungi mereka (Tafsir Al-Qurthubi, Juz 11: 274-304).
Dalam usia sangat muda, bakat memimpin sudah terlihat jelas dalam diri Sulaiman AS. Sang ayah yang seorang rasul dan raja pun rendah hati menerima pendapat bandingan. Negarawan sejati mengandalkan visi ke depan, tidak hanya pengalaman. Visi itu membuat mereka tidak terjebak pada pandangan bahwa hidup ini adalah rekaman belaka.
Pengalaman menempa kedua tokoh itu menjadi berbeda. Nabi Daud AS ditempa oleh pengalaman militer ketika menghadapi Jalut (Goliath). Pengalaman politik diperoleh saat beliau berperan menentukan dalam pemerintahan sebelumnya yang dipimpin Thalut dilanda salah urus dan kalut.
Sementara Nabi Sulaiman AS sebagai generasi baru, diperkaya oleh pengalaman saat bangsanya memacu pertumbuhan ekonomi setelah kemapanan politik diperoleh. Hukum tidak dapat diabaikan dalam masa transisi dan setelahnya. Bakat bersikap adil adalah modal penting bagi semua calon pemimpin.
Nabi Daud AS dan Nabi Sulaiman AS berangkat dari jalur bakat berbeda. Saat keduanya berperan membangun kemaslahatan rakyat ternyata bisa saling mengisi. Kita jadi mudah meyakini jaminan Allah, “Kepada masing-masing mereka telah Kami berikan hikmah dan ilmu,” (QS Al-Anbiya’: 79).
Bakat lebih mudah terlihat saat seseorang menghadapi masalah. Lari dari masalah sama dengan lari dari kesempatan menunjukkan bakat. Itu nyata dalam karier Nabi Sulaiman AS. Beliau sembilan belas orang bersaudara, tetapi tampuk kepemimpinan kerajaan diwasiatkan oleh ayahanda untuk diteruskannya (Tafsir Al-Alusi, Juz 14: 429).
Anak-anak pun berbakat memimpin, meskipun dunia mereka adalah dunia bermain. Rekaman moralitas saat bermain terbawa sampai dewasa, begitu pula pola sikap curang dan jujur. Orangtua yang baik tentu menjaga agar permainan anak-anak dapat bermuatan dan/atau direfleksikan sebagai pendidikan (Tafsir An-Naisaburi, Juz 4: 453).
Syekh ‘Athiyah Shaqr setuju dengan isi buku Tarbiyat al-Aulad fi al-Islam tentang empat jalur pemupuk bakat kepemimpinan generasi muda, yaitu melengkapi kecakapan, meningkatkan kecerdasan dan karakter, membina sejak usia dini dan memudahkan mereka berkegiatan positif. Kesamaptaan fisik dan emosi tidak terlewatkan seperti Sayidina Ali KW yang tekun berolahraga sejak belia sehingga menjadi pemuda yang cekatan dan tanggap terhadap pelbagai persoalan masyarakatnya (Fatawa al-Azhar, Mei 1997).
Nabi Sulaiman AS memupuk bakat memimpin dalam lingkup yang lebih besar. Sebagai putera mahkota, beliau tidak menyendiri, melainkan hidup bersama denyut nadi masyarakat. Dari situlah Utsman bin Shalih al-‘Amir menyimpulkan kecakapan bermasyarakat justru penting untuk menjaga naluri anak-anak dari dekadensi kepemimpinan.
Dalam pandangan Nabi Muhammad SAW, setiap orang berbakat memimpin. “Setiap diri kalian adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggung jawaban...” (HR Bukhari dan Muslim dari Abdullah bin Umar RA).