Pendidikan Indonesia=Pendidikan Rusak-rusakan

picture-045.jpg

Judul Buku : Pendidikan Rusak-rusakan

Penulis : Darmaningtyas

Penerbit : LKiS Yogyakarta

Tahun Terbit : 2005

Jumlah Halaman : 360

Pendidikan telah kehilangan ruh, pendidikan telah kehilangan elan vital dalam melakukan transformasi sosial. Demikian penerbit buku ini memaparkan secara singkat dalam back-cover. Pendidikan telah mendapatkan stigma karena malpraktik yang dilakukan oleh penguasa dan pelaksana pendidikan di lapangan.

Bagian demi bagian dalam buku ini merupakan realitas yang selama ini terjadi dalam praktek pendidikan di Indonesia. Mulai dari proses yang terjadi pada peserta didik di sekolah, praktek mengajar guru, sampai pada aras pengambilan kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah. Gugatan demi gugatan merupakan sajian utama buku ini. Beberapa kritik tajam juga menyeruak seolah mencerminkan sebuah eforia pasca reformasi.

Sebagai seorang praktisi kebijakan, Darmaningtyas banyak menyoroti malpraktik yang dilakukan oleh penguasa negeri ini. Praktek-praktek pada aras kebijakan pendidikan yang selama ini terjadi di indonesia marak terjadi pasca bergulirnya era otonomi daerah. Dengan adanya desentralisasi dalam bidang-bidang yang telah ditentukan pemerintah, budaya koruppun tak ayal ikut terdesentralisasi pula ke daerah-daerah yang dulunnya enggan dan takut melakukan tindakan-tindakan penyelewengan.

Dalam kolusi sekarang ini, tawar menawar jabatan guru dilakukan secara terang-terangan antara calon guru dengan aparat pemerintah daerah. Entah ada koordinasi antar daerah atau tidak, yang pasti, ada semacam keseragaman tarif untuk dapat diterima menjadi seorang guru negeri. Untuk menjadi guru SD misalnya, tarifnya antara Rp. 10.000.000-Rp. 20.000.000. sedangkan untuk guru SLTP, karena dasar pendidikannya sama-sama S1, tarifnya antara Rp. 20.000.000.-Rp.40.000.000.(hal. 84).

Pendidikan, kata Darmaningtyas, bukanlah sekedar anggaran. Alih-alih menganggarkan dana untuk pendidikan dengan alokasi yang sesuai dengan kebutuhan. Pemerintah lebih disibukkan dengan permasalahan persiapan “baku hantam” dengan rival politiknya. Padahal dalam pasal 31 UUD 1945 amandemen, pemerintah telah menetapkan bahwa anggaran pendidikan sekurang-kurangnya adalah sebesar dua puluh persen. Dengan melihat realitas yang terjadi di Indonesia, kita bisa mengatakan bahwa pemerintah mengkhianati konstitusi dengan tidak menjalankan amanat UUD 1945.

Sesuai dengan judulnya, konten buku ini memang lebih banyak mengungkapkan penyelewengan-penyelewengan yang terjadi dalam pendidikan Indonesia. Banyak fakta-fakta yang diungkapkan secara jelas dan lugas. Buku ini bukanlah pemikiran utuh dari si penulis berkenaan dengan pendidikan, namun kumpulan tulisan yang bagus untuk dijadikan refleksi bagi semua orang yang konsen dan menggeluti pendidikan.