Anugerah indah telah gerah

Diperlukan waktu yang tidak singkat untuk mengajak semua orang di muka bumi ini agar bersedia turut serta aktif menjaga alam ini serta bertahap memperbaiki dan mengurangi cara-cara yang tidak terpuji dalam berhubungan dengan alam.

Jika tidak mau, tak dapat dielakkan banyak daratan bumi ini akan tenggelam akibat dampak pemanasan bumi (global warming).
Sudah menjadi hiasan musiman, kehidupan alam yang sangat indah menampakkan gambaran sebaliknya. Musim hujan menimbulkan banjir dan longsor, musim kemarau menyebabkan kekeringan dan kelaparan di banyak daerah. Lebih parah lagi, dampak yang berkembang dari kerusakan alam tersebut, ternyata tidak sedikit mempengaruhi sikap individu manusia, banyak kejadian-kejadian ikutan lainnya, seperti kecelakaan transportasi baik di darat, laut dan udara yang kian waktu semakin meningkat. Belum lagi bencana sosial semakin mewarnai kehancuran manusia. Jangan-jangan kerusakan alam juga cerminan kerusakan ”olah pikir” penghuninya.
Pertanyaannya mungkinkah bumi ini sudah terlalu jenuh dan tua atau cara berpikir kita yang telah jompo, dan ompong? Ataukah kata dongeng bapak ibu guru kita, justru karena terlalu pandai seperti kancil, tanpa sadar manusia justru menggunakannya untuk mencurangi/memecundangi sesamanya. Alam yang indah dengan sadar diubah menjadi rusak, kota yang rapi menjadi kumuh dan penuh rusuh, tidak nyaman, gersang dan rapuh. Fakta tersebut berlawanan dengan ungkapan bahwa alam ini adalah warisan untuk anak cucu.
Begitulah fakta yang kita lihat, telah banyak berubah, yang mulia menjadi hina, pemandangan hutan menjadi belukar merata di permukaan bumi, kesejukan telah menjadi gerah. Kita bertanya ke mana saudara-saudara kita yang pandai merancang penebangan hutan pergi tanpa menanamnya? Di mana saudara kita yang telah menguras tambang sampai ke perut bumi namun pergi tidak mereklamasinya? Ke mana saudara kita yang menghasilkan asap pembakaran yang sangat tinggi melalui pabrik-pabriknya, diam tanpa upaya pengurangan emisi bahkan membuang limbah ke sungai-sungai dan meracuni banyak kumpulan (habitat) makhluk hidup?
Marahnya alam ini tentu tidak serta-merta muncul tanpa sebab (alamiah) tetapi sangat mungkin (very likely) disebabkan penghuni alam ini. Tindakan sehari-hari keluaran emisi dari kendaraan bermotor, pabrik, penggunaan bahan kimia dalam kehidupan sehari-hari mengakibatkan menurunnya kualitas lingkungan dan terjadinya cuaca ekstrem.
Rangkaian masalah tadi beserta ketidakmampuan kita menyelesaikannya, menjadi salah satu bukti kegagalan membangun alam tercinta ini. Tapi, mari bertanya pernahkah ada program atau masihkah ada kemauan kita, untuk meningkatkan pendidikan yang terfokus pada pembangunan manusia Indonesia dalam arti sebenar-benarnya, yang peduli lingkungan?
Membangun manusia berarti menjadikannya makhluk sosial bermartabat, berakal budi, berpekerti baik, berhak asasi, berpengetahuan luas, cerdas dan mendapat kesempatan yang sama untuk mewujudkan kesejahteraan mereka. Sikap manusia menjadi kunci penting dalam menghadapi kerapuhan alam ini.
Sebagai sebuah anugerah, bumi menyediakan segala kebutuhan makhluk hidup melalui pemanfaat lahan oleh petani, hijaunya hutan, tata ruang lingkungan perkotaan, tata ruang lingkungan perdesaan, kelestarian udara sejuk, harus terus dipelihara keberadaannya karena sumbangan fungsi dan manfaatnya telah dan tak diragukan lagi.
Konon hutan dipergunakan oleh nenek moyang untuk menyuplai seluruh kebutuhan hidupnya, mulai dari makanan, tempat tinggal, pakaian dan obat-obatan. Pemanfaatan-pemanfaatan hutan tersebut masih juga relevan pada zaman sekarang, meskipun acap kali dilakukan secara tidak langsung. Bahkan fungsinya menjadi semakin bertambah dengan manfaat-manfaat ekologis dan konservasi seperti kesejukan, penyediaan oksigen, pelindung lapisan ozon, penyimpan air, pencegah banjir dan longsor, pemecah angin/badai (windbreak), tempat berlindung satwa dan plasma nutfah serta lain sebagainya.
Biar fungsi-fungsi itu berjalan baik, diperlukan sebuah strategi pelestarian terhadapnya yang memadai, sebagai buah penyikapan terhadap semakin terdegradasinya anugerah ini. Sehingga, anugerah yang semestinya kita rawat dengan baik dan dijaga jangan sampai menjadi gerah seperti keprihatinan saat ini terjadi.

Tak cukup komitmen
Kenapa begitu gentingnya pemanasan global menjadi bahasan penting di abad 21 ini? Pemanasan global merupakan kejadian meningkatnya temperatur rata-rata atmosfer, laut dan daratan bumi. Pemanasan Global disebabkan di antaranya oleh Greenhouse effect atau yang kita kenal dengan Efek Rumah Kaca. Efek rumah kaca disebabkan karena naiknya konsentrasi gas karbondioksida (CO2) dan gas-gas lainnya di atmosfer. Kenaikan konsentrasi gas CO2 ini disebabkan oleh kenaikan pembakaran bahan bakar minyak, batu bara dan bahan bakar organik lainnya yang melampaui kemampuan tumbuhan-tumbuhan dan laut untuk menyerapnya (mengabsorpsinya).
Semoga hati kita juga mampu diketuk oleh jiwa dan pikiran kita, mari kita mencoba merenungkan kejadian yang sering kita lihat, bahkan kita alami setiap tahunya, terjadinya serangkaian bencana banjir dalam kurun waktu yang relatif pendek dan selalu terulang setiap tahunnya menuntut upaya lebih besar untuk mengantisipasinya sehingga kerugian yang ditimbulkannya dapat diminimalkan.
Akhirnya, diperlukan kesadaran akan bumi ini. Bukankah kesadaran merupakan konsep yang kita miliki sebagai manusia dalam menghadapi realitas sosial yang terjadi di sekitarnya termasuk dampak bencana. Kemauan melakukan perbaikan tak cukup dengan meneriakkan komitmen, sebagaimana yang kita lakukan selama ini. Perbaikan harus dicerminkan melalui tindakan dan aksi nyata. Kesadaran yang dilakukan oleh manusia merupakan gerak yang berkelanjutan dalam rangka merespons realitas sosial. Kesadaran itulah yang membedakan manusia dengan makhluk lain. Dengan kesadaran itulah, manusia bergerak tanpa paksaan tetapi berdasarkan kemauan dan keinginannya.